Suzukinex Solorun 1100 Km bagian keempat - habis
Satu Malam di Pagaralam
Kemungkinan
waktu maghrib disitu adalah sekitar jam 18.30 WIB, sembari menunggu saya pesan
kopi sachet-an. Tadi sore sudah menenggak kopi kental sehingga saya tak berani
menambah kopi khas daerah pegunungan Sumatera lagi. Kuatir hipertensi menjelang
dan stroke yang sempat saya alami beberapa tahun sebelum ini bakal menghantui
perjalanan. Kemarin di Merpas sempat merasakan pening akibat menyantap sop
kambing hasil pembagian kurban, berhasil saya redam dengan meminum habbatussauda
kapsulan yang memang saya siapkan dari rumah. Seandainya jika tak juga hilang
rasa pening akan saya telan juga simvastatin dan captopril yang juga siap di
tas pinggang. Alhamdulillah dengan habbatussauda sudah cukup.
Mengenai
keindahan alam di Pagaralam, lihat sendiri deh, capek tangan mengetik. Tak akan cukup sepuluh halaman untuk
mendeskripsikan keindahan Pagaralam dengan gunung Dempo-nya. Kamera secanggih
apapun dengan keahlian memotret luar biasa juga tak mampu memberikan gambaran
menyeluruh, apalagi saya yang newbie
dibidang fotografi digital.
Mengenai
persenjataan, kamera prosumer saya anggap cukup mumpuni untuk sekedar mengabadikan
dan menambah aksen fotografi. Apalagi jika hanya menggunakan sepeda motor,
bakal direpotkan membawa DSLR murni atau mirrorless dengan berbagai lensanya,
ditambah kekuatiran akan terjadi sesuatu jika jatuh karena harga lensa ada yang
jauh lebih mahal dari kameranya.
Kecuali anda
adalah fotografer profesional maka prosumer sudah lebih dari cukup. Bahkan DSLR
antik Canon 450D yang sempat dimiliki sudah saya jual. Saya pilih Fuji HSX
series karena diujung lensa tetap-nya masih bisa dipasangkan filter berukuran
diameter 58mm, bisa CPL atau ND dlsb. Tak ada prosumer lain yang bisa seperti
ini, aksen fotografi bisa dikreasikan dengan kamera tak terlalu mahal ini. Saya
pilih tipe terendah karena menggunakan baterai AA yang mudah ditemukan jikalau
lupa men-charge eneloop X. Sayangnya tak bisa menyimpan gambar dalam format RAW
namun tak menjadi masalah mengingat saya juga tak pandai menggunakan software photoshop tetapi di tipe atas
Fuji HSX bisa merekam dalam RAW.
nexie di kompleks pengolahan teh |
Setelah
maghrib menyelimuti kawasan tugu Rimau di ketinggian gunung Dempo, suhu pun
turun terus dan penjaga serta para pedagang disitu hendak menutup usaha mereka.
Malam memang tak ada kegiatan disitu, bisa saja menginap di Mushalla asal kita
bersih dan menghormati rumah Allah itu. Selesai shalat saya menuruni gunung
hingga ketinggian cukup guna mengambil gambar lampu-lampu kota. Dari ketinggian
dan jarak yang jauh, lampu itu terlihat buram disebabkan kabut tipis yang entah
gejala alam musim kemarau atau kabut asap kiriman dari dataran rendah, yang pasti
Palembang disaat yang sama sedang diselimuti kabut asap tebal menebal efek dari
kebakaran hutan.
Selesai
mengambil foto, saya hampiri sebuah villa yang tak jauh dari lokasi memotret
tadi. Tanya-tanya harga mencari info yang mungkin berguna suatu saat kelak.
Villa berbentuk sebuah kamar saja dihargai Rp.150ribu permalam dan itu yang
termurah, di kompleks villa sebelahnya Rp.120ribu namun sedang penuh dan ada
acara. Saya coba tawar Rp.100ribu karena saat itu bukan penghujung minggu dan
sepi dan tidak diperbolehkan. Sebenarnya saya tidak berminat bermalam di villa
karena saya belum lagi melihat kota Pagaralam. Belum mencari kuliner setempat
sebagai sisipan kegiatan.
Akhirnya
memasuki pusat kota Pagaralam, masih cukup ramai di malam yang masih sangat
muda itu. Putar-putar sempat tersasar karena ada jembatan yang ditutup sedang
diperbaiki, diputuskan mengikuti jalan utama saja. Melewati pasar utama
kemudian jalanan mengecil, dari dua lajur dengan median taman menjadi satu
jalur saja. Kebetulan ada sebuah minimart diujung jalan itu, seketika saya
arahkan nexie ke parkiran. Persis disebelahnya ada sebuah rumah makan, RM Dua
Putra. Meski saya mencari sop atau makanan hangat tapi tak ada salahnya mencoba
makan disitu karena saya lihat cukup bersih dan rapih.
Dari keterangan
ibu rumah makan yang ternyata dari Jawa, jawa Lampung tapi, lokasi disekitar
itu disebut Simpang Petani atau juga alun-alun karena diseberangnya memang ada
sebentuk taman besar seperti alun-alun hanya saja di pemukiman di Sumatera
sebenarnya tidak dikenal istilah alun-alun. Pagaralam banyak dihuni pemukim
asal Jawa Tengah dan Timur bahkan di pegunungan dan perkebunan teh lebih dari
90 persen orang Jawa. Pantas dari tadi di Rimau dan di villa semua mengaku
orang Jawa.
Selesai
makan baru saya berbelanja ke minimart yang kasirnya seorang gadis cantik
bernama Asmi. *inilah mengapa di awal sekali saya sebutkan menulis adalah
pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding mengendarai motor. Kalau sampai
dibaca istri... lebih parah akibatnya dibanding terserempet bus ALS. Dan saya
tak berani menuliskan lebih lanjut tentang Asmi ini...
Sesuai
petunjuk Asti, saya menuju hotel Mirasa atau hotel satunya lagi tak jauh dari
Mirasa. Tak jadi ke hotel Telaga Biru yang mungkin lebih murah tapi lokasinya
di tengah pasar dan kemungkinan kamarnya kecil-kecil. Untuk melepas kepenatan
diatas jok nexie yang kecil, saya perlu tempat yang cukup nyaman. Kedua hotel
ini terletak di arah menuju Kepahyang atau lurus saja dari Simpang Petani itu.
Karena Mirasa yang pertama kali saya lewati dan terlihat cukup asri, seperti
bungalow maka saya putuskan untuk menginap disitu saja.
Mandi adalah
kegiatan yang pertama saya lakukan di hotel, tak peduli betapa dinginnya air
disitu. Kemudian beristirahat dan mencoba membuka facebook di bb. Sepanjang
jalan dari Merpas hingga tugu Rimau sulit sekali membuka halaman fb karena
minim sinyal 3G dan saya hanya berlangganan paket bb dasar saja. Tapi
notifikasinya terus masuk. Ada sebuah notifikasi dari rekan pengelola kegiatan
wisata arung jeram di Pagaralam dan dari tadi saya penasaran untuk melihatnya.
Oh oh ternyata dia mengundang di kompleks villa di sebelah tempat saya mencari
info. Villa yang penuh dan ada acara tadi. Karena badan sudah cukup lelah,
serta belum hapal jalan disini, akibat berputar-putar tersesat, saya hanya
ingat jalan menuju villa itu cukup jauh memutar ke simpang Manna dulu.
Keesokan
harinya pagi-pagi sekali saya bersiap melanjutkan perjalanan. Etape berikut
adalah etape panjang dan perjalanan per hari juga sangat panjang, melebihi bagian
perjalanan Hari Pertama. Sayangnya hotel Mirasa ternyata cukup pelit dengan
menyediakan sarapan terlalu sedikit porsinya buat pejalan (traveller) yang
menggunakan sepedamotor. Hanya setengah porsi nasi goreng dibanding hotel-hotel
lain, bahkan yang lebih murah tarifnya. Dan segelas plastik kopi encer.
Mungkin
sebaiknya justru tidak menyediakan sarapan sekalian. Tapi mengingat Mirasa juga
sebuah restoran, seharusnya mereka memberikan sarapan dengan ekstra baik agar
citra restorannya ikut terangkat, kemudian dilain waktu sang traveller akan
mencoba makan di restoran Mirasa atau merekomendasikan pada rekan atau
menuliskan dengan baik. *Untuk tulisan dalam versi bahasa Inggris yang akan
dikirimkan ke lonely planet, bagian ini akan saya tiadakan. Yang lebih menyedihkan adalah kopi yang
disediakan dalam gelas plastik, apakah gelas beling terlalu mahal di Pagaralam,
entahlah... Gelas plastik ketika dicuci dengan sabun colek akan menyimpan bau
sabun dan bagi penikmat kopi bau sabun itu sangat mengganggu.
Jam 8 pagi
saya telah bersiap melanjutkan perjalanan. Semua peralatan lenong telah naik
diatas motor. Dan lanjut jalan dengan tujuan pertama adalah menambah sarapan di
rumah makan diluar. Dan RM Dua Putra kembali menjadi pilihan karena inilah yang
pertama saya temukan. Sebetulnya ingin juga mencoba warung kecil penjual
sarapan seperti bubur ayam, lontong sayur atau nasi uduk jika ada. Hanya saja
karena ingin bersegera saya kembali makan di tempat semalam, rasanya cocok dan
murah tidak sebanding dengan tempatnya yang cukup mewah. Kebetulan saya juga
ingin membeli masker di minimart. Perjalanan hari itu akan melalui kota-kota
yang biasanya berdebu, bahkan jika tidak memintas jalan akan melalui jalur
perlintasan truk-truk batubara, sedetik saja berada di belakang truk batubara
maka dijamin semua bagian wajah menghitam hingga kedalam lobang hidung. *kasir
minimart pagi itu ternyata masih gadis cantik semalam.
Selesai
makan saya putuskan untuk kembali melihat-lihat kota. Kali ini tidak tersesat
karena hari terang membuat mudah menerka jalan. Saya menemukan sebuah Rumah
Bari di desa PagarJaya. Rumah ini merupakan bentuk rumah adat khas dataran
tinggi Pasemah serta paling asli menurut keterangan dari pemiliknya, bang
Yunus. Bentuk atapnya mirip rumah gonjong minang hanya gonjongnya lebih tegak
sedikit.
Dilanjut
menuju pabrik pengolahan teh milik PTPN 7. Kemudian mendaki memutar melewati
jalan semalam ketika turun dari Rimau. Dan tembus kembali di Gunung Gare.
Melirik jam, ternyata sudah cukup siang. Sikap tidak disiplin saya ini
berbahaya bagi perjalanan karena di etape 8 menanti sebuah jalur yang rawan
begal. Jika saja saya mengendarai motor yang lebih kencang atau dengan
rombongan lebih dari 3-4 orang tak akan menjadi masalah.
Segera saya
menuju SPBU di dekat simpang Manna, simpang ini disebut demikian karena salah
satu jalannya menuju kota Manna sekian puluh kilometer dibawah sana. Ternyata
pertamax disini habis diakibatkan premium sudah habis juga dari kemarin.
Sedikit menyesal seharusnya saya isi dari kemarin malam. Antrian kendaraan
mengular menunggu premium yang sedang dicurah. Tak mungkin menunggu, saya
lanjut saja Etape 7 dari SPBU itu tanpa mengisi, menurut petugasnya di depan
arah ke Lahat masih ada SPBU tidak terlalu jauh.
rumah-rumah di Pagaralam |
HARI KETIGA
Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km; Jam
11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55
Seharusnya
etape ini dibagi menjadi dua bagian; Pagaralam – Semende Darat Laut dan Semende
DL – Baturaja. Tapi karena saya tak tahu ada apa di Semende maka saya jadikan
satu saja. Sama sekali saya lupa sebagian besar apa yang ada disepanjang jalan
ini, lebih dari 10 tahun lalu pertama dan terakhir melalui jalan pintas
Pagaralam – Baturaja ini. Yang teringat hanyalah air terjun mendekati
penghujung jalan pintas, kemungkinan termasuk wilayah simpang Meo.
Saya sempatkan
berfoto di perbatasan kota Pagaralam arah Lahat yang juga tempat bersejarah
sebagai medan pertempuran antara pasukan republik dengan agresor Belanda.
Kontur alam disitu memang sangat cocok untuk menyergap pasukan agresor yang
jauh lebih baik persenjataannya. Kakek almarhum pernah ikut bertempur disitu
seperti diceritakan ayah.
Dan setelah
kecewa karena pertamax juga habis di SPBU Pagaralam yang kedua serta antrian
premium demikian panjang. Saya beli eceran Pertamini 2 liter Rp.16.000 dan
berharap cukup hingga tiba di Jalinsum (tengah) nanti. Dan tak lama saya
menemukan kembali jalan mirip di perbatasan kota tadi. Serta menemukan relief
penyambutan, nampaknya batas kota telah digeser hingga di jembatan dekat
persimpangan ke Baturaja.
Kemudian
tibalah di simpang Tebat (kalau tidak salah, CMIIW) dan saya berbelok ke kanan
memasuki jalan yang jauh lebih kecil dibanding jalan Pagaralam – Lahat. Ada
papan petunjuk bahwa jalan yang saya pilih adalah arah Baturaja. Dan terus saja
saya ikuti jalan yang masih berada di wilayah kabupaten Lahat. Ternyata ada
sebuah desa bernama Kota Agung disitu. Setelah melalui perkebunan tanpa
pemukiman beberapa kilometer tibalah di kecamatan Semende Darat Laut.
Sepertinya ada perubahan, seingat saya dulu hanya bernama Semendo dan kini ada
tambahan Darat Laut, mungkin ini kecamatan pemekaran.
Perjalanan
yang saya kira dekat saja, bisa tembus dalam 1 jam ke simpangMeo, ternyata
cukup jauh. Setelah memasuki ibukota kecamatan Semende saya lihat ada papan
petunjuk jalan mengarah kepada dua buah lagi kecamatan yang membawa nama
Semende, artinya ada 3 atau bahkan 4 kecamatan Semende kini, sebentar lagi jadi
kabupaten pasti. Suku Semende ini suka mengembara, menghuni bukit-bukit yang
tidak ditempati suku-suku asli lain.
pemandangan disekitar perbatasan MuaraEnim dengan Lahat |
Di propinsi
Lampung banyak sekali perkampungan orang Semende, yang cukup terkenal dan telah
menjadi kota kecil adalah Bukit Kemuning. Bahkan hingga ke ujung Selatan
Lampung, di dekat rumah saya menjelang Bakauheni ada desa yang dihuni oleh suku
Semende. Di Bengkulu juga banyak sekali, apalagi di wilayah kabupaten Kaur yang
berbatasan dengan wilayah suku Semende yang termasuk di Kabupaten OKU Selatan.
Andai semua entitas suku Semende pulang ke wilayah asalnya maka Semende bisa
jadi lebih besar dari kabupaten induknya, Muara Enim.
Saya sengaja
melewati pasar Semende tanpa istirahat, dari perbatasan Pagaralam tadi hanya
berhenti untuk ambil beberapa foto saja tanpa minum apapun. Mungkin cukup lama
juga saya berhenti memotret, bahkan sempat memasuki kebun yang mirip dengan tebing
kraton yang sedang tren di Bandung, tepatnya di perbatasan kabupaten Lahat
dengan Muara Enim. Yang saya incar guna beristirahat adalah air terjun. Jam
sudah menunjukan pukul 13.45 di pasar Semende.
Ternyata
setelah menikung ratusan kali menempuh belasan kilometer dari pasar Semende, tak
jua sampai di penampakan air terjun yang saya lihat dulu, saat melirik ke fuel
meter ternyata merunduk ke E. Segera isikan 1 liter begitu menemukan sebuah
kios bensin. Ternyata kios itu juga sebuah warung makan dengan judul Ponorogo.
Saya coba melihat kedalam tapi tidak tertarik untuk makan disitu, suram apalagi
masih full perut inisetelah sarapan setengah porsi dan sarapan siang sebagai
tambahan. Ternyata bensin eceran disitu bernilai Rp.10.000 dengan bonus 4 buah
permen, uang 20ribuan dikembalikan 10ribu dengan 4 buah permen.
Setelah
beberapa kilometer kemudian nampak sebuah jurang tinggi yang jelas terlihat
dasarnya adalah sebuah lembah permai. Sekalian berisitirahat sejenak akibat
terlalu lelah menikung dengan gaya pembalap road
race. Entah berapa ratus bahkan ribu tikungan sejak dari Pagaralam tadi
memacu nexie di kecepatan maksimal yang aman, demi membelah pegunungan dan
perbukitan Sumatera Selatan secepat mungkin. Diatas lembah saya ambil foto,
tidak terlalu bagus jika nampak difoto meski dengan sudut terlebar. Sesaat
kemudian saya lanjutkan mengejar point of interest yang telah ditetapkan
sebelum perjalanan dimulai. Tidak sampai satu kilometer rasanya, seketika
nampak dikejauhan, di dinding lembah yang berhadapan, sebuah air terjun ganda.
Ternyata di lembah ini letaknya. Saya berhenti lagi untuk memotret sekalian
melihat situasi jalan menuju air terjun itu. Saya tidak sempat melihat jam,
tapi dari exif kamera terlihat saat itu jam 14.15. Hanya merasakan saat itu telah
demikian sore.
Nampaknya
ada jalan dibawah, karena jalan ini terus menurun. Benar saja tak jauh dari
tempat memotret tadi, ada sebuah jembatan dan diseberangnya terdapat
persimpangan. Sebuah papan petunjuk menuliskan “Air Terjun Curup Tenang >
1km”. Langsung saja belok masuk persimpangan itu. Loh... ternyata desa itu
bernama Indramayu, kecamatan Bedegung kabupaten Muara Enim.
Air terjun
ini sudah menjadi obyek wisata yang cukup baik. Berbagai fasilitas tersedia
cukup lengkap, bahkan beberapa kolam pemancingan juga ada. Sayangnya tarif
masuk yang dikenakan cukup tinggi, Rp.5000 untuk orang dan Rp.10.000 untuk
motor. Parkir motor yang aman adalah didepan di dekat pos penjagaan, meski
sebenarnya bisa menggunakan motor lebih mendekati tapi menurut penjaganya,
parkiran di dalam tak ada yang memperhatikan apalagi motor saya ada tas samping
yang tak saya lepaskan disitu.
Rencananya
istirahat malah jadi berolahraga. Air terjun harus dihampiri dengan berjalan
kaki lumayan jauh. Terpaksa jaket yang masih terpakai saya lepaskan karena
cucuran keringat. Sesampainya di warung terdekat dengan air terjun saya memesan
teh dalam kemasan dengan es. Selesai mengambil beberapa foto, karena saya tak
pandai menjalankan photoshop maka harus ambil gambar dengan berbagai setting-an
serta kemudian memilih hasil terbaik.
Hampir satu
jam di air terjun Curup Tenang, curup berarti air terjun dalam bahasa setempat,
mirip sebutan di JawaBarat: curug. Jam terus berdetak padahal saya harus segera
melintasi daerah yang terkenal rawan begal dalam perjalanan hari ini.
Kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya sebelum terlalu malam masih ada.
Tapi semua asumsi hanya berdasar ingatan yang sudah banyak terkikis selama
belasan tahun.
Tanpa
membuang waktu lagi saya lajukan nexie hingga dalam beberapa menit telah
melampaui simpang Meo. Ingatan memang tak selamanya benar, saya mengira cukup
beberapa menit saja dari simpang Meo ke Baturaja. Hampir 1 jam menaklukan
Jalinsum yang lebar untuk mencapai jarak 56km. Sempat pula terpaksa menambah
bensin eceran lagi di Singapura, sebuah nama desa yang unik. Sayangnya karena
terburu-buru tak sempat memotret plang di depan kantor desa itu.
Jalanan
menuju Baturaja mengikuti alur sungai yang dipenuhi riam kecil dan ringan.
Sepanjang sungai banyak sekali yang sedang bermain air, bukan mandi. Mereka
menggunakan ban dalam bekas traktor selebar 1,5 meter lebih bermain arung
jeram. Seru juga seandainya punya waktu lebih mencicipi berenang di sungai yang
terlihat masih bening. Akhirnya menemukan SPBU lagi dan pertamax disediakan
disini. Saya isikan tangki nexie penuh-penuh.
Baru
menjelang pukul 17 saya tiba di pasar Baturaja. Saya tidak memilih jalan by
pass karena ingin melihat pusat kota, mencari jajanan yang jarang ditemui atau
jika ada, jajanan khas. Masih belum terasa lapar tapi memang perut perlu diisi
makanan sedikit. Ketika melintas di depan sebuah hotel, terlihat warung pempek
dan es kacang. Segera saya hentikan nexie. Dan berakhirlah etape 7 tepat jam 16.55
disitu.
Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km; Jam
17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10
Seharusnya
ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya.
Istirahat di
pusat kota Baturaja, saya pesan es kacang merah dan 2 pempek ada’an. Es-nya
enak, kacangnya al dente, tidak terlalu lembut tapi juga tidak keras dan saya
minta ditambahkan tape singkong. Ada’an adalah salah satu jenis pempek,
bentuknya bulat seperti baso dan di warung itu rasanya cukup enak. Selesai
membayar Rp.11.000 untuk es dan 2 bulatan adaan, tanpa buang waktu saya
lanjutkan perjalanan etape 8. Saya sadar bahwa kecil kemungkinan bisa menembus
hingga Bandarjaya dibawah jam 8 malam.
Setidaknya
bisa mencapai Baradatu atau Bukit Kemuning adalah target maksimal. Saat keluar
dari batas kota Baturaja sudah menunjukan jam 17.35. Dan pas adzan Maghrib sedang
melintas di Martapura. Nexie terus saja saya pacu bak kesetanan, hingga ada
pengendara motor laki tipe racing yang mengira saya ingin mengajaknya balapan.
Tentu saja di bagian jalan yang lurus dengan mudah ia melewati saya. Tapi saat stuck di belakang truk atau bus saya
salip lagi, juga ketika ia mengendurkan gas di tikungan langsung bisa tertempel
kadang tersalip.
Sebetulnya
bukan ingin membalap tapi memanfaatkan sisa-sisa cahaya matahari agar mencapai
jarak sejauh mungkin. Bila hari telah gelap, mata saya sulit melihat dengan
baik karena lampu standar terbilang redup. Kemudian pandangan juga terbatas
pada area yang tersorot lampu. Padahal saya biasa memandang luas jalan di depan
hingga bahu dan jejeran bangunan. Segala hal saya antisipasi, misal seorang
anak tergesa keluar dari rumah di jarak 100 meter ke depan sudah menjadi
peringatan bagi saya.
malam di jalinsum |
Akhirnya
gelap tak dapat ditolak, beberapa belas kilometer dari perbatasan SumSel –
Lampung suasana sekitar sudah membiru tua sangat. Tak jauh dari Martapura
adalah perbatasan kedua propinsi. Kini saya telah memasuki Lampung lagi. Tapi
wilayah kabupaten Way Kanan itu juga bukan daerah aman bagi motor sendirian.
Jam sekitar Maghrib juga waktu favorit para kriminil ini beraksi. Modal yakin
saja, saya lanjutkan perjalanan karena antara Martapura hingga menjelang
Baradatu nanti terbilang daerah yang kosong tanpa pemukiman di sisinya, sebuah
daerah yang tepat untuk membegal. Meski mata hampir tak melihat apapun selain
bagian yang tersorot lampu, gas nexie masih saya tahan tinggi tapi tidak
mentok. Sengaja saya sisakan gas jika ada penampakan mencurigakan di spion bisa
saya hentak gas sembari melakukan gerakan preventif.
Dan
tiba-tiba ada sebuah lampu motor nampak di spion, semakin mendekat dan semakin
dekat. Dada bergemuruh tak tentu, tangan bergetar dan terasa dingin, disusul
sebuah lampu lagi. Pastilah ini mereka, sang penguasa jalan, pikir saya. Tak
terasa gas semakin saya tarik. Beberapa kali terantuk gelombang dan lobang
kecil jalanan membuat badan terbanting tapi stang saya pegang dengan erat,
sempat geal-geol juga karena
gelombang berikut lobang berturutan dilindas roda-roda nexie.
Tapi
nampaknya itu lampu dari motor sport yang semakin dekat di bagian jalan lurus
dan terlihat menjauh saat memasuki tikungan. “begal pemula nih, nggak berani
nikung cepat” pikir saya. Harus memanfaatkan advantage tikungan. Jika nanti di depan tikungan ada sebuah rumah,
atau bangunan apapun yang nampak berpenghuni harus segera saya masuki,
berpura-pura sudah sampai di tujuan.
Tapi sisi jalan
senantiasa kosong, kalaupun ada rumah tapi gelap tak berlampu. Jantung saya
sudah berdegup kencang, terpikir untuk menyerah saja, yang penting hidup. Dan
ketika jalan lurus cukup panjang, motor itu telah berada di samping. Saya
hentak gas sekaligus dan sempat melaju lebih 1 ban tapi motor sport full
fairing bermesin tanggung keluaran terbaru dari pabrik berlogo sayap tentu
bukan tandingan buat nex.
Biasanya
begal mensejajarkan kemudian pemboncengnya mencabut senjata api menodong
memaksa kita berhenti. Atau jika ternyata mereka bukan pemilik senjata api,
bisa lebih parah karena main sabet tongkat/rante/golok agar korban terjatuh.
Salah satu kiat menolak bala adalah usahakan tetap berkecapatan tinggi, mereka
juga tidak terlalu tolol untuk menyabet dalam kecepatan tinggi karena jika
terjatuh, motor buruan mereka juga bubar berantakan. Aneh motor ini malah
menyalip saja dan sendirian pula malah kasih klakson...
O... oh
ternyata itu motor yang tadi merasa balapan dengan saya dari Martapura. Legaaaaa
rasanya. Dan sebagai solidaritas, saya ikuti dia tanpa saya coba susul lagi.
Akhirnya malah menjadi teman seperjalanan. Wah jika berdua begini saya berani
langsung ke Bandarjaya, tapi melihat setelan pakaian pengendara CBR dia adalah
orang dekat, mungkin hanya sampai Baradatu.
Karena itu,
saat didepan terlihat neonsign sebuah minmart saya salip dia dan kasih kode
mengajak dia mampir. Kami sudah berjalan tak terlalu kencang lagi sejak insiden
klakson tadi. Nampaknya ia mengangguk. Dan segera nexie saya arahkan ke
minimart. Saat memarkirkan motor saya lihat, pengendara CBR tidak ke minimart
tapi ke rumah disebelahnya. Tak lama dia keluar dengan masih memakai jaketnya.
“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.
“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab sekaligus.
“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.
“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.
Lantas ia
menceritakan sedang ada urusan disitu, nampaknya ngapel karena tak lama seorang gadis manis muncul dari sebelah dan
mengatakan kopinya sudah siap. Ia pun mengajak saya masuk ke sebelah untuk
minum kopi. Sebetulnya saya lapar, belum makan sejak sarapan siang tadi tapi
demi menghormati saya ikut juga. Sembari jalan ia mengenalkan diri, Iman
demikian pula saya menyebutkan nama.
Sambil minum
kopi, Iman berulang-ulang menyatakan kekagumannya dengan si FU matik. Iman juga
menyatakan bahwa ia berasal tidak jauh dari Bakauheni, tepatnya di Palas
Sukamulya. Wah ini namanya ketemu orang sekampung. Palas tidak jauh dari rumah
saya dan saya tahu bahwa Sukamulya dihuni oleh pemukim asal Tasikmalaya.
Langsung saja saya praktekan bahasa sunda. Obrolan menjadi semakin akrab. Dan
Iman semakin kaget mengetahui saya baru saja dari Pagaralam dan semakin kaget
mengetahui bahwa melalui Bengkulu untuk ke Pagaralam dan baru pulang via
Jalinsum, “wanian euy si akang teh, meuni sorangan deui” begitu kira-kira
ungkapannya.
Tak terasa
sudah jam 19.30, saya segera pamit untuk meneruskan perjalanan. Iman berkeras
mengajak menginap di Martapura, sebenarnya di jalan antara Martapura dengan
Baturaja. Terlalu jauh jika musti balik lagi kesana. Dan ternyata juga, Iman adalah
karyawan RM Siang Malam yang kini ditempatkan di cabang Baturaja. Sebelumnya memulai
sebagai asistant of chef di Siang Malam didekat rumah kami. Dunia tak selebar
daun kelor tapi daun kelor bisa selebar dunia juga...
Dan saya
lanjut menarik gas dengan pesan agar berhati-hati, berulang-ulang dari Iman dan
tunangannya. Saya menyadari tidak mungkin juga untuk terus-terusan membiarkan
jantung berdetak kencang mengira-ngira begal. Kalaupun selamat dari tindak
kriminil, bisa jadi stroke saya kambuh di Bandarjaya.
Baradatu
ternyata sedang dilanda pemadaman listrik bergilir, pantas gelap semua dari
tadi. Karena gelap pula beberapa penginapan di Baradatu tak terlihat oleh mata
rabun ini. Akhirnya saya terus saja hingga Bukit Kemuning. Ada penginapan juga
disitu, pasti. Bukit Kemuning jauh lebih besar dari Baradatu, kota persimpangan
dan tempat istirahat kendaraan umum sejak jaman dahulu kala. Hanya dibutuhkan
waktu kurang lebih 30 menit dari Baradatu untuk tiba di Bukit.
Sekitar jam
20.00 saya masuk penginapan Murni, ditengah keramaian pasar Bukit Kemuning
sebelum pertigaan besar dari arah Utara. Mengambil kamar seharga Rp.75.000,- .
Saya memesan kopi dan menanyakan makanan, ternyata tidak bisa memesan apapun di
penginapan itu. Sekedar air panas segelas juga tak bisa padahal saya punya kopi
dan energen sachet. Terpaksalah saya keluar mencari makanan di warung seberang.
Setelah kembali ke hotel, saya mandi dimana ruang mandi berada diluar kamar,
tepatnya satu di lantai bawah kamar.
Selesai
mandi saya cek sosmed di internet melalui smartphone, kemudian terlelap. Subuh
saya terbangun, kamar hotel ditengah pasar ini kecil sekali, tak memungkinkan
menggelar sajadah. Segera saya keluar mencari kopi dan sayangnya penjual kopi
cukup jauh di bagian lain pasar. Dan kebetulan melalui sebuah Mesjid maka saya
sempatkan Subuh-an.
Sembari ngupi saya unggah ke sosmed foto suasana
subuh di Bukit Kemuning. Sekembali dari warung kopi, saya bersiap, mandi.
Kemudian melanjutkan perjalanan. Jam
7.10 pagi start dari hotel Murni yang pelit itu. Andai tak kuatir begal, andai
berombongan dengan 1-2 orang lagi saya yakin tadi malam pasti lanjut. Dan
menjelang subuh kemungkinan besar bisa sampai kembali di rumah di Bakauheni.
subuh di Bukit Kemuning |
Hal penting
dalam melintasi daerah rawan begal adalah bergerak secepat mungkin seperti saya
sebut diatas. Dan atur rombongan untuk selalu berjarak rapat. Motor dengan
pengendara paling besar tubuhnya atau paling berani berada paling belakang.
Nomor dua dari belakang adalah motor dengan pengendara paling cepat. Jarak
antar motor jangan lebih dari 10 meter, hal ini diperlukan latihan untuk
menjaga jarak dalam kecepatan tinggi. Pengertian antar pengendara juga perlu
dibahas sebelumnya agar semakin saling memaklumi. Jika membawa tripod lebih
baik lagi diikat di tubuh sebagai penghalang sabetan senjata begal. Memungut bambu
atau kayu sebelum melintas serta membawanya dengan diikat diselempangkan juga
tindakan yang tidak buruk.
Perkiraan
saya bisa tembus dalam 2 jam hingga Bandarjaya dari Bukit Kemuning. Dan dari
Bandarjaya sekitar 3-4 jam sampai Bakauheni. Perkiraan ini ditunjang dengan
mulus dan lebarnya Jalinsum. Tak meleset perhitungan jam 9 sudah melewati
Jembatan Terbanggi Besar. Dan saya sudah berjanji akan bertemu dengan sahabat
yang saya kenal melalui sebuah forum bersepedamotor di Bandarjaya sekitar jam 9
pagi ini.
Jam 9.10
saya menamatkan etape ini didepan Mesjid Agung Bandarjaya. Karena parkiran
motor di depan Mesjid terasa terik tersorot matahari dan sangat kebetulan saya
juga belum sarapan kecuali beberapa potong roti saat ngopi subuh tadi, saya
geser ke RM Minang Indah. Seingat saya baru kedua kali nya saya makan di
restoran Padang dalam perjalanan kali ini, setelah pertama di Krui.
Lebih dari 1
jam saya menunggu sohib yang berjanji menemui di Mesjid Agung Bandarjaya. Tapi
bulu hidungnya satupun tidak terbawa angin ke lokasi rendevouz, apalagi batang
hidungnya ternampak...
Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan
LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.
Tak banyak
yang bisa saya tulis di etape ini karena sudah tidak mencatat apapun lagi. Bahkan
saat mengisi kembali bensin saya lupa dimana dan berapa. Ini sudah etape
euforia bakal sampai dalam hitungan jam. Beberapa kilometer lagi sudah memasuki
kabupaten tempat saya tinggal meski dari batas kabupaten masih 90an kilometer
baru tiba di rumah. Yang tercatat hanyalah jam keberangkatan dari Bandarjaya, 10.35 pagi.
Etape ini
saya cukup menceritakan mengenai daerah Bandarjaya yang menjadi besar karena
merupakan tempat istirahat berbagai angkutan umum. Bukit Kemuning masih
terhitung rawan sehingga kendaraan besar pengangkut barang hanya sekedar
berhenti makan atau minum kopi saja karena disitu juga pusat perkulakan kopi
terbesar di Lampung. Sementara di Bandarjaya kendaraan bisa istirahat dan parkir
bermalam tanpa gangguan. Dua Jalan Lintas Sumatera masih melalui Bandarjaya,
Jalinsum dan Jalintim. Jalinbar masih sepi dari truk karena beberapa
tanjakan/turunannya terkenal ekstrim. Meski ke Bengkulu atau Padang jauh lebih
dekat melalui Jalinbar, truk bermuatan penuh berlebih akan tetap memilih
Jalinsum menuju kedua ibukota Propinsi itu.
Setelah
Bandarjaya adalah GunungSugih yang merupakan ibukota kabupaten Lampung Tengah,
hanya sebuah desa yang mendadak jadi kota beberapa belas tahun lalu karena
menjadi lokasi perkantoran pemkab. Awalnya pusat pemerintahan LamTeng adalah di
Kota Metro, sejak ditetapkan sebagai Kotapraja dengan Walikota dan administrasi
sendiri, ibukota digeser ke GunungSugih. Metro tidak terletak di Jalan Lintas
yang manapun, kota ini merupakan pusat pemukiman transmigran kedua setelah
Gedong Tataan re: Pringsewu. Tapi karena datarannya lebih luas dan rata, lebih
banyak transmigran yang dikirimkan kesitu. Seperti juga di Pringsewu, di kota
ini seperti berada di Jawa saja, bedanya dengan Pringsewu, masih banyak orang
asli Lampung Tengah bertempat tinggal disini mengingat dahulu adalah pusat pemeritahan
kabupaten.
Saya hanya
melewati persimpangan menuju Metro dan tidak masuk kedalam kota yang berjarak
sekitar 30km dari Jalinsum. Persimpangan menuju Metro sudah terletak di kab
Pesawaran yang beberapa tahun lalu masih Lampung Selatan. Tak jauh dari situ
sudah memasuki Lampung Selatan kembali, tandanya adalah Pelud Radin Inten II di
Branti. Melewati Natar dan terus memasuki wilayah ibukota propinsi Lampung,
Bandarlampung.
Saya sempat
melihat odometer yang menunjukan angka 5600 km lebih, sudah waktunya melakukan
perawatan buat si nexie. Jadwal servis gratis yang ketiga terlampaui, daripada
saya pulang dan kembali ke Bandarlampung esoknya, saya arahkan nexie menuju
pusat pelayanan Suzuki. Salah satu yang saya sesalkan adalah Suzuki menutup
pusat pelayanannya di Kalianda, kota kabupaten di dekat rumah saya.
@ Suzuki Centre, Bandarlampung |
Setelah
singgah di rumah keluarga dari istri, tempat istri menginap selama saya tinggal
ke Pagaralam, nexie saya arahkan menuju Bakauheni. Sementara istri dan anak
serta supir yang sudah diminta untuk menjemput dengan R4 menyusul dibelakang.
Saya sempatkan makan mi sebagai makan siang yang kesorean di kota Kalianda. Mie
pangsit Ade Wongso ini saya rasakan sebagai mie yang paling enak dan pas dengan
anggaran yang memang sudah tipis, kalau tidak salah tersisa Rp.20.000
sesampainya di rumah. Artinya saya tidak sampai mengganggu duit SHU yang saya
ambil dari PLS, Merpas.
_________________________________
* Sekedar mengingatkan, Jalinsum = Jalan Lintas Sumatera
adalah jalan yang pertama ada melintasi
Sumatera dari Lampung (Bakauheni) hingga Banda Aceh, biasa juga disebut
Jalinteng.
Jalinbar = Jalan Lintas Barat, hitungannya berawal dari
Bandarlampung ke arah KotaAgung dan terus hingga bertemu Jalinsum di Padang
Panjang, Sumbar.
Jalintim = Jalan Lintas Timur berawal dari Terbanggi,
Bandarjaya hingga Medan, Jalinpantim
Lampung adalah sambungan Jalintim dari Bakauheni hingga bertemu Jalintim
di Menggala.
Demikian
catatan perjalanan ini, semoga bisa sedikit membantu bagi yang merencanakan
berpetualang 3-4 hari di Sumatera.
Bagi yang dari Palembang saya menyarankan rute: Palembang-Baturaja-Muaradua-Liwa-Krui-Merpas,
450an km dan kembali melalui rute Merpas-Manna-Pagaralam-Lahat-Palembang dengan
jarak yang hampir sama 450an kilometer juga. Seperti tertera di Peta Rute> Palembang-Muaradua-PLS-Pagaralam-Palembang
Kalau sendiri saya gak berani d lintasan ini om..
BalasHapussaya juga gak berani kalo malam :)
BalasHapusTop bget Om.
BalasHapusperjalananya mantep om jadi inget solo riding dari jakarta - lampung - lampung - jakarta - semarang - surakarta - jember - lanjut bablas sampe bali. tulisan perjalannya serasa pulang ke bandar lampung sekaligus ke kampung saya di muara enim :D
BalasHapusTitanium Blades - Stainless Steel Games and Collectibles
BalasHapusT-Shirt. Titanium Blades. T-Shirt. Stainless Steel Games and nano titanium flat iron Collectibles - titanium lug nuts all titanium white dominus price types. Shop titanium flat irons for titanium exhaust wrap T-Shirts at your fingertips, anywhere in