Suzukinex Solorun 1100 Km bagian kedua
Etape 1, Bandarlampung – KotaAgung 96
kilometer; Jam 11.50 –
13.10 dan 13.45 – 14.20
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik
Jalur ini
terbilang sering saya lewati. Sudah pula saya tuliskan dalam bentuk ride report
atau saya lebih suka menyebutnya sebagai RIDE STORY. Dulu saya tuliskan dengan
tambahan cerita dari masa lalu saat pertama menembus calon Jalan Lintas Barat
dari KotaAgung hingga Krui. Kini saya coba kisahkan sedikit mengenai kota-kota
atau desa yang dilintasi.
Start
kegiatan ini dari Bandarlampung setelah mendapat kepastian rekan tak jadi ikut,
judul kegiatan pun berubah menjadi Pagaralam Solorun dari sebelumnya
direncanakan Pagaralam Rideventure. Jam 11.50 saya memulai pelintir gas sedikit
demi sedikit. Saat adzan Dzuhur saya telah mencapai gerbang kota. Jalur ini
hingga Pringsewu terbilang padat sehingga tidak bisa melaju cepat.
Desa pertama
setelah keluar dari wilayah kota Bandarlampung bernama desa Kurungan Nyawa. Desa
ini masuk di wilayah kabupaten Pesawaran. Entah mengapa dinamakan demikian tapi
itu sebuah bukti bahwa penamaan desa di Lampung tidak terpaku pada hal-hal baik
saja. Mungkin karena dahulu terdapat sebuah tikungan maut disini, banyak sekali
korban tewas akibat kesembronoan pengemudi. Tapi rasanya nama desa tersebut
sudah lebih lama dari keberadaan kendaraan bermotor. Kebetulan sekarang ini
berdiri rumah sakit jiwa tingkat propinsi di desa ini. Semakin lengkaplah
julukan Kurungan Nyawa sebagai tempat mengurung para pasien berjiwa sakit.
Selanjutnya adalah ibukota kabupaten Pesawaran, Gedong Tata’an. Disinilah orang jawa pertama kali ditempatkan dalam program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Disini juga terdapat Musium Transmigrasi. Tapi para kolonis ini justru lebih banyak ditempatkan di Pringsewu yang kini menjadi kabupaten tetangga Pesawaran.
Selanjutnya adalah ibukota kabupaten Pesawaran, Gedong Tata’an. Disinilah orang jawa pertama kali ditempatkan dalam program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Disini juga terdapat Musium Transmigrasi. Tapi para kolonis ini justru lebih banyak ditempatkan di Pringsewu yang kini menjadi kabupaten tetangga Pesawaran.
Baik Pesawaran,
Pringsewu dan Tanggamus dahulu termasuk kabupaten Lampung Selatan yang
beribukota di Kalianda. Pemecahan pertama membagi Lampung Selatan dengan
Tanggamus. Ibukota Tanggamus di Kota Agung dan Lamsel tetap di Kalianda.
Kemudian Lampung Selatan dibagi dua lagi dengan Pesawaran. Dan menyusul Tanggamus
dipecah lagi dengan Kabupaten Pringsewu.
Tak lama
kemudian perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pringsewu. Total dari
Bandarlampung hingga ibukota kabupaten Pringsewu yaitu kota kec Pringsewu
adalah 35 km. Di Pringsewu kehidupan serasa di sebuah kota kecil di Jawa
Tengah. Mayoritas penduduk kabupaten ini keturunan jawa. Bahasa sehari-hari
yang digunakan juga bahasa jawa ngoko. Mungkin perbedaan utama dengan di daerah
asalnya adalah tak dikenal istilah bahasa halus atau kasar. Mengingat asal
penduduk Pringsewu bukan hanya dari Jawa Tengah tapi juga Jawa Timur. Ada pula
kelompok orang-orang Jawa yang bergama Hindu, kemungkinan mereka berasal dari
sekitar Tengger di Bromo.
Jam sudah
menunjukan pukul 13.00 saat memasuki
gerbang kota Pringsewu, gapura dari beton yang dibentuk seperti bambu. Sebelum
ditempati para kolonis dari Jawa, tempat itu memang hutan bambu.
Pringsewu
cukup dikenal kuliner-nya, masakan khas jawa kelahiran sumatera. Mirip dengan
masakan jawa tapi jauh lebih pedas. Dan saya sudah merencanakan untuk makan
siang di warung mbak Sri.
Jam 13.10 tiba di warung yang terletak di arah keluar kota, setelah pasar dan SPBU. Belum pernah makan disitu sebelumnya tapi sempat dengar dari rekan supir, masakannya enak dan cukup murah. Karena tak ada belut goreng kesukaan, saya pilih rendang jawa dan minum es teh manis. Sambil makan saya tersenyum sendiri, kok malah pilih rendang di warung Jawa, jadi inget saya marah karena anak istri malah mencari KFC di Bukit Tinggi saat saya justru ingin mencoba nasi kapau asli. Tapi memang rendangnya menggoda selera karena belum menghitam. Dan ternyata dagingnya empuk, bumbunya pedas, gurih dan tidak terlalu manis sesuai selera saya. Setelah selesai bersantap segera bersiap melanjutkan perjalanan, kembali mengenakan jaket tjap cas*rol milik teman yang ketinggalan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena dia pasti punya jaket yang lebih bagus. Saat membayar, hanya dikenakan Rp.16.000 untuk nasi rendang plus es teh manis. Lumayan murah.
Jam 13.10 tiba di warung yang terletak di arah keluar kota, setelah pasar dan SPBU. Belum pernah makan disitu sebelumnya tapi sempat dengar dari rekan supir, masakannya enak dan cukup murah. Karena tak ada belut goreng kesukaan, saya pilih rendang jawa dan minum es teh manis. Sambil makan saya tersenyum sendiri, kok malah pilih rendang di warung Jawa, jadi inget saya marah karena anak istri malah mencari KFC di Bukit Tinggi saat saya justru ingin mencoba nasi kapau asli. Tapi memang rendangnya menggoda selera karena belum menghitam. Dan ternyata dagingnya empuk, bumbunya pedas, gurih dan tidak terlalu manis sesuai selera saya. Setelah selesai bersantap segera bersiap melanjutkan perjalanan, kembali mengenakan jaket tjap cas*rol milik teman yang ketinggalan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena dia pasti punya jaket yang lebih bagus. Saat membayar, hanya dikenakan Rp.16.000 untuk nasi rendang plus es teh manis. Lumayan murah.
Perjalanan
dilanjutkan jam 13.45, dengan gas tinggi tapi kecepatan rendah, harap maklum
nexie hanya mentok di 100kpj setelah ganti ban lebih besar, turun sekitar 5
kpj. Apalagi dengan beban badan seberat 77kg plus barang bawaan yang sekitar
10kg. Serta jalanan juga mendaki dari Pringsewu hingga Gisting. Setelah lewat
sedikit dari kota kecamatan Pringsewu, perbatasan dengan Tanggamus terlihat di
ujung kecamatan Pagelaran. Kabupaten
Pringsewu memang kecil saja dibanding 3 kabupaten eks Lampung Selatan, mungkin
nantinya diproyeksikan menjadi Kota.
Wysiwig
disini adalah kehadiran mesjid-mesjid kecil dengan arsitektur unik dan berbeda
sama sekali diantara mesjid-mesjid itu. Semua tampak dari sisi jalan yang
mendaki landai, terutama di kecamatan Talang Padang, Tanggamus. Nanti mungkin
saya buatkan tulisan tersendiri mengenai mesjid-mesjid ini. Beberapa mesjid
menjadi aneh bentuknya, bahkan ada yang lebih mirip gereja atau synagog dan
hanya kubah yang menandakan itu adalah mesjid. Nampaknya tiap desa atau dusun
ingin tampak beda serta ada semacam adu gengsi terhadap bangunan mesjid mereka.
Saya ingat ada sebuah mesjid yang menjadi pelopor bentuk unik, sekitar 20 tahun
lalu hanya ada satu mesjid yang menarik perhatian karena kisi-kisi betonnya
membentuk wajik dan ada yang keluar dari dinding. Karena terburu-buru akibat
telat berangkat, hal yang sudah saya rencanakan untuk memotret mesjid-mesjid
ini secara lengkap batal saya lakukan.
Pusat kota
Kec Talang Padang yang dahulu merupakan pusat perkulakan kopi sudah terlewati
dan jalanan semakin nampak menanjak hingga di Gisting Bawah. Dari desa Gisting
Bawah terlihat nyata jalan mendaki, dan dari namanya juga nampak karena setelah
itu adalah desa Gisting Atas. Ketinggian Gisting Atas sekitar 650 meter diatas
permukaan laut membuat udara disini cukup dingin. Diatas punggung gunung
Tanggamus, gunung tertinggi di Lampung ini sejak dahulu kala dijadikan tempat
tetirah para pejabat Hindia Belanda yang ditempatkan di Lampung. Dan kini mess
Belanda berubah fungsi menjadi Rumah Sakit setelah sempat juga menjadi bruderan.
Terlihat
meteran bensin menukik ke E tapi yakin masih sampai di KotaAgung. Beberapa SPBU
setelah Pringsewu tak ada yang menjual Pertamax, sementara utk mengisi bbm di
Pringsewu tadi urung karena fuel meter masih mendongak tinggi disana. Yakin
sampai Kota Agung mengingat setelah lewat batas desa Gisting Atas akan ditemui
gerbang Kota Agung. Padahal Kota Agung dikenal sebagai bandar laut sejak era
kesultanan Banten yang tentunya di pinggir laut dan memasang gapura di
ketinggian 600 meter dpl. Agak membingungkan awalnya, ternyata pas kemarin saya
lewat baru sadar bahwa itu adalah batas kecamatan Kota Agung. Dan Kota Agung
bukanlah kota dalam terminasi bahasa Indonesia, hanya saja kecamatan ini
menjadi ibukota kabupaten Tanggamus. Kalaupun menjadi kota suatu waktu nanti
maka akan disebut secara resmi sebagai Kota KotaAgung atau
dibahasa-Indonesiakan menjadi Kota PagarAgung. Kota dalam bahasa Lampung
berarti pagar.
Setelah
gapura KotaAgung kita akan menemui jalan berliku tajam menurun. Jalan berbentuk
letter “U” dan hampir “O” akan kita temui. Inilah pertama kali saya mengendarai
matik dengan shockabs sebelah di jalanan yang amat saya sukai, penuh tikungan.
Awalnya kuatir bahwa nex akan bergoyang di tikungan, terutama ke arah kanan.
Tapi setelah mencoba di beberapa tikungan lebar sebelumnya, saya beranikan
mencoba di kecepatan sedang, 60kpj. Tak ada goyangan sama sekali seperti yang
saya kuatirkan sebelumnya. Akhirnya sedikit demi sedikit kecepatan di tikungan
demi tikungan saya tambah. Sampai akhirnya sebuah tikungan ke kiri yang amat
tajam memasuki jembatan memaksa saya menekan rem cukup dalam tapi motor masih
melaju deras karena posisi jalan yang menurun. Posisi badan cepat saya geser ke
kiri hingga bergaya bak pembalap road race untuk mengajak nex menikung cepat.
Nyaris mencium pagar beton jembatan. Tapi bukan Andre namanya jika lantas
memperlambat laju di tikungan *sombong dikit dulu ah.... justru merasa sudah
dapat trik menikung dengan matik kecil, kecepatan saya tambah. Tapi mohon
jangan ditiru, saya berani karena hapal dengan tikungan-tikungan disini. Dan
saya hanya ingin membuktikan kekuatiran saya selama ini terhadap motor ber-shockbrekaer
sebelah yang ternyata dengan nex tidak terbukti. Nex justru tangguh melibas
tikungan di kecepatan penuh, entah dengan produk pabrik lain. Tapi di jalan
rusak, nex dengan shockabs yang keras sangat tidak nyaman.
Sesampai di
KotaAgung, saya tuju pertama kali adalah SPBU, sayangnya di kota yang bukan
kota tapi sudah berbentuk kota ini tak menjual pertamax. KotaAgung memang
merupakan bandar tua sejak jaman sebelum Belanda sudah menjadi bandar yang
cukup ramai. Ini karena pelabuhan alaminya sangat baik. Dan kala Lampung
Selatan beribukota di TanjungKarang, Kota Agung menjadi kota perwakilan tempat
kedudukan seorang Pembantu Bupati atau
Wedana di jaman kolonial, re: https://id.wikipedia.org/wiki/Kawedanan
. Sementara wilayah Kalianda yang juga sama tua sempat hancur musnah dilanda tsunami
Krakatau setinggi 40an meter pada 130an tahun lalu. Dahulu kala pusat keramaian
Kalianda terletak di Katimbang, agak jauh bergeser dari Kalianda kini. Sebagai
kota yang terdekat dengan ibukota kerajaan di Serang, Katimbang adalah bandar
penting.
Karena takut
kehabisan bensin saya isi premium
Rp.15.000,- di SPBU KotaAgung. Istirahat di minimarket dekat SPBU dengan
meminum sisa miz*ne yang sudah hangat. Lantas membeli air mineral dingin dan
meminumnya seteguk saja. Sebagai tindakan preventif, saya tidak langsung
meminum air dingin disaat badan panas terpepes matahari * ya benar, terpepes
karena dibungkus jacket, kalau telanjang dada baru disebut terpanggang matahari
:P . Juga membeli snack berat tapi tak saya makan disitu, sebagai persiapan
jika terjadi masalah di jalan. Jalan di depan akan melewati hutan tanpa
penduduk lumayan jauh. Dan bisa saja ada pohon rubuh menghalangi jalan membuat
perjalanan terhambat, saat-saat seperti
itulah snack berat sangat berarti.
Etape
pertama selesai di KotaAgung dan sejak awal saya rencanakan berakhir di
minimart.
Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan
Bengkunat 95km; Jam 14.45 – 16.15
Setelah
istirahat cukup karena melibas tikungan dari Gisting hingga KotaAgung cukup
menguras stamina. Kembali saya tenggak seteguk air dingin dan bersiap
mengenakan gear alakadarnya. Sejurus kemudian kembali menstart mesin nexie,
sambil membayangkan terdengar kata-kata “gentlemen, start your engine... get
set, GO!” tarik gas dalam-dalam dan motor melaju menghentak. Tapi itu hanya
khayalan... kenyataan sih cuma pelintir gas perlahan-lahan. Apalagi ini kota
dan kampung orang, sebagai akamsi saya tahu rasanya melihat orang geber-geber
gas di depan muka di wilayah sendiri.
Sekitar 15
kilometer setelah keluar KotaAgung akan ditemui sebuah SPBU disebelah kiri
jalan yang saya sebut sebagai KotaAgung 2. SPBU yang terhitung lebih baru dan
pastinya menjual pertamax. Saya isi bensin lagi disini, kali ini pertamax
hingga penuh, Rp.17.000,-. Tak saya perhatikan jumlah liter tepatnya dan hanya
catat rupiah saja. Tak jauh dari SPBU ini juga ditemui sebuah SPBU lagi tapi
tak jual pertamax. Setelah itu tak dijumpai lagi SPBU hingga daerah Biha,
sekitar 100 kilometer jarak antar SPBU ini.
Perjalanan
dilanjutkan melewati kota kecamatan Wonosobo, awalnya disini adalah pemukiman
transmigran yang berasal dari Wonosobo, Jateng namun kemudian dihuni juga oleh
orang jawa dan etnis daerah lain sehingga Wonosobo di Lampung ini menjelma jadi
pasar besar dan kemudian ditunjuk sebagai ibukota kecamatan. Selewat Wonosobo
akan ditemui jalan bercabang yang kadang membingungkan jika tak melihat papan
petunjuk jalan. Lurus adalah jalan ke Suoh, memang bisa tembus hingga Liwa tapi
jalan semi offroad. Belok kiri adalah jalur Jalinbar yang sebenarnya mengarah
ke Krui.
Dan Sedayu
menanti, Sedayu adalah nama desa atau disebut pekon di Tanggamus, tempat
jalanan menjadi curam menanjak atau menurun jika arah sebaliknya. Bukan sekedar
curam tapi juga panjang berkepanjangan. Tanjakan ini terpaksa dibuat curam karena
bukit yang akan dilalui bukanlah bukit biasa, ini adalah sebuah patahan kerak
bumi, dalam penyebutan secara geologi bukit ini disebut patahan/sesar semangko.
Patahan yang bermula dari sekitar dibawah Liwa bahkan Ranau hingga ke tengah
laut teluk Semangka dan menusuk hingga Selat Sunda. Sepanjang itu pula sisi
bukit ini hampir tegak lurus. Di laut, bagian dari patahan ini menjadi surga
pemancing dengan sebutan areal SMR (Sea Mount Reef). Di Selatan Liwa, terbentuk
mata air panas Suoh yang mendanau sebagai hasil panas yang terjadi akibat
gesekan antara kerak bumi yang tertinggal dibawah dan yang naik membukit.
Sedayu kini
juga terkenal salaknya yang hampir menyerupai hasil tanaman di Pondoh karena
ditanam dengan bibit asal daerah itu. Setelah tanjakan menjadi lebih landai ada
beberapa kedai yang menjual salak ini. Sedikit lewat kedai-kedai itu akan
ditemui kantor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seksi Sedayu.
Pertanda kita akan memasuki hutan kawasan. Dulu saat pertama kali lewat di
tahun 1995 tempat itu adalah gerbang masuk dan pos pengamatan hewan.
foto tahun 1995 di Sedayu Atas |
Selanjutnya
adalah barisan pohon-pohon besar dan kerimbunan hutan tropis di kanan kiri
jalan. Di pertengahan akan dijumpai perbatasan kabupaten Tanggamus dengan Pesisir
Barat (d/h bagian dari Lampung Barat). Jalanan mulai menurun setelah melaui
Patok 50, patok seket. Jalanan ini juga tak kalah curam dengan Sedayu, justru
inilah yang disebut tebing mayit, hanya saja telah dipapas sehingga lebih
landai dan tak lagi membahayakan. Ada beberapa bangkai jip dibawah jurangnya
yang sedalam 100an meter. Sebelum dibuatkan jalan aspal Lintas Barat Sumatera,
bagian ini telah menjadi jalan rintisan angkutan jip menuju Bengkunat dan dari
situlah julukan tebing mayit bergema hingga kini.
Setelah
hutan, mulai nampak perkampungan atau desa atau di PesBar juga disebut dengan
pekon dan kepala desa disebut sebagai Peratin. Pekon pertama di Pesbar dari
arah Tanggamus adalah Pemerihan, kehidupan disini sebelum ada Jalinbar memang
sungguh perih, ke Krui atau Liwa yang menjadi ibukota kabupaten memakan waktu 2
hari perjalanan. Karena itu tidak heran mereka lebih akrab dengan KotaAgung
atau Wonosobo dan Kuncoro di wilayah Tanggamus selain mereka kebanyakan adalah
pendatang dari Tanggamus.
Pemerihan
termasuk dalam kecamatan Bengkunat Belimbing yang pecahan dari kec Bengkunat
sebagai akhir etape ini. Perlu dipahami, sebuah kecamatan di Lampung bisa seluas
sebuah kabupaten di pulau Jawa. Karena itu banyak sekali kecamatan-kecamatan
baru hasil pemekaran. Tak luput kecamatan Bengkunat dan agak lucu karena
pelabuhan dan teluk Bengkunat justru berada di kecamatan yang dimekarkan
sehingga menjadi kecamatan Bengkunat Belimbing. Kecamatan induk menurut aturan
tak bisa berganti nama dan Bengkunat yang sekarang tak lagi berasosiasi dengan
posisi geografis Teluk Bengkunat.
Meski sudah
bukan di kawasan hutan, jalan disini masih sepi dari rumah penduduk disisinya.
Seperti juga di Lampung Selatan, sebenarnya penduduk disini cukup banyak tapi
bertempat tinggal bukan ditepi jalan yang baru dibentuk tahun 1995an. Di tepi
teluk Bengkunat dan di tepi sungai besar seperti Way Ngaras adalah pemukiman
utama penduduk disini. Tapi 5-6 tahun terakhir ini sudah mulai banyak yang
memindahkan rumah ke tepi Jalinbar.
Dan beberapa
bulan terakhir sudah ada minimart di kec Bengkunat induk. Ini adalah akhir
etape kedua. Dan saya menyelesaikan etape ini sesuai perkiraan, jam 16.25.
Dijalur ini saya tak sempat berhenti memotret kecuali di Sedayu menyempatkan
mengambil gambar seorang anak yang melepas-latih burung dara. Sejak menjelang
patok seket terlihat awan mendung menguasai langit. Akibatnya saya terpaksa
berpacu melawan kemungkinan hujan deras. Tebing mayit jadi seperti jalan tol
lurus saja, hampir pol gas saya pelintir. Menikung ambil gaya pembalap kembali
terpaksa dilakukan. Andai saya tidak mencoba di menjelang KotaAgung tadi, jelas
tidak berani main-main disini, kalau terjadi kecelakaan bisa jadi saya tidak
pernah ditemukan tersembunyi di dasar jurang yang berupa hutan lebat.
diatas tebing Sedayu, seorang anak yang tinggal dibawah, pekon Sedayu melepas burung dara untuk dilatih |
Etape 3, Bengkunat – Krui 56km; Jam 16.45 –
18.40
Tidak sampai
5 menit setelah saya tiba di minimart Bengkunat, gerimis pun menyusul.
Istirahat minum aqua yang dibeli di KotaAgung dan mengunyah snack berat. Para
pramuniaga minimart yang sepi ini melongo memperhatikan saja, mungkin sedih
karena toko yang tak pernah ramai ini saat ada yang singgah malah minum dan
makan roti dari kantong plastik minimart yang semerk tapi bukan beli disitu.
Bukan karena kasihan dengan pramuniaga dan kasir tapi memang setelah itu saya
baru masuk belanja, sebotol amdk (air minum dalam kemasan) dingin dan snack.
Kembali keluar dan istirahat sembari meneguk sedikit air dingin. Buat saya,
saat badan panas berkendara jika langsung meneguk air dingin membuat mudah
terserang flu. Dan flu menjadi merepotkan bagi saya apalagi perjalanan masih
panjang.
Istirahat
dan menanti gerimis reda. Sebentar saja gerimis berhenti dan hujan rupanya
tidak mengikuti. Segera saya start motor dan melaju kembali saat jam menunjukan
pukul 16.45. Jalan antara Bengkunat hingga Biha banyak sekali lurus dan
panjang-panjang, mungkin dibuat dengan menarik benang. Sepertinya jalan ini
dibuat lurus-lurus sebagai kompensasi jalan di Sedayu dan patok seket.
Tak berapa
lama gerimis pun kembali menyusul atau tepatnya menunggu di jalan. Karena cuma
kecil saja, saya acuhkan. Ternyata mendekati Pura Segara semakin membesar dan
celana serta jaket mulai membasah. Sekalian saja saya hentikan motor tepat
didepan Pura. Baru jam 17 lewat sedikit disitu. Timbulah ide untuk memotret
terbenamnya matahari di pura Hindu Bali itu, menggantikan rencana ambil gambar
dari Lemong. Jika dihiasi siluet arca atau ukiran pura pasti menjadi foto yang
menarik. Sayangnya cuaca benar-benar tidak memungkinkan. Samudra Indonesia juga
sangat gelap diliputi mendung. Mustahil ada penampakan “mata dewa” di cuaca
seperti ini.
Pura Segara yang terletak di Pantai Melasti |
Didaerah ini
memang banyak terdapat pemukim asal Lampung Tengah yang kebanyakan suku Bali.
Kakek moyang mereka merupakan transmigran akibat bencana letusan Gunung Agung
tahun 50an. Mereka ditempatkan di Lamsel dan Lamteng. Dan kini akibat tanah di
daerah sekitar penempatan mereka telah penuh, selain pula karena lebih memilih
daerah yang sepi dan jauh dari penduduk agar kegiatan mereka yang mungkin
bertentangan dengan agama penduduk setempat tidak menimbulkan friksi, maka
mereka memilih bermukim di sisi Barat Lampung ini. Selain disitu, juga mengisi
areal sepi di Mesuji dan kini terjadi konflik dengan pemerintah karena lokasi
di Mesuji tersebut adalah areal kawasan hutan lindung.
Mendapati kemungkinan
kecil mendapat obyek bagus untuk difoto, segera saya kenakan jas hujan - celana
hujan tak lupa menyarungkan rain cover di sidebag. Saat ingin menyarungkan DSLR
tankbag. E...ladalaaah, kok ya ketinggalan... tapi saya selalu membawa
kantong-kantong plastik cadangan dan kebetulan ada thrashbag bekas acara GRGG
dulu saya bawa juga * thx om Ali Arifin atas pemberian plastiknya ini. Jadilah
itu sebagai pembungkus tankbag.
Setelah
meluncur kembali saya coba pacu sekencang mungkin karena mendung semakin tebal.
Jalanan benar-benar lurus di bagian ini tapi ada juga tikungan melebar. Setelah
melewati sebuah tikungan, jalan berlubang muncul dari persembunyianya dibalik
tikungan, tak ayal masuklah ban matik yang kecil itu sepenuhnya kedalam lobang.
Meski hanya beberapa sentimeter saja dalamnya namun cukup membuat guncangan
keras. Gagang spion kanan yang terbuat dari plastik sampai patah sendiri karena
guncangan itu. Berhenti untuk memungut patahan spion yang cukup mahal karena
berkaca cembung seperti spion aslinya. Semoga bisa diperbaiki nanti.
Trauma
dengan lobang, kecepatan motor saya kurangi terutama di tikungan yang kalo
tidak salah ingat hanya tinggal 3 buah lagi dari SPBU Way Jambu hingga Biha
sejauh l.k 12 km. Setelah Biha, perjalanan memasuki Kawasan Wisata Selancar
Tanjung Setia. Disini biasanya banyak peselancar mancanegara. Karena menjelang
senja dan gerimis besar tak terlihat para bule
ini seliweran. Satu – dua kilometer kemudian gerimis mengecil hingga berhenti
sama sekali. Dan jalan rusak, dikelupas karena sedang diperbaiki diantara Biha
dan Krui memperlambat laju. Baru saat Maghrib tiba di SPBU Krui 2, pom bensin
baru yang terletak sebelum memasuki Krui kota arah dari KotaAgung. Tepatnya di
pekon Lintik, disini juga terdapat minimart namun karena menyatu dengan SPBU
membuat tak bisa melaksanakan kegiatan yang selalu saya lakukan saat istirahat,
saya lanjutkan perjalanan memasuki Krui kota. Alih-alih beristirahat di
minimart, saya pilih rumah makan Awak Bana setelah melewati pasar Krui. Meski
di Krui banyak keluarga dari istri saya putuskan untuk tidak singgah agar tiba
di Merpas sebelum tengah malam. Karena coba-coba singgah akan berbuah dipaksa
menginap.
Selesailah
etape ketiga di RM Awak Bana yang meski bergenre minang ternyata menerapkan
sistem layanan sendiri, self service atau ambil sendiri makananmu. Baru saja
duduk menghadap makanan, “byur” hujan besar turun sekaligus. Alamat
berlama-lama istirahat disini.
Etape 4, Krui – Merpas 82km; Jam 20.10 –
22.35
Jam 20.05
hujan baru reda. Segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lama sudah kembali
menggilas aspal diatas kedua roda. Perlengkapan penahan hujan tetap dikenakan.
Selain terlihat mendung masih menggayut tebal, malam basah membuat dingin lebih
terasa. Lutut sudah mulai terasa sakit linu akibat sempat berbasah-basah tadi.
Paksakan saja untuk terus karena tinggal beberapa puluh kilometer tiba di
tempat istirahat sekaligus tujuan sekunder.
Jalan antara
Krui hingga Bintuhan sebenarnya amatlah cantik pemandanganya apabila perjalanan
dilakukan saat hari terang. Sebetulnya saat itu bulan sudah bersinar hampir
membulat, andai tidak mendung pasti sangat indah memandang samudra bermandikan
cahaya bulan. Tebing-tebing yang bahkan ada yang lebih dari 90 derajat di sisi
Timur jalan dan jurang berdasar samudra di sisi Barat. Ada sebuah tebing yang
yang terbentuk dari 1 buah batu utuh seakan memayungi jalan dibawahnya, itu
sebabnya saya katakan lebih dari 90 derajat. Batu tihang juga menghias
pemandangan samudra dari Jalinbar di seksi ini. Rasanya tak cukup sepuluh
halaman untuk menceritakan keindahan di Jalinbar antara Krui – Bintuhan.
Salah satu keindahan Jalinbar ruas Krui - Bintuhan |
Tapi karena
saat ini saya jalan malam tak banyak yang bisa ditulis. Jalanan sebagian masih
rusak sedang diperbaiki. Banyak lubang dan jika menggunakan sedan dipastikan
akan berkali-kali tersangkut batu jalan yang menyembul. Jalan rusak ini tak
seluruhnya tapi kerap timbul setelah beberapa ratus meter.
Dan tibalah
di minimart berantai yang paling ujung di etape ini, di kecamatan Pugung. Saya
sempatkan berbelanja berbagai kebutuhan seperti alat cukur kumis, obat pegel
dan snack. Sekalian saya buka jas hujan karena nampak cuaca menjadi cerah
disini. Tidak jauh dari titik ini, jalan
akan mendaki menuju dataran Lemong. Jalan dibuat memutar karena pihak kehutanan
ingin melestarikan hutan pantai di wilayah itu.
Jalan menuju
Lemong lumayan curam, mirip dengan Sedayu tapi tak terlalu panjang. Setelah
Lemong, jalan akan kembali melintasi hutan TNBBS. Wilayah Pesisir Barat memang
dikelilingi Taman Nasional yang cukup panjang di sisi Barat Sumatera ini.
Artinya untuk memasuki PesBar melalui jalan darat dari manapun maka wajib
melintasi hutan. Dari KotaAgung sudah saya sebutkan tadi. Dari Liwa juga
melewati TNBBS sektor Liwa dan dari arah Bengkulu adalah hutan TNBBS seksi
Lemong/sektor Pugung.
Dan
kengerian pun muncul saat menjelang memasuki kawasan TNBBS. Gelap dan jalan
sepi. Lewat terakhir disini adalah musim mudik kemaren yang lumayan ramai. Saya
berhenti sebentar untuk memasang senter di dudukan yang telah disiapkan di
spion. Alat bantu penerangan penting karena lampu utama nexie menempel di badan
motor sehingga tidak bisa menengok kiri kanan. Padahal di hutan bagian ini
masih banyak hewan liar. Penampakan beruk, si monyet besar sudah biasa disini.
Dan beruk ini juga lumayan menyulitkan jika menyerang kita, giginya besar dan
tajam diketahui pula kadang menyerang manusia secara keroyokan. Si tutul juga
dilaporkan beberapa bulan sebelumnya terlihat tak jauh dari Jalinbar.
Beginilah ditengah TNBBS saat siang dan saya melintasinya sendirian malam hari |
Tapi dengan
keyakinan penuh gas kembali dipelintir maksimal. Tujuan hanya tinggal 28
kilometer lagi. Sepanjang 24 kilometer melintas hutan itu hanya 2 kali ketemu
truk yang mudah saja disalip. Dan hanya papasan dengan sebuah mobil minibus.
Setelah turun dan jalan kembali disisi pantai ternyata hujan lumayan deras
menanti. Tanggung untuk mengunakan jas hujan karena tinggal sedikit lagi, toh
celana hujan respiro masih dikenakan.
Akhirnya
sampai juga di Pantai Laguna Samudra. Dan segera meminta kunci pondok inap.
Selesai lah etape ke empat dan perjalanan hari itu.
Akhirnya
perjalanan Hari ke 1 selesai. Dan bukan berarti saya bisa istirahat penuh
karena tujuan sekunder ini adalah bekerja. Tanggal 5 Oktober 2014 ini adalah
Hari Raya Kurban atau Iedul Adha. Saat orang banyak libur, sementara kami yang
bekerja di bidang pariwisata justru bekerja lebih keras. Semalam, begitu tiba
di Pantai Laguna Samudra (PLS) saya langsung mandi meski dingin karena angin
lumayan kuat malam itu. Tapi rasa tebal dimuka dan lepek di badan bakal
menyulitkan untuk tertidur dengan lelap. Sebelum tengah malam saya sudah
terlelap penuh.
Kali ini
saya terbangun tepat 5 jam setelah lelap, jam 4.45. Udara dingin merasuk
kedalam pondok kayu membuat menggigil. Meski di pantai, udara di PLS terhitung
dingin apalagi subuh begini, angin dari pegunungan Bukit Barisan yang hanya
beberapa kilometer saja dari sini, membuat suhu seperti di pegunungan saja.
Siang hari pun pantai ini adem sekali karena pepohonan yang demikian rimbun
sebagai Taman Rekreasi yang bertemakan hutan pantai.
Pantai Laguna Samudra, PLS - Merpas |
Saya
sempatkan melaksanakan ritual religi. Kemudian saya lanjutkan dengan merendam
pakaian kemarin. Sejurus kemudian saya telah berkeliling memeriksa tiap sudut
PLS yang pengelolaannya saya pegang hingga tahun 2020 ini. Hitung-hitung
olahraga juga karena lumayan melelahkan mengelilingi hutan pantai seluas lebih
kurang 8 hektar ini. Menjelang pukul 7 saya kembali ke arah Pos Pelayanan atau
Kantor Pengelola. Pemegang kendali usaha di lokasi, Udo Zuryanto tampak bersiap
ke Mesjid utk Shalat Ied. Memang beliau adalah suami dari kakak istri yang
tertua tapi usianya sama dengan saya, karena penghormatan saya tetap
memanggilnya dengan “Udo”.
Kemudian
sehari itu dihabiskan dengan pemeriksaan administrasi dan pembicaraan mengenai
segala sesuatu tentang pengelolaan PLS. Sambil juga kami memperhatikan
penjualan tiket masuk dan melayani pengunjung memberikan informasi dlsb. Hingga
malam kembali datang.
Pagi hari
kedua di PLS juga dihabiskan dengan pekerjaan. Saat jam makan siang saya
sempatkan keluar mencari lokasi foto menarik, ada sebuah jalan yang baru saja
diaspal hotmix keatas gunung dan saya mau coba kesana. Jaraknya tak terlau jauh,
sekitar 8 kilometer kemudian mendaki sekitar 5 kilometer. Sebenarnya jalan
mendaki masih panjang tapi aspal hotmix hanya sampai 5 km. Kebetulan pula sebelum
jalan hotmix habis, saya telah menemukan spot yang memang sudah saya incar
dengan bantuan google map. Benar saja pemandangan disitu sesuai perkiraan,
indah dan dapat memandang samudra sehingga memungkinkan mengambil foto mentari
terbenam di lautan dari ketinggian. Saya
putuskan untuk sampai disitu saja, penyebab lain karena nexie di jalan rusak
sangat tidak nyaman dan kuatir ban depan yang masih bawaan bocor dihantam
bebatuan.
segelas kopi susu di PLS |
Sekembali
dari peninjauan lokasi, saya lanjutkan rapat pembahasan rencana kerja sambil
makan. Enaknya jadi boss, bisa suka-suka hati :D . Sekitar jam 5 sore saya
persiapkan kamera dan berangkat ke lokasi tadi meski mendung tebal telah
menguasai langit. Berharap saja mendung bakal sedikit mengalah di ujung lautan.
Sayang sekali mendung tak mau mengalah sedikitpun, hingga tak ada “mata dewa”
yang bisa saya abadikan.
Sembari
menunggu matahari terbenam ada seorang yang menghampiri karena heran melihat
ada orang memainkan kamera di hutan. Beberapa pelintas lain enggan menghampiri,
kecuali Jon Henri yang ternyata pemilik jip angkutan umum ke pegunungan. Tak
dinyana diatas sana ada beberapa desa lagi. Padahal sejauh 5 kilometer dilewati
dan sejauh mata memandang keatas tak nampak rumah kecuali gubuk buat istirahat
siang di kebun yang kosong menjelang maghrib begini. Jon Henri adalah pemukim
yang berasal dari Pulau Beringin, sekitar 1 hari berjalan kaki menuju kampung
asalnya, itu yang dia lakukan dengan ayahnya beberapa belas tahun silam ketika
pindah ke wilayah Bengkulu.
Main perahu di laguna PLS, ombak samudra tak bisa menembus pagar karang |
Jam sudah
menunjukan pukul 8.30 dan saya bilas air tawar. Lanjut berbenah mempersiapkan
keberangkatan. Hingga akhirnya jam 10.15 saya sudah siap meluncur. Pamitan
sambil mengisi dompet, ambil uang SHU bagian saya. Perjalanan lanjut jam 10.25.
Komentar
Posting Komentar