Pagaralam Solorun



Asalmuasal
Sebagaimana biasa saya meninjau proyek pengembangan pariwisata di Merpas, Kec Nasal – Kab Kaur Bengkulu. Tahun-tahun terakhir terlihat nomor kendaraan pengunjung banyak berkode awal BG dan kode akhir W yang setelah ditanyakan, para pengunjung tersebut berasal dari kota Pagaralam di SumSel. Semakin hari semakin tahun semakin banyak pengunjung dari Pagaralam ini.
Coba melirik peta dan ngobrol dengan Pagaralamers, ternyata cukup dekat dari Merpas, sekitar 200km, hanya separuh jarak saya ke Merpas. Dan bagi penduduk Pagaralam, Pantai Laguna Samudra adalah pantai indah terdekat yang laut dihadapanya bisa dipakai bermain air laut atau direnangi.  Ada pula Pantai Pasar Bawah di Manna sebagai laut terdekat hanya saja sebagai pantai Samudra lepas, ombak di Manna sangat ganas. Penduduk pegunungan atau wilayah yang jauh dari laut pastinya sangat tertarik dengan pantai untuk dijadikan tujuan mereka di hari-hari libur.
Untuk lebih mendekatkan diri dengan orang-orang yang termasuk captive market bagi usaha saya di Merpas itu maka diputuskan untuk sesekali menjelajahi kota itu. Beberapa kali berusaha menyempatkan waktu namun gagal menyambangi kota yang dulu sekali pernah saya lewati secara kebetulan akibat Jalinbar putus. Pagaralam tak nampak sebagai kota sekitar tahun 2002 atau 2003 atau jikapun sudah masih sangat baru, apalagi saya tak sempat memasuki kota karena jalan dari Manna menuju Jalinsum hanya melalui simpang sedikit diluar kota.

Sumber Inspirasi
Karena itu ketika hendak meninjau usaha di Merpas di musim Iedul Adha, saya tekadkan untuk terus ke Pagaralam. Sehingga selain bisa mendekatkan diri serta menganalisa pasar utama dari usaha yang saya jalankan, sekalian bisa memberikan referensi sebuah jalur wisata R2 baru bagi penyukanya.
Kebetulan beberapa waktu yang lalu ada yang menanyakan rute wisata R2 di Sumatera dengan waktu tempuh 3-4 hari dari Jakarta dan diberi syarat “Jangan ke Ranau, bang. Itu terlalu mainstream”. Setahu saya sang penanya adalah pengendara motor besar diatas 250cc, tepatnya Versys, dan juga adventurider. Terpikirkan jalur Manna – Pagaralam serta jalan pintas Pagaralam langsung ke Baturaja tanpa melalui MuaraEnim atau Lahat. Nampaknya jika pakai versys bisa tembus 3 hari plus menyeberang jadi klop 4 hari. Langsung saja saya kasih jalur Bakauheni-Bandarlampung-KotaAgung-Krui-Bintuhan-Manna dan naik keatas menuju Pagaralam-simpangMeo-Baturaja-Kotabumi-Bandarlampung-Bakauheni. Dengan versys, juga tak perduli sitan bigal di jalur Martapura hingga Bandarjaya. Paling banter para begal bisa ngejabanin dgn RX King bore up sebatas 1-2 km saja, selebihnya si King itu pasti batuk termehek atau malah jam session piston dan boringnya.
Padahal jalur ini saya tidak update sama sekali, pertama dan sekali-kalinya di tahun 2002an tadi, 11-12 tahun yang lalu. Yang paling dikuatirkan jalur antara Manna dengan Pagaralam serta jalan pintas menuju SimpangMeo yang pastinya sempit dan sering dilanda longsor. Tanya dengan supir truk pun tak ada yang tahu karena memang hampir tak ada truk yang mau lewat kecuali amat sangat terpaksa. Hanya bis sedang jurusan Manna-Palembang saja yang lewat itupun hanya 2-3 bis dalam sehari. Tapi melihat anak-anak Pagaralam yang tiap Sabtu-Minggu dengan motor atau mobil dan bus memenuhi Pantai Laguna Samudra, rasanya jalur itu enak dilewati. Bahkan ada juga yang menggunakan trike Viar 150 alias mobak.

Pilihan Kendaraan
Untuk itulah saya sempatkan ke Pagaralam kali ini, biar ada info ter-update. Tinggal memilih kendaraan dan saya pastikan pakai R2 agar benar-benar sesuai keadaan dengan target yang akan diberikan infonya. Tapi masih ada dilema, pakai ABG Tua - Thunder 125 atau nexie yang masih kinyis-kinyis. ABG Tua sesuai namanya, kelahiran 2004 meski masih segar bugar dan masih sangat yakin bakal menuntaskan tugas dengan sempurna tapi tetap saja ada kekuatiran, yang menjadi masalah utama adalah anggaran. Tak bisa jalan dengan dana pas-pasan jika pakai ABG Tua, persiapan jika terjadi masalah di jalan harus diperhatikan. Apalagi ini kemungkinan besar menjadi solorun, beberapa rekan yang diajak menjawab tak bisa menemani.
Akhirnya saya pilih nexie Suzuki scooter 110cc. Karena masih baru, saya yakin tak bakal ada masalah di jalan, budget tinggal hitung bbm dan konsumsi - akomodasi saja. Tapi tetap ada kekuatiran bakal dilanda pegal linu akibat jok yang imut-imut, solusinya besarkan budget akomodasi, cari hotel yang nyaman.  Selain itu lampu yang terpasang di nexie hanya standar pabrik, jalan malam bakal kesulitan buat mata minus.
Yang pasti pengalaman perjalanan dengan nexie bakal menjadi acuan bagi semua tipe dan kelas R2. Ini adalah alasan utama memilih nexie. Karena nexie adalah tipe motor terkecil dan terpelan diantara tipe motor lainnya. Tapi setelah beberapa kali uji coba, nexie cukup cepat dan lincah dibanding skuter matik sekelas. Untuk perjalanan jauh saya hanya mengganti ban belakang dengan ukuran 1 tingkat lebih besar sementara ban depan tetap asli bawaan. Dengan ban 90/90 kecepatan nexie sedikit berkurang, susah payah juga menyalip matik lain dalam kondisi berpacu, biasanya hanya dengan sekali hentakan gas nexie sudah meluncur dan belum 200 meter semua matik sekelas sudah bisa dilibas. Kini butuh 400 meter lebih untuk itu. Namun di tikungan Jalinsum yang lebar-lebar dan besar masih mampu gas pol tanpa gejala ban bergeser alias sliding. Di jalan rusak pun jauh lebih nyaman. Ada sisi lebih dan kurangnya mengganti ban yang lebih besar sedikit.
Mantap lah pilihan kali ini, nexie! Sekalian test ride sesungguhnya bagi motor yang diiklankan dengan slogan “Irit & Kencang”. Jarak total perjalanan mencapai  1.000km bahkan lebih, tanjakan ekstrim di Sedayu menanti, turunan paling tajam juga bakal menghadang, melintas dari ketinggian 0 (nol) diatas permukaan laut hingga ketinggian 1900 meter di tugu Rimau, Pagaralam.

Rancangan Jadwal Perjalanan
Dan diaturlah jadwal perjalanan. Karena sendirian maka bisa sesuka hati mengatur jadwal. Mengingat ini adalah juga perjalanan kerja, saya bakal butuh 2 hari tanggal 5 & 6 Oktober di lokasi usaha di Merpas. Dipilih tanggal keberangkatan 4 Oktober 2014. Berangkat jam 5 subuh agar setidaknya sekitar senja bisa mengambil foto mentari terbenam di lautan dari ketinggian dataran Lemong, +-500m dpl, ini adalah kecamatan terujung Barat di Lampung menjelang perbatasan dengan Bengkulu. Jarak Lemong dari tempat keberangkatan sekitar 365km. Jika menggunakan R4 pasti tembus dalam 7-8 jam mengingat tak perlu banyak istirahat serta jalan yang cukup sepi kalau tidak bisa dibilang sangat sepi. Tapi perencanaan dengan sepedamotor harus mempertimbangkan waktu istirahat yang sering. Kayaknya tiap lihat mini market ingin berhenti apalagi tengah hari panas, terbayang air mineral dingin tiap lihat toko dengan lemari pendingin besar-besar.
Tanggal 7 oktober direncanakan lanjut dari Merpas menuju Pagaralam dengan jarak tempuh sekitar 200 km.  Tapi meski hanya 200, sekitar 80 diantaranya adalah jalur penuh tikungan, mungkin sekitar 1.000 tikungan yang harus ditempuh. Silahkan hitung sendiri, tapi ada cara mudah, sampling aja 1 km di awal dan 1 km ditengah, ada berapa tikungan di tiap kilometer, dari pal ke pal. Sempat saya hitung kemarin, paling sedikit 12 tikungan per km dan lebih banyak yang 14 tikungan. Padahal saya perhatikan jalan ini sudah banyak yang diluruskan seperti juga jalur Liwa-Krui di Lampung yg hanya 30km tapi punya 500 tikungan dahulu, sekitar 16-17 per km dan kini tinggal 12-14 saja per km. Setiap jarak 2-3 km pasti ada “kelokan” kata orang Minang, tikungan patah berbentuk ladam kuda atau letter “U” bahkan ada yang “O”.
Tanggal 8 Oktober kembali pulang melalui Jalinsum dan diyakini bisa tembus sehari hingga rumah kembali disekitar Bakauheni. Subuh dari Pagaralam dan setidaknya sekitar magrib atau maksimal jam 8 malam sudah melewati Bandarjaya atau melewati daerah rawan begal dari Martapura hingga Bandarjaya. Jarak Pagaralam hingga Bandarjaya sekitar ....... km. Dari Bandarjaya sampai rumah jam berapapun tenang saja, aman bro... perkiraan jam 12 malam bisa sampai di rumah lagi.  Atau jika terpaksa dan sangat lelah, ada sohib yang tinggal disekitar Bandarjaya, pasti dia mau memberi tumpangan beberapa jam hingga pagi dan pulih dari lelah plus bonus kopi mantab dengan berbagai campuran. Meski tak seberapa jauh lagi, berjalan malam dengan kondisi mata minus dan lampu standar dipastikan tidak bisa cepat.
Tanggal 9 hingga 11 masih sempat menulis RS, karena Senin depannya pekerjaan lain sudah menunggu. Begitulah rencananya. Dan ketika diterapkan dengan disiplin pasti baik hasilnya. Kenyataan, tgl 9 malam  saya baru mulai menulis, dan pagi ini tanggal 10  diteruskan tapi belum menuliskan kisah perjalanan yang sebenarnya. Baru mukadimah yang sedikit berkepanjangan ini. Entah apakah bisa selesai 1-2 hari. Mengingat menulis jauh lebih sulit ketimbang melintir gas dan lebih mengerikan dibanding ketanggor dengan ALS saat menyalip J.

Kisah Pra Keberangkatan
Persiapan dan Ulasan
Tanggal 3 Oktober sore ternyata saya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Tugas ekstra yang baru timbul siangnya. Rencana packing jadi tertunda, hingga menjelang tengah malam baru selesai semua tugas ekstra. Nampaknya tak lagi sempat packing malam itu tapi mata belum bisa terpejam karena terlalu banyak kopi. Ketimbang memaksakan tidur, saya coba mempersiapkan tas samping motor atau biasa disebut sidebag. Sidebag ini masih terpuruk di gudang, setelah diambil dan dibersihkan dari debu gudang ternyata raincover sidebag tak ada di tempat seharusnya. Sekali lagi bongkar gudang, tempatkan di saku sidebag dan tempatkan diatas nexie. Melirik jam ternyata sudah pukul 12.55, sudah masuk tanggal 4 Oktober! Selain itu mata juga sudah berdamai dengan kopi. Saya putuskan untuk tidur saja, nanti setelah Subuh-an dilanjut, paling undur 1 jam dari rencana semula start jam 5.30 pagi.
Ternyata adzan Subuh dari Mushalla persis disebelah rumah yang nyaring dengan toa, tak mampu menggugah tidur yang lelap. Atau jangan-jangan tak ada yang adzan...  Jam 5 lewat sedikit saya terjaga. Setelah melihat jam dan kecewa karena terlambat bangun, saya colek teman tidur “mam, kok nggak bangunin sih”. Biasanya istri tercinta ini pasti bangun jika mendengar suara sedikit berisik, apalagi adzan di toa yang hanya berjarak belasan meter. “nggak ada yang adzan tadi, kayaknya” jawab istri saya. “cuma ada qomat tanpa toa barusan” lanjutnya. MasyaAllah! Ternyata hari ini masih jadwal saya melantunkan adzan Subuh, astagfirullah hal adziim. Pasti banyak yang menggerutu karena terlambat bangun Subuh.
Sempatkan melihat keluar arah Timur, matahari belum lagi terbit, masih sempat shalat Subuh. Biarlah urusan diterima atau tidak shalat kesiangan itu menjadi urusan nanti. Karena jika dalam perjalanan biasanya semua waktu shalat terlewatkan, bisa jadi ini shalat terakhir dalam beberapa hari ke depan bahkan bisa menjadi selamanya jika jurang atau bus ALS menjemput nyawa di perjalanan.
“O iya, papa kan katanya mau berangkat subuh.”, “Bangun dong!”, “Udah nyiapin yang mau dibawa, belum?” dan beberapa kalimat lagi yang tak sempat saya perhatikan terus saja keluar dari corong toa istri bak mirtraliur Belanda memberondong para pejuang kita yang maju hanya dengan bambu runcing. Ini sebetulnya isyarat bahwa dia memberikan ijin tidak dengan ikhlas sepenuhnya. Istri mana yang ikhlas jika tahu tujuan turing adalah sebuah kota dingin di pegunungan dan terkenal bahwa perempuan disana cantik-cantik *sengaja saya edit dicoret agar jika ada istri-istri ikut membaca tidak tahu hal ini.
Tapi ijin sudah keluar, mau ikhlas atau tidak jangan diperhatikan lagi, acuh beybeh. Segera saja saya mengeluarkan motor dan memanaskan mesin. Sembari minta tolong istri untuk membantu mempersiapkan pakaian yang hendak dibawa. Lanjut mandi, selesai mandi saya takjub dengan semua barang yang disiapkan istri, mungkin diperlukan motor bak R3 untuk mengangkut semuanya. Terpaksalah saya pilih ulang apa yang mau dibawa untuk perjalanan 3-4 hari plus 2 hari di lokasi usaha yang justru membuat sempat mencuci pakaian kotor. Saya pilih membawa;
- 3buah Tshirt: 2 lengan pendek dan 1 lengan panjang
- 2 celana jeans: 1 panjang dan 1 pendek
- celana dalam dan celana renang
- handuk dan alat kebersihan: sabun cair, 1 set sikat gigi lipat dan deodoran sachet
- sepatu karet tipis yg mirip keluaran Reebok tapi hanya sepersepuluh harganya
- parfum tidak ketinggalan tapi ini harus diam-diam tanpa sepengetahuan istri
Semua barang saya bungkus dengan kantong plastik 2 lapis mengingat hanya mengandalkan sidebag yang tidak waterproof meski lengkap dengan raincover. Air masih merasuk ke sidebag lewat sisi dalam yang berhadapan dengan ban, cipratan dari ban tidak terlindungi oleh raincover. Semoga ada produsen yang mau mentest buatannya di derasnya hujan beneran atau motornya dicemplungkan menyeberangi sungai dangkal sekalian.
Sidebag jauh lebih praktis dibanding side box. Tanpa ruwet dengan bracket dan besi tambahan malang melintang di motor. Kekurangannya hanya sering ditanya, “sales apa mas?” J. Sementara ini saya menghindari memakai top box karena box jenis ini mempengaruhi pengendalian motor cukup besar. Tapi di nexie menjadi opsi yang mungkin terpaksa dilakukan karena bagasinya kecil, beda dengan skywi. Skywi adalah skuter matik 125cc dari Suzuki yang juga saya miliki tapi kini ditugaskan membantu usaha perkebunan saya di Kaur, Bengkulu sana. Kalaupun suatu waktu nanti menggunakan top box, paling pilih yang kecil dan produk murahan saja atau sekalian orisinal keluaran Suzuki. Top box lebih digunakan menempatkan barang ringan spt alat pancing, alat mandi dan sandal karet.
Selesai semua dan masuk ke sidebag ditambah perlengkapan bersepedamotor seperti jas dan celana hujan. Tak lupa kamera kesayangan masuk kedalam tas tangki khusus kamera, hanya saja nexie tak punya tangki untuk menempatkan tankbag, tapi produk Indonesia ini pasti sudah memikirkan penggunaan di motor tipe skuter dan bebek. Tankbag kamera ini saya gantungkan ditengah dibawah stang dan diperkuat dengan memasang tali selempang ke depan, terikat di dudukan plat nomor. Meski penempatan di skuter dan bebek cukup baik tapi ergonomi isi dalam tas masih kacau jika ditempatkan berdiri, kameranya cenderung jatuh ke dasar tas dan menyulitkan ketika diambil terburu-buru.

Berangkat, 4 Oktober 2014
Pra Etape: Bakauheni(rumah saya)-Bandarlampung, 67km jalan lebar dan lurus
Tak terasa waktu terus berjalan dan jam sudah menunjuk angka 7 lewat 30 menit. Halaah, sangat terlambat ini. Mau segera ngegas tapi istri sudah menyiapkan sarapan. Tak elok jika tak mengindahkan apa yang dibuat istri sebagai rasa kasih sayang pada kita. Makan dan ngopi sarapan hingga pukul 8 lewat.
Pakai sepatu AP boot Moto3 dan jaket hadiah sponsor peninggalan seorang teman Nusantarider. Jaket berlogo produsen oli ini ternyata cukup baik menahan dingin dan angin tapi tidak membuat terlalu gerah. Jacket kulit buatan terbaik dari Samarang, Garut yang bisa saya pakai, sementara cuti dulu apalagi memang bukan didesain utk bersepedamotor, bagian leher tak bisa menutup rapat.
Periksa sidebag, agak heran melihat lebih menggembung dibanding tadi. Ternyata saat saya sarapan istri memasukan beberapa potong pakaian lagi. “Bawa kemeja dan baju koko, besok itu Lebaran dan di Merpas, kan dua hari, siapa tau bupati meninjau atau kadispariwisata” sergahnya ketika saya protes. Akhirnya jam 9 pagi baru menghidupkan motor dan langsung ngacir.
Isi bensin di SPBU siangmalam, disebut demikian karena dekat dengan RM SiangMalam. Full Tank Pertamax Rp.44.000,- harga perliter disitu dan sepanjang perjalanan sama saja Rp.12.500,-  sebenarnya hanya 3,5 liter atau Rp43.750,- tapi duit 50ribu cuma dikembalikan Rp.6000 saja. Pilih pertamax untuk membuktikan bahwa motor bertangki kecil tetap bisa selalu mengisi pertamax di perjalanan ini apalagi motor bertangki besar. Selain diharapkan nexie bisa lebih bertenaga dan lebih irit dengan minum bbm beroktan 92. Soal irit sebenarnya relatif tapi setidaknya jika minum bensin premium paling irit jika dijalankan dengan kecepatan 40-60 kpj sementara dengan pertamax bisa digeber 60-80 kpj dengan keiritan yg sama. Ini hasil tes ringan tanpa metode baku penelitian.
Tanpa hambatan berarti jarak 67 kilometer dari SPBU hingga Bandarlampung bisa dicapai dengan mudah. Satu setengah jam, tiba di Bandarlampung pukul 10.30. Dan hanya berhenti di minimarket 1 kali untuk membeli celanadalam tipe boxer. Karena 1 lagi masih basah dan tak terbawa. Celanadalam tipe ini paling nyaman dipakai riding seharian dibanding tipe biasa yang bagian tepi tebal di pangkal paha akan menekan saat dipakai duduk di jok berlama-lama.
Di Bandarlampung saya singgah di rumah teman yang sekitar 15-25 tahun lalu adalah rekan memotoran (jaman dulu kami belum kenal istilah touring, memotoran adalah istilah saat itu). Sempat bilang beberapa minggu sebelumnya bahwa dia mau ikut. Agak ragu juga karena umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dan beberapa tahun lalu sempat sakit parah mengkuatirkan. Tapi dia menjamin sudah sehat wal afiat dan siap mengulang kesenangan bersepedamotor ngeblanksak. Apalagi tujuan utama adalah Pagaralam yang terkenal akan... ekh hmm sudah saya tulis tapi saya coret lagi diatas. Sebagai jomblowan sejati tentu ia bisa berangkat kapanpun tanpa ijin dari siapapun. Tapi ternyata motornya, Suzuki Crystal bebek 2 tak 110cc, yang tidak siap atau mungkin badannya yang kurang sehat tapi demi menjaga kemungkinan diajak lagi lain waktu ia beralasan motor.
Ya sudah... jadilah ini sebuah solorun. Dan berikut saya paparkan rute serta pembagian etape.
Karena di facebook sempat saya sebut urutan etape berdasar titik istirahat dan nampaknya tidak sesuai penomoran etape dengan yang saya tuliskan berikut ini. Saat jalan saya tidak suka melihat catatan apapun. WYSiWYG: what you see is what you get, istilah yang saya pakai. Jalani saja, apa yang ketemu, itu yang kita dapatkan. Padahal beberapa point of interest sudah saya catat dan urutan perjalanan bahkan tempat istirahat sudah saya tentukan. Catatan itu hanya saya lihat sebelum jalan dan ingat-ingat saja di kepala, selebihnya adalah improvisasi di jalanan ibarat bermain musik jazz.

HARI PERTAMA
Etape 1, Bandarlampung – KotaAgung 96 kilometer; Jam 11.50 – 13.10 dan 13.45 – 14.20
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik
Jalur ini terbilang sering saya lewati. Sudah pula saya tuliskan dalam bentuk ride report atau saya lebih suka menyebutnya sebagai RIDE STORY. Dulu saya tuliskan dengan tambahan cerita dari masa lalu saat pertama menembus calon Jalan Lintas Barat dari KotaAgung hingga Krui.
Start kegiatan ini dari Bandarlampung setelah mendapat kepastian rekan tak jadi ikut, judul kegiatan pun berubah menjadi Pagaralam Solorun dari sebelumnya direncanakan Pagaralam Rideventure. Jam 11.50 saya memulai pelintir gas sedikit demi sedikit. Saat adzan Dzuhur saya telah mencapai gerbang kota. Jalur ini hingga Pringsewu terbilang padat sehingga tidak bisa melaju cepat.
Desa pertama setelah keluar dari wilayah kota Bandarlampung bernama desa Kurungan Nyawa. Desa ini masuk di wilayah kabupaten Pesawaran. Mungkin karena dahulu terdapat sebuah tikungan maut disini, banyak sekali korban tewas akibat kesembronoan pengemudi. Tapi rasanya nama desa tersebut sudah lebih lama dari keberadaan kendaraan bermotor. Kebetulan sekarang ini berdiri rumah sakit jiwa tingkat propinsi di desa ini. Semakin lengkaplah julukan Kurungan Nyawa sebagai tempat mengurung para pasien berjiwa sakit.
Selanjutnya adalah ibukota kabupaten Pesawaran, Gedong Tata’an. Disinilah orang jawa pertama kali ditempatkan dalam program kolonisasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Disini juga terdapat Musium Transmigrasi. Tapi para kolonis ini justru lebih banyak ditempatkan di Pringsewu yang kini menjadi kabupaten tetangga Pesawaran.
Tak lama kemudian perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pringsewu. Total dari Bandarlampung hingga ibukota kabupaten Pringsewu adalah 35 km. Di Pringsewu kehidupan serasa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mayoritas penduduk kabupaten ini keturunan Jawa. Bahasa sehari-hari yang digunakan juga bahasa Jawa ngoko/kasar. Jam sudah menunjukan pukul 13.00  saat memasuki gerbang kota Pringsewu, gapura dari beton yang dibentuk seperti bambu. Sebelum ditempati para kolonis dari Jawa, tempat itu memang hutan bambu.
Pringsewu cukup dikenal kulinernya, masakan khas jawa kelahiran sumatera. Mirip dengan masakan jawa tapi jauh lebih pedas. Dan saya sudah merencanakan untuk makan siang di warung mbak Sri. Jam 13.10 tiba di warung yang terletak di arah keluar kota, setelah pasar dan SPBU. Belum pernah makan disitu sebelumnya tapi sempat dengar dari rekan supir, masakannya enak dan cukup murah. Karena tak ada belut goreng kesukaan, saya pilih rendang jawa dan minum es teh manis. Setelah selesai bersantap segera bersiap melanjutkan perjalanan, kembali mengenakan jaket tjap cas*rol milik teman yang ketinggalan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena dia pasti punya jaket yang lebih bagus. Saat membayar, hanya dikenakan Rp.16.000 untuk nasi rendang plus es teh manis. Lumayan murah.
Perjalanan dilanjutkan jam 13.45, dengan gas tinggi tapi kecepatan rendah, harap maklum nexie hanya mentok di 100kpj setelah ganti ban lebih besar, turun sekitar 5 kpj. Apalagi dengan beban badan seberat 77kg plus barang bawaan yang sekitar 10kg. Serta jalanan juga mendaki dari Pringsewu hingga Gisting. Tetapi kepadatan jalan setelah Pringsewu jauh berkurang sehingga tidak ada penghalang berarti, seperti bus atau angkot berhenti yang membuat waktu tempuh mulur.
Wysiwig disini adalah kehadiran mesjid-mesjid kecil dengan arsitektur unik dan berbeda sama sekali diantara mesjid-mesjid itu. Semua tampak dari sisi jalan yang mendaki landai, terutama di kecamatan Talang Padang, Tanggamus. Nanti mungkin saya buatkan tulisan tersendiri mengenai mesjid-mesjid ini. Beberapa mesjid menjadi aneh bentuknya, bahkan ada yang lebih mirip gereja atau synagog dan hanya kubah yang menandakan itu adalah mesjid. Nampaknya tiap desa atau dusun ingin tampak beda serta ada semacam adu gengsi terhadap bangunan mesjid mereka. Karena terburu-buru akibat telat berangkat, hal yang sudah saya rencanakan untuk memotret mesjid-mesjid ini secara lengkap batal saya lakukan.
Pusat kota Kec Talang Padang yang dahulu merupakan pusat perkulakan kopi sudah terlewati dan jalanan semakin nampak menanjak hingga di Gisting Bawah. Dari desa Gisting Bawah terlihat nyata jalan mendaki, dan dari namanya juga nampak karena setelah itu adalah desa Gisting Atas. Ketinggian Gisting Atas sekitar 650 meter diatas permukaan laut membuat udara disini cukup dingin.
Terlihat meteran bensin menukik ke E tapi yakin masih sampai di KotaAgung. Beberapa SPBU setelah Pringsewu tak ada yang menjual Pertamax, sementara utk mengisi bbm di Pringsewu tadi urung karena fuel meter masih mendongak tinggi disana. Yakin sampai Kota Agung mengingat setelah lewat batas desa Gisting Atas jalan senantiasa menurun sejauh 25an km. Di ketinggian Gisting Atas akan ditemui gerbang Kota Agung. Padahal Kota Agung dikenal sebagai bandar laut sejak era kesultanan Banten yang tentunya di pinggir laut dan memasang gapura di ketinggian 600 meter dpl. Agak membingungkan awalnya, ternyata pas kemarin saya lewat baru sadar bahwa itu adalah batas kecamatan Kota Agung. Dan Kota Agung bukanlah kota dalam terminasi bahasa Indonesia, hanya saja kecamatan ini menjadi ibukota kabupaten Tanggamus. Kalaupun menjadi kota suatu waktu nanti maka akan disebut secara resmi sebagai Kota KotaAgung atau dibahasa-Indonesiakan menjadi Kota PagarAgung. Kota atau kuta dalam bahasa Lampung berarti pagar.
Setelah gapura KotaAgung kita akan menemui jalan berliku tajam menurun. Jalan berbentuk letter “U” dan hampir “O” akan kita temui. Inilah pertama kali saya mengendarai matik dengan shockabs sebelah di jalanan yang amat saya sukai, penuh tikungan. Awalnya kuatir bahwa nex akan bergoyang di tikungan, terutama ke arah kanan. Tapi setelah mencoba di beberapa tikungan lebar sebelumnya, saya beranikan mencoba di kecepatan sedang, 60kpj. Tak ada goyangan sama sekali seperti yang saya kuatirkan sebelumnya. Akhirnya sedikit demi sedikit kecepatan di tikungan demi tikungan saya tambah. Sampai akhirnya sebuah tikungan ke kiri yang amat tajam memasuki jembatan memaksa saya menekan rem cukup dalam tapi motor masih melaju deras karena posisi jalan yang menurun. Posisi badan cepat saya geser ke kiri hingga bergaya bak pembalap road race untuk mengajak nex menikung cepat. Nyaris mencium pagar beton jembatan. Tapi bukan Andre namanya jika lantas memperlambat laju di tikungan *sombong dikit dulu ah.... justru merasa sudah dapat trik menikung dengan matik kecil, kecepatan saya tambah. Tapi mohon jangan ditiru, saya berani karena hapal dengan tikungan-tikungan disini. Dan saya hanya ingin membuktikan kekuatiran saya selama ini terhadap motor ber-shockbreker sebelah yang ternyata dengan nex tidak terbukti. Nex justru tangguh melibas tikungan di kecepatan penuh, entah dengan produk pabrik lain. Tapi di jalan rusak, nex dengan shockabs yang keras sangat tidak nyaman.
Sesampai di KotaAgung, saya tuju pertama kali adalah SPBU, sayangnya di kota yang bukan kota tapi sudah berbentuk kota ini tak menjual pertamax. Karena takut kehabisan bensin saya  isi premium Rp.15.000,- di SPBU KotaAgung. Istirahat di minimarket dekat SPBU dengan meminum sisa miz*ne yang sudah hangat. Lantas membeli air mineral dingin dan meminumnya seteguk saja. Sebagai tindakan preventif, saya tidak langsung meminum air dingin disaat badan panas terpepes matahari * ya benar, terpepes karena dibungkus jaket, kalau telanjang dada baru disebut terpanggang matahari :P . Juga membeli snack berat tapi tak saya makan disitu, sebagai persiapan jika terjadi masalah di jalan. Jalan di depan akan melewati hutan tanpa penduduk lumayan jauh. Dan bisa saja ada pohon rubuh menghalangi jalan membuat perjalanan terhambat,  saat-saat seperti itulah snack berat sangat berarti.
Etape pertama selesai di KotaAgung dan sejak awal saya rencanakan berakhir di minimart.

Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan Bengkunat 95km; Jam 14.45 – 16.15
Setelah istirahat cukup karena melibas tikungan dari Gisting hingga KotaAgung cukup menguras stamina. Kembali saya tenggak seteguk air dingin dan bersiap mengenakan gear alakadarnya dibanding pengendara motor profesional. Sejurus kemudian kembali menstart mesin nexie, sambil membayangkan terdengar kata-kata “gentlemen, start your engine... get set... GO!” tarik gas dalam-dalam dan motor melaju menghentak. Tapi itu hanya khayalan... kenyataan sih cuma pelintir gas perlahan-lahan. Apalagi ini kota dan kampung orang, sebagai akamsi saya tahu rasanya melihat orang geber-geber gas di depan muka di wilayah sendiri.
Sekitar 15 kilometer setelah keluar KotaAgung akan ditemui sebuah SPBU disebelah kiri jalan yang saya sebut sebagai KotaAgung 2, SPBU yang terhitung lebih baru dan pastinya menjual pertamax. Saya isi bensin lagi disini, kali ini pertamax hingga penuh, Rp.17.000,-. Tak saya perhatikan jumlah liter tepatnya dan hanya catat rupiah saja. Tak jauh dari SPBU ini juga ditemui sebuah SPBU lagi tapi tak jual pertamax. Setelah itu tak dijumpai lagi SPBU hingga daerah Biha, sekitar 100 kilometer jarak antar SPBU ini.
Perjalanan dilanjutkan melewati kota kecamatan Wonosobo, awalnya disini adalah pemukiman transmigran yang berasal dari Wonosobo, Jateng namun kemudian dihuni juga oleh orang jawa dan etnis daerah lain sehingga Wonosobo di Lampung ini menjelma jadi pasar besar dan kemudian ditunjuk sebagai ibukota kecamatan. Selewat Wonosobo akan ditemui jalan bercabang yang kadang membingungkan jika tak melihat papan petunjuk jalan. Lurus adalah jalan ke Suoh, memang bisa tembus hingga Liwa tapi jalan semi offroad. Belok kiri adalah jalur Jalinbar yang sebenarnya mengarah ke Krui.
Dan Sedayu menanti, Sedayu adalah nama desa atau disebut pekon di Tanggamus, tempat jalanan menjadi curam menanjak atau menurun jika arah sebaliknya. Bukan sekedar curam tapi juga panjang berkepanjangan. Tanjakan ini terpaksa dibuat curam karena bukit yang akan dilalui bukanlah bukit biasa, ini adalah sebuah patahan kerak bumi, dalam penyebutan secara geologi bukit ini disebut patahan/sesar semangko. Patahan yang bermula dari sekitar dibawah Liwa bahkan Ranau hingga ke tengah laut teluk Semangka dan menusuk hingga Selat Sunda. Sepanjang itu pula sisi bukit ini hampir tegak lurus. Di laut, bagian dari patahan ini menjadi surga pemancing dengan sebutan areal SMR (Sea Mount Reef). Di Selatan Liwa, terbentuk mata air panas Suoh yang mendanau sebagai hasil panas yang terjadi akibat gesekan antara kerak bumi yang tertinggal dibawah dan yang naik membukit.
Sedayu kini juga terkenal salaknya yang hampir menyerupai hasil tanaman di Pondoh karena ditanam dengan bibit asal daerah itu. Setelah tanjakan menjadi lebih landai ada beberapa kedai yang menjual salak ini. Sedikit lewat kedai-kedai itu akan ditemui kantor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seksi Sedayu. Pertanda kita akan memasuki hutan kawasan. Dulu saat pertama kali lewat di tahun 1995 tempat itu adalah gerbang masuk dan pos pengamatan hewan.
Selanjutnya adalah barisan pohon-pohon besar dan kerimbunan hutan tropis di kanan kiri jalan. Di pertengahan akan dijumpai perbatasan kabupaten Tanggamus dengan Pesisir Barat (d/h bagian dari Lampung Barat). Jalanan mulai menurun setelah melaui Patok 50, patok seket. Jalanan ini juga tak kalah curam dengan Sedayu, inilah yang disebut tebing mayit, hanya saja telah dipapas sehingga lebih landai dan tak lagi membahayakan. Ada beberapa bangkai jip dibawah jurangnya yang sedalam 100an meter. Sebelum dibuatkan jalan aspal Lintas Barat Sumatera, bagian ini telah menjadi jalan rintisan angkutan jip menuju Bengkunat dan dari situlah julukan tebing mayit bergema hingga kini.
Setelah hutan, mulai nampak perkampungan atau desa atau di PesBar juga disebut dengan pekon. Pekon pertama di Pesbar dari arah Tanggamus adalah Pemerihan, kehidupan disini sebelum ada Jalinbar memang sungguh perih, ke Krui atau Liwa yang menjadi ibukota kabupaten memakan waktu 2 hari perjalanan. Karena itu tidak heran mereka lebih akrab dengan KotaAgung atau Wonosobo dan Kuncoro di wilayah Tanggamus selain mereka kebanyakan adalah pendatang dari Tanggamus.
Pemerihan termasuk dalam kecamatan Bengkunat Belimbing yang pecahan dari kec Bengkunat sebagai akhir etape ini. Perlu dipahami, sebuah kecamatan di Lampung bisa seluas sebuah kabupaten di pulau Jawa. Karena itu banyak sekali kecamatan-kecamatan baru hasil pemekaran. Tak luput kecamatan Bengkunat dan agak lucu karena pelabuhan dan teluk Bengkunat justru berada di kecamatan yang dimekarkan sehingga menjadi kecamatan Bengkunat Belimbing. Kecamatan induk menurut aturan tak bisa berganti nama dan Bengkunat yang sekarang tak lagi berasosiasi dengan posisi geografis Teluk Bengkunat.
Meski sudah bukan di kawasan hutan, jalan disini masih sepi dari rumah penduduk disisinya. Seperti juga di Lampung Selatan, sebenarnya penduduk disini cukup banyak tapi bertempat tinggal bukan ditepi jalan yang baru dibentuk tahun 1995an. Di tepi teluk Bengkunat dan di tepi sungai besar seperti Way Ngaras adalah pemukiman utama penduduk disini. Tapi 5-6 tahun terakhir ini sudah mulai banyak yang memindahkan rumah ke tepi Jalinbar.
Dan beberapa bulan terakhir sudah ada minimart di kec Bengkunat induk. Ini adalah akhir etape kedua. Dan saya menyelesaikan etape ini sesuai perkiraan, jam 16.25. Dijalur ini saya tak sempat berhenti memotret kecuali di Sedayu menyempatkan mengambil gambar seorang anak yang melepas-latih burung dara. Sejak menjelang patok seket terlihat awan mendung menguasai langit. Akibatnya saya terpaksa berpacu dengan kemungkinan hujan deras. Tebing mayit jadi seperti jalan tol lurus datar saja, hampir pol gas saya pelintir. Menikung ambil gaya pembalap kembali terpaksa dilakukan. Andai saya tidak mencoba di menjelang KotaAgung tadi, jelas tidak berani main-main disini, kalau terjadi kecelakaan bisa jadi saya tidak pernah ditemukan tersembunyi di dasar jurang yang berupa hutan lebat.

Etape 3, Bengkunat – Krui 56km; Jam 16.45 – 18.40
Tidak sampai 5 menit setelah saya tiba di minimart Bengkunat, gerimis pun menyusul. Istirahat minum aqua yang dibeli di KotaAgung dan mengunyah snack berat. Para pramuniaga minimart yang sepi ini melongo memperhatikan saja, mungkin sedih karena toko yang tak pernah ramai ini saat ada yang singgah malah minum dan makan roti dari kantong plastik minimart yang semerk tapi bukan beli disitu. Bukan karena kasihan dengan pramuniaga dan kasir tapi memang setelah itu saya baru masuk belanja, sebotol amdk (air minum dalam kemasan) dingin dan snack. Kembali keluar dan istirahat sembari meneguk sedikit air dingin. Buat saya, saat badan panas berkendara jika langsung meneguk air dingin membuat mudah terserang flu. Dan flu menjadi merepotkan bagi saya apalagi perjalanan masih panjang.
Istirahat dan menanti gerimis reda. Sebentar saja gerimis berhenti dan hujan rupanya tidak mengikuti. Segera saya start motor dan melaju kembali saat jam menunjukan pukul 16.45. Jalan antara Bengkunat hingga Biha banyak sekali lurus dan panjang-panjang, mungkin dibuat dengan menarik benang. Sepertinya jalan ini dibuat lurus-lurus sebagai kompensasi jalan di Sedayu dan patok seket.
Tak berapa lama gerimis pun kembali menyusul atau tepatnya menunggu di jalan. Karena cuma kecil saja, saya acuhkan. Ternyata mendekati Pura Melasti semakin membesar dan celana serta jaket mulai membasah. Sekalian saja saya hentikan motor tepat didepan Pura. Baru jam 17 lewat sedikit disitu. Timbulah ide untuk memotret terbenamnya matahari di pura Hindu Bali itu, menggantikan rencana ambil gambar dari Lemong. Jika dihiasi siluet arca atau ukiran pura pasti menjadi foto yang menarik. Sayangnya cuaca benar-benar tidak memungkinkan. Samudra Indonesia juga sangat gelap diliputi mendung. Mustahil ada penampakan “mata dewa” di cuaca seperti ini.
Didaerah ini memang banyak terdapat pemukim asal Lampung Tengah yang kebanyakan suku Bali. Kakek moyang mereka merupakan transmigran akibat bencana letusan Gunung Agung tahun 50an. Mereka ditempatkan di Lamsel dan Lamteng. Dan keturunannya mengisi wilayah kosong *saat jalinbar baru mau dibangun, disisi Barat Lampung.  
Mendapati kemungkinan kecil mendapat obyek bagus untuk difoto, segera saya kenakan jas hujan - celana hujan tak lupa menyarungkan rain cover di sidebag. Saat ingin menyarungkan DSLR tankbag. E...ladalaaah, kok ya ketinggalan... tapi saya selalu membawa kantong-kantong plastik cadangan dan kebetulan ada thrashbag bekas acara GRGG dulu saya bawa juga * thx om Ali Arifin atas pemberian plastiknya ini. Jadilah itu sebagai pembungkus tankbag.
Setelah meluncur kembali saya coba pacu sekencang mungkin karena mendung semakin tebal. Jalanan benar-benar lurus di bagian ini tapi ada juga tikungan melebar. Setelah melewati sebuah tikungan, jalan berlubang muncul dari persembunyianya dibalik tikungan, tak ayal masuklah ban matik yang kecil itu sepenuhnya kedalam lobang. Meski hanya beberapa sentimeter saja dalamnya namun cukup membuat guncangan keras. Gagang spion kanan yang terbuat dari plastik sampai patah sendiri karena guncangan itu. Berhenti untuk memungut patahan spion yang cukup mahal karena berkaca cembung seperti spion aslinya. Semoga bisa diperbaiki nanti.
Trauma dengan lobang, kecepatan motor saya kurangi terutama di tikungan yang kalo tidak salah ingat hanya tinggal 3 buah lagi dari SPBU Way Jambu hingga Biha sejauh l.k 12 km. Setelah Biha, perjalanan memasuki Kawasan Wisata Selancar Tanjung Setia. Disini biasanya banyak peselancar mancanegara. Karena menjelang senja dan gerimis besar tak terlihat para bule ini seliweran. Satu – dua kilometer kemudian gerimis mengecil hingga berhenti sama sekali. Dan jalan rusak, dikelupas karena sedang diperbaiki diantara Biha dan Krui memperlambat laju.
Baru saat Maghrib tiba di SPBU Krui 2, pom bensin baru yang terletak sebelum memasuki Krui kota arah dari KotaAgung. Tepatnya di pekon Lintik, disini juga terdapat minimart namun karena menyatu dengan SPBU membuat tak bisa melaksanakan kegiatan yang selalu saya lakukan saat istirahat, saya lanjutkan perjalanan memasuki Krui kota. Alih-alih beristirahat di minimart, saya pilih rumah makan Awak Bana setelah melewati pasar Krui. Meski di Krui banyak keluarga dari istri saya putuskan untuk tidak singgah agar tiba di Merpas sebelum tengah malam. Karena coba-coba singgah akan berbuah dipaksa menginap.
Selesailah etape ketiga di RM Awak Bana yang meski bergenre minang ternyata menerapkan sistem layanan sendiri, self service atau ambil sendiri makananmu. Baru saja duduk menghadap makanan, “byur” hujan besar turun sekaligus. Alamat berlama-lama istirahat disini.

Etape 4, Krui – Merpas 82km; Jam 20.10 – 22.35
Jam 20.05 hujan baru reda. Segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lama sudah kembali menggilas aspal diatas kedua roda. Perlengkapan penahan hujan tetap dikenakan. Selain terlihat mendung masih menggayut tebal, malam basah membuat dingin lebih terasa. Lutut sudah mulai terasa sakit linu akibat sempat berbasah-basah tadi. Paksakan saja untuk terus karena tinggal beberapa puluh kilometer tiba di tempat istirahat sekaligus tujuan sekunder.
Jalan antara Krui hingga Bintuhan sebenarnya amatlah cantik pemandanganya apabila perjalanan dilakukan saat hari terang. Sebetulnya saat itu bulan sudah bersinar hampir membulat, andai tidak mendung pasti sangat indah memandang samudra bermandikan cahaya bulan. Tebing-tebing yang bahkan ada yang lebih dari 90 derajat di sisi Timur jalan dan jurang berdasar samudra di sisi Barat. Ada sebuah tebing yang yang terbentuk dari 1 buah batu utuh seakan memayungi jalan dibawahnya, itu sebabnya saya katakan lebih dari 90 derajat. Batu tihang juga menghias pemandangan samudra dari Jalinbar di seksi ini. Rasanya tak cukup sepuluh halaman untuk menceritakan keindahan di Jalinbar antara Krui – Bintuhan.
Tapi karena saat ini saya jalan malam tak banyak yang bisa ditulis. Jalanan sebagian masih rusak sedang diperbaiki. Banyak lubang dan jika menggunakan sedan dipastikan akan berkali-kali tersangkut batu jalan yang menyembul. Jalan rusak ini tak seluruhnya tapi kerap timbul setelah beberapa ratus meter.
Dan tibalah di minimart berantai yang paling ujung di etape ini, di kecamatan Pugung. Saya sempatkan berbelanja berbagai kebutuhan seperti alat cukur kumis, obat pegel dan snack. Sekalian saya buka jas hujan karena nampak cuaca menjadi cerah disini.  Tidak jauh dari titik ini, jalan akan mendaki menuju dataran Lemong. Jalan dibuat memutar karena pihak kehutanan ingin melestarikan hutan pantai di wilayah itu.
Jalan menuju Lemong lumayan curam, mirip dengan Sedayu tapi tak terlalu panjang. Setelah Lemong, jalan akan kembali melintasi hutan TNBBS. Wilayah Pesisir Barat memang dikelilingi Taman Nasional yang cukup panjang di sisi Barat Sumatera ini. Artinya untuk memasuki PesBar melalui jalan darat dari manapun maka wajib melintasi hutan. Dari KotaAgung sudah saya sebutkan tadi. Dari Liwa juga melewati TNBBS sektor Liwa dan dari arah Bengkulu adalah hutan TNBBS seksi Lemong/sektor Pugung.
Kengerian pun muncul saat menjelang memasuki kawasan TNBBS. Gelap dan jalan sepi. Lewat terakhir disini adalah musim mudik kemaren yang lumayan ramai. Saya berhenti sebentar untuk memasang senter di dudukan yang telah disiapkan di spion. Alat bantu penerangan penting karena lampu utama nexie menempel di badan motor sehingga tidak bisa menengok kiri kanan. Padahal di hutan bagian ini masih banyak hewan liar. Penampakan beruk, si monyet besar sudah biasa disini. Dan beruk ini juga lumayan menyulitkan jika menyerang kita, giginya besar dan tajam diketahui pula kadang menyerang manusia secara keroyokan. Si tutul juga dilaporkan beberapa bulan sebelumnya terlihat tak jauh dari Jalinbar.
Tapi dengan keyakinan penuh gas kembali dipelintir maksimal. Tujuan hanya tinggal 28 kilometer lagi. Sepanjang 24 kilometer melintas hutan itu hanya 2 kali ketemu truk yang mudah saja disalip. Dan hanya papasan dengan sebuah mobil minibus. Setelah turun dan jalan kembali disisi pantai ternyata hujan lumayan deras menanti. Tanggung untuk mengunakan jas hujan karena tinggal sedikit lagi, toh celana hujan respiro masih dikenakan.
Akhirnya sampai juga di Pantai Laguna Samudra. Dan segera meminta kunci pondok inap. Selesai lah etape ke empat dan perjalanan hari itu.

Istirahat di Merpas 2 hari 3 malam
Akhirnya perjalanan Hari ke 1 selesai. Dan bukan berarti saya bisa istirahat penuh karena tujuan sekunder ini adalah bekerja. Tanggal 5 Oktober 2014 ini adalah Hari Raya Kurban atau Iedul Adha. Saat orang banyak libur, sementara kami yang bekerja di bidang pariwisata justru bekerja lebih keras. Semalam, begitu tiba di Pantai Laguna Samudra (PLS) saya langsung mandi meski dingin karena angin lumayan kuat malam itu. Tapi rasa tebal dimuka dan lepek di badan bakal menyulitkan untuk tertidur dengan lelap. Sebelum tengah malam saya sudah terlelap penuh.
Kali ini saya terbangun tepat 5 jam setelah lelap, jam 4.45. Udara dingin merasuk kedalam pondok kayu membuat menggigil. Meski di pantai, udara di PLS terhitung dingin apalagi subuh begini, angin dari pegunungan Bukit Barisan yang hanya beberapa kilometer saja dari sini, membuat suhu seperti di pegunungan saja. Siang hari pun pantai ini adem sekali karena pepohonan yang demikian rimbun sebagai Taman Rekreasi yang bertemakan hutan pantai.
Saya sempatkan melaksanakan ritual religi. Kemudian saya lanjutkan dengan merendam pakaian kemarin. Sejurus kemudian saya telah berkeliling memeriksa tiap sudut PLS yang pengelolaannya saya pegang hingga tahun 2020 ini. Hitung-hitung olahraga juga karena lumayan melelahkan mengelilingi hutan pantai seluas lebih kurang 8 hektar ini. Menjelang pukul 7 saya kembali ke arah Pos Pelayanan atau Kantor Pengelola. Pemegang kendali usaha di lokasi, Udo Zuryanto tampak bersiap ke Mesjid utk Shalat Ied. Memang beliau adalah suami dari kakak istri yang tertua tapi usianya sama dengan saya, karena penghormatan saya tetap memanggilnya dengan “Udo”.
Kemudian sehari itu dihabiskan dengan pemeriksaan administrasi dan pembicaraan mengenai segala sesuatu tentang pengelolaan PLS. Sambil juga kami memperhatikan penjualan tiket masuk dan melayani pengunjung memberikan informasi dlsb. Hingga malam kembali datang.
Pagi hari kedua di PLS juga dihabiskan dengan pekerjaan. Saat jam makan siang saya sempatkan keluar mencari lokasi foto menarik, ada sebuah jalan yang baru saja diaspal hotmix keatas gunung dan saya mau coba kesana. Jaraknya tak terlau jauh, sekitar 8 kilometer kemudian mendaki sekitar 5 kilometer. Sebenarnya jalan mendaki masih panjang tapi aspal hotmix hanya sampai 5 km. Kebetulan pula sebelum jalan hotmix habis, saya telah menemukan spot yang memang sudah saya incar dengan bantuan google map. Benar saja pemandangan disitu sesuai perkiraan, indah dan dapat memandang samudra sehingga memungkinkan mengambil foto mentari terbenam di lautan  dari ketinggian. Saya putuskan untuk sampai disitu saja, penyebab lain karena nexie di jalan rusak sangat tidak nyaman dan kuatir ban depan yang masih bawaan bocor dihantam bebatuan.
Sekembali dari peninjauan lokasi, saya lanjutkan rapat pembahasan rencana kerja sambil makan. Enaknya jadi boss, bisa suka-suka hati :D . Sekitar jam 5 sore saya persiapkan kamera dan berangkat ke lokasi tadi meski mendung tebal telah menguasai langit. Berharap saja mendung bakal sedikit mengalah di ujung lautan. Sayang sekali mendung tak mau mengalah sedikitpun, hingga lagi-lagi terpaksa kecewa karena tak ada “mata dewa” yang bisa saya abadikan.
Sembari menunggu matahari terbenam ada seseorang yang menghampiri karena heran melihat ada orang memainkan kamera di hutan. Beberapa pelintas lain enggan menghampiri, kecuali Jon Henri yang ternyata pemilik jip angkutan umum ke pegunungan. Tak dinyana diatas sana ada beberapa desa lagi. Padahal sejauh 5 kilometer dilewati dan sejauh mata memandang keatas tak nampak rumah kecuali gubuk buat istirahat siang di kebun yang kosong menjelang maghrib begini. Jon Henri adalah pemukim yang berasal dari Pulau Beringin, sekitar 1 hari berjalan kaki menuju kampung asalnya, itu yang dia lakukan dengan ayahnya beberapa belas tahun silam ketika pindah ke wilayah Bengkulu.
Akhirnya setelah maghrib terlewat dan tak mendapat buruan, saya putuskan balik ke PLS. Istirahat cukup malam itu. Meski subuh sudah bangun, saya tidak bersegera bersiap melanjutkan perjalanan ke Pagaralam. Sengaja agak siang baru direncanakan berangkat. Mensimulasikan seakan-akan saya baru sampai di Merpas kemarin sore/malam. Pagi-pagi saya sempatkan bermain air di laut, berenang di laguna PLS, tepian samudra yang terlindungi oleh “pagar” karang ditengahnya. Ombak Samudra yang dahsyat tidak bisa menembus pagar karang itu, berenang menjadi sangat mengasyikan disini.
Jam sudah menunjukan pukul 8.30 dan saya bilas air tawar. Lanjut berbenah mempersiapkan keberangkatan. Hingga akhirnya jam 10.15 saya sudah siap meluncur. Pamitan sambil mengisi dompet, ambil uang SHU bagian saya. Perjalanan lanjut jam 10.25.

HARI KEDUA
Etape 5, Merpas – Manna 104km; Jam 10.25 – 12.20
Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sengaja berangkat agak siang demi mensimulasikan bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan, berenang menikmati laut dulu dlsb. Persis sebagai pejalan yang belum pernah singgah di PLS lain, sebagaimana pembaca sekalian nantinya jika menyempatkan mengambil jalur-jalur yang saya sampaikan disini.
Saya sudah cukup hapal juga bahwa jalan menuju Manna dari PLS akan mulus dan cukup lebar. Tikungan juga terhitung lebar-lebar meski banyak juga yang cukup tajam, biasanya menjelang sungai dan jembatan serta sesudahnya. Ini disebabkan sungai yang terletak di bawah lembah, sehingga saat mendekati sungai, jalanan juga menuruni lembah yang biasanya cukup curam.
Tidak jauh dari PLS Merpas ada sebuah SPBU yang baru, hampir seusia dengan SPBU Lintik di Krui. Saya yakin disana akan menjual pertamax. Meski fuelmeter telah tandas kebawah, saya paksakan sampai di SPBU tersebut. Setelah sekitar 15 km dari gerbang PLS sampailah di SPBU Maje (Bintuhan 2). Saya isikan nexie, pertamax senilai Rp.42.000 dengan harga perliter sama, Rp.12.500,-.
Perjalanan di jalan yang banyak lurus sebetulnya membosankan tapi karena pemandangan hijau kadang dipadu birunya laut, ditingkahi rumah-rumah panggung kayu yang kecoklatan membuat pikiran segar. Tak terlalu bosan juga.
Disekitar Merpas hingga Bintuhan banyak ditemui tumpukan pasir hitam, itu adalah hasil tambang setempat berupa pasir besi. Diduga pasir besi ini diangkat oleh tsunami jaman purba ke daratan mengingat tidak adanya sumber besi di pegunungan diatasnya. Memang pesisir Barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung adalah ‘tsunami sites’. Beberapa ratus tahun sekali akan dilanda tsunami, di wilayah Bengkulu terakhir tercatat tahun 2007 tapi tak terlalu besar dan 1830an setinggi 6 meter.
Jalan antara Merpas hingga Manna senantiasa mulus sejak belasan tahun lalu. Tapi hal ini lebih disebabkan tak ada truk bermuatan berlebih melintas disini. Bukan karena sikap tegas petugas jembatan timbang namun akibat penghalang pada jalan saat selangkah memasuki Lampung. Penghalang itu berupa tanjakan curam Tebing Manulla yang tak kalah mengerikan dibanding Sedayu dan Tebing Mayit. Entah sudah berapa puluh truk yang tak kuat menanjak hingga merosot mundur dan masuk jurang yang menanti baik disisi kanan maupun kiri. Bagi saya yang arah ke Bengkulu, Tebing Manulla adalah turunan, dan saya lintasi di hari pertama malam hari. Tapi kini sedang dibangun jalan alternatif agar tak lagi perlu melintasi jalan maut tersebut.
*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang  penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.
Tanpa terasa Bintuhan terlewat, Pantai Hili menyambut, keunikan pantai ini: dipenuhi dengan hamparan batu sebesar kepala bayi. Jika terpikir oleh-oleh untuk istri menguleg sambal di rumah, silahkan singgah dan pilih sendiri batunya. Kemudian terlintas pertigaan Muara Sahung, jika masuk ke jalan Muara Sahung akan tembus hingga Pulau Beringin  terus ke Banding Agung ditepi Ranau bagian SumSel, tapi masih harus menempuh jalan tanah. Yang menurut Jon Henri kemarin tinggal sekitar 5-6 km.
Kemudian wilayah utara Kaur yang biasa disebut Padang Guci. Disini ada sebuah jembatan panjang dan jika sempat berhenti ditengah kemudian menoleh ke kiri (Barat) maka terlihat sebuah air terjun kecil yang jatuh langsung di lubuk dari sungai atau aiie (air) dalam bahasa setempat.
Tak jauh dari jembatan, terlewatilah perbatasan kabupaten antara Kaur dan Bengkulu Selatan. Kemudian lagi-lagi ditemukan pencabangan jalan yang membingungkan karena sama besar kedua jalan lanjutan. Apalagi kedua cabang jalan didepan membentuk sebuah jalan lurus, seperti jika kita keluar dari jalan kecil masuk jalan yang lebih besar. Belok kiri atau kearah Barat adalah jalan yang semustinya menuju Manna. Dan gapura kota Manna pun terlampaui.
Di depan ada sebuah cabang jalan lagi, dari papan petunjuk tertulis ke kiri adalah menuju Pantai Pasar Bawah. Jika masih ada waktu, bagus juga melewati jalan lama tersebut, jalan itu melewati pantai terus ke kota Manna. Tapi saya pilih jalan utama. Akhirnya sampai di Simpang Rukis, kota Manna, persimpangan ramai menjelang pusat kota Manna. Karena di propinsi Bengkulu tidak ada jaringan minimart berantai, saya coba berhenti di minimart atau warung semi swalayan yang banyak terdapat sejak dari Merpas, repotnya hanya kebanyakan tidak sekomplit minimart berantai. Tapi karena saya di Manna, kota yang lumayan besar saya perkirakan bakal komplit. Benar saja, yang saya cari tidak ada, adanya jenis lain, semerk dan sama-sama hitam bungkusnya. Yang saya cari hitam kombinasi biru, adanya hitam kombinasi hijau. Terpaksalah beli yang ada saja.
Tak jauh saya rencanakan makan siang sekaligus menamatkan etape 5 disitu. Sebuah rumah makan bernama Riung Bandung yang dimiliki oleh orang sunda, tentu masakan sunda tapi sudah dimodifikasi dengan lidah setempat, seperti biasa ditambah cabai dan merica bumbu-bumbunya. Ternyata RM RiungBandung tutup, entah karena sudah bangkrut yang tidak mungkin karena biasanya sangat ramai disitu pada jam makan siang, kemungkinan besar karena mudik Lebaran Haji. Akhirnya saya putuskan untuk makan tak jauh disebelahnya, terus terang karena saya tertarik dengan sub judul warung tersebut “Masakan Jemau Kitau”, wajib dicoba nih... Jadilah saya akhiri etape ini di RM Panorama, masakan khas Manna.
 
Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km; Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Begitu memasuki warung makan langsung saya ke bagian display makanan. Hmmm... mirip sekali masakannya dengan Minang, serba bersantan. Saya lihat ada cincang dua macam, satu berbumbu khas minang santan dan merah sementara yang satu lagi seperti opor. Kemudian ada ikan nila goreng yang disebut sebagai mujair, tadinya saya berharap ada ikan laut mengingat Manna adalah kota di tepi Samudra. Tapi mungkin si pewarung dari sisi daratan atas Manna yang dengan aiie Manna sebesar itu pastinya ikan air tawar juga menjadi favorit disini.
Selesai makan, saya sempatkan memotret warung dari jalan. Baru kemudian melanjutkan perjalanan etape 6. Jam 13 kurang sedikit saat meninggalkan warung. Tapi saya putar-putar dulu sang kota kenangan. Ada sedikit romansa “sephia” membekas di kota ini *bukan untuk ditiru, bukan pula saya mencontohkan :D
Walaupun meteran bensin si nexie masih lumayan, saya mencari pertamax dulu atau jika tak ada cukuplah premium. Mengingat dari Manna hingga Pagaralam 80 km tak bakal ada SPBU. Menjelang simpang Rukis tadi, sebetulnya ada SPBU dan menjual pertamax juga, masih di tepi Jalinbar tapi saya lihat sepi, tak ada pelayanan serta pompa premium dan solarnya ditutup kain pembungkus hanya pompa pertamax yang dibuka. SPBU lain di Manna ini bukan di tepi jalan menuju Pagaralam tapi agak masuk kedalam kota. Saya Isi bensin Pertamax Rp 33.000 disini, jarak dari SPBU Maje tadi hampir 100km.
Dan jalanan keluar Manna arah Pagaralam mulai mendaki, sedikit demi sedikit pendakian makin terasa. Hingga melewati bagian dari kecamatan Pino. Saya jalan tidak terlalu cepat disini karena ingin menikmati pemandangan dan kehidupan sehari-hari disitu. Hanya 1 kali belasan tahun lalu saya melalui jalan ini, itupun dengan membetot gas kuat-kuat karena sudah terhambat semalaman dan memutar 200an kilometer akibat jalan di Krui terputus. Saya perhatikan apa saja yang ada di tepi jalan, terutama warung, bengkel ataupun tambal ban. Saya rekam di kepala sehingga jika suatu waktu lewat lagi dan terjadi masalah bisa diantisipasi. Tak lupa menikmati pemandangan dan memperhatikan sungai/aiie Manna, memperhatikan titik pemancingan.
Ternyata banyak juga rumah menyerupai villa dengan kolam ikan sepenuh halaman, seakan rumah itu terapung di kolam. Tiba-tiba saya melihat sedikit keanehan, sebuah bangunan gereja baru selesai dibuat. Apakah banyak pendatang dari jawa disini, pikir saya. Setahu saya semua adalah penduduk asli, pendatang dari Jawa atau Jawa Lampung hanya banyak di wilayah Merpas dan di sebelah Utara kota Bengkulu serta disekitar Curup. Mengapa gereja saya asosiasikan dengan orang Jawa, karena di wilayah Lampung gereja hanya terdapat di pemukiman Jawa dan penduduk asli tidak ada yang beragama selain Islam. Sementara untuk mengasosiasikan dengan orang batak jelas tidak mungkin karena sedikit sekali saya menemukan tambal ban sepanjang jalan itu *hehehe kalimat terakhir ini hanya guyon, becanda, jangan marah ya lae...
Sambil masih mengira-ngira ternyata perjalanan sudah cukup jauh dan menjelang penghabisan pemukiman di tepi jalan Manna-Pagaralam di wilayah Bengkulu. Ketika keluar sebuah tikungan tak jauh dari gereja tersebut, saya terhenyak karena sebuah air terjun lumayan besar terlihat di tepi sebuah jembatan. Cukup ramai pengunjungnya di hari yang panas itu. Jejeran warung juga menghias sisi lain dari jembatan. Segera saya hentikan nexie di warung pertama.
Saya memang ingin minum kopi, kopi asli setempat, karena ketinggian di daerah itu sudah cukup untuk tanaman kopi, beberapa kali saya melintasi kebun kopi sebelumnya. Semakin kabita untuk menenggak minuman penambah daya jelajah itu. Setelah pesan kopi, langsung saja mencabut senjata, Fujifilm HSX25EXR kaliber 58mm. Dan terabadikanlah aiie Luguran itu, demikian namanya disebut penduduk Manna dan sekitarnya. Dan memang bukan air jatuh 90 derajat, hanya berupa turunan air yang sangat tajam.
Saat meminum kopi, saya sempatkan mengobrol. Tak lama kemudian ada serombongan anak muda menggunakan mobil pick up mendatangi air terjun membawa drum-drum dan ember, hendak mengambil air. Saya tanyakan pada pewarung mengapa dan darimana mereka, jawabannya adalah karena mereka sedang hajatan sehingga sumur yang menyusut menjadi kurang airnya. Mereka tinggal disekitar gereja, lanjut keterangan pewarung. Kebetulan, saya tanyakan soal gereja, ternyata memang ada penduduk asli setempat yang menganut Protestan sejak akhir 1965 terutama. Saya tahu bahwa sedikit lagi didepan, di wilayah Tanjungsakti, Lahat, SumSel banyak juga penduduk asli yang menganut agama selain Islam. Pewarung melanjutkan keterangan bahwa jika di Tanjungsakti memang banyak penganut Katholik sejak dulu kala, jaman Belanda.
Setelah kopi tandas dan obrolan juga komplit dari keterangan mengenai diri saya, motor Suzuki nex yang baru pertama mereka lihat dan saya dapatkan keterangan mengenai aiie Manna, ikan yang bisa dipancing dlsb. Maka saya pun pamit, melanjutkan perjalanan. Cukup jauh juga sisi jalan kosong tak ada rumah penduduk, kebun dan hutan saja mengisi pemandangan. Bahkan ketika melintasi perbatasan Bengkulu dan Sumatera Selatan tak ada gapura yang menandakan. Hanya sebuah patung burung Garuda yang lebih diasosiasikan sebagai batas wilayah teritorial militer antar KOREM.
Saat mata menyapu pemandangan saya melihat dua orang pemancing sedang melemparkan kail berumpan singkong rebus. Sejenak saya singgah, mereka memancing di sebuah lubuk, tikungan sungai yang biasanya cukup dalam. Mereka duduk diatas sebuah pondasi jembatan gantung yang sedang dibuat. Menurut keterangan pemancing ini, mereka mengincar ikan Hampala atau Besemah. Sama seperti keterangan yang saya dapat di warung kopi aiie Luguran tadi.
Tak terhitung jumlahnya jembatan gantung yang dibuat masing-masing ini. Setiap pemilik kebun atau rumah terpaksa membuat jembatan sendiri, jembatan pribadi untuk menuju jalan raya sebagai sarana transportasi cepat. Mengingat satu-satunya jembatan yang menyeberangi sungai Manna berjarak beberapa kilometer hingga belasan kilometer dari kebun mereka padahal jalan raya ada didepan mata diseberang sungai.
Ketiadaan batas ini membuat saya mengira pemancing tadi masih berada di wilayah Bengkulu dan ternyata saya salah duga. Mungkin karena dahulu wilayah Tanjungsakti sempat masuk wilayah Bengkulu sehingga tak ada batas berupa gapura. Hanya saja akibat jalan menuju Manna senantiasa terputus longsor akhirnya penduduk meminta untuk kembali menjadi bagian dari Sumatera Selatan. Hingga kini TanjungSakti menjadi kecamatan di kabupaten Lahat.
Sebelumnya persepsi saya perbatasan propinsi adalah di Pulautimun sebuah desa di Tanjungsakti, dimana jalanan menyeberangi sungai Manna, sebuah batas alam. Setelah senantiasa di sisi kanan jalan, kini sungai berada di sisi kiri. Tetap mengikuti aliran aiie Manna hanya berpindah sisi saja.
Jalanan terus saja mendaki tak henti. Melewati pedesaan Tanjungsakti yang berumah panggung tinggi dari kayu. Sungguh asri nuansa disini. Dan toleransi kehidupan beragama juga tinggi mengingat ada dua agama yang menjadi mayoritas disini. Sejak dari aiie Luguran hingga Pulautimun tak ada rumah penduduk di sisi jalan namun sejak jembatan besar tadi mulai terlihat perkampungan lagi. Sembari memacu motor saya memperhatikan jika ada gereja tua untuk difoto. Tapi mungkin terlalu cepat memacu, tak nampak sebuah gereja pun. 
Setelah melewati pertigaan yang nampaknya mengarah ke kecamatan pemekaran dari Tanjungsakti, sisi jalan kembali kosong dari rumah. Tikungan mulai cetar membahana kembali dan tak jauh tanda-tanda kota mulai nampak, sisi jalan berpemandangan indah mulai dipenuhi anak-anak muda pada sore-sore yang dingin itu. Motor-motor mereka dijejerkan rapih dan nampak bersenda gurau seperti layaknya orang menjelang dewasa.
Tak saya sangka, ternyata mereka juga sangat ramah. Menawari saya untuk singgah bergabung dengan mereka. “Sini bang, minum dulu” sembari mengangkat botol minuman ringan. Saya jawab dengan “terima kasih, takut kemalaman”. Jam sudah menunjukan pukul 16 lewat banyak dan saya tidak pasti berapa kilometer lagi harus ditempuh. Batas kota saya mahfum sudah dekat tapi tujuan akhir etape ini adalah tugu Rimau dengan jalan berliku mendaki hingga 1900 meter diatas permukaan laut atau naik 1000 meter lebih dari ketinggian rata-rata kota Pagarlam di 850m dpl. Jalan menuju tugu Rimau juga tak saya ketahui apakah sudah beraspal atau belum. Jika belum kemungkinan bisa 2 jam melaluinya dengan nexie yang terpaksa dilambatkan karena bantingan suspensi sungguh kurang nyaman.
Setelah batas kota jalanan kembali menurun lurus panjang-panjang. Tak terlihat jelas papan petunjuk jalan sehingga sedikit terlewat sebuah pertigaan besar mengarah ke Gunung Gare, kompleks perkantoran pemkot yang dibangun sedikit diluar kota, diatas gunung. Dan saya balik arah untuk memasuki persimpangan yang mendaki tadi. Menurut Googlemap jalan terdekat ke tugu Rimau melalui Villa Gunung Gare dan artinya tidak perlu memasuki pusat kota terlebih dahulu jika dari arah Manna.
Sesampai di depan Villa dan perkantoran pemkot saya cek koordinat dengan blackberry OS 7, GPSTools nama aplikasinya. Ternyata ketinggian kompleks perkantoran ini sekitar 1000 m dpl. Pandai juga orang Pagaralam mengirit listrik, praktis kantor-kantor disitu tak perlu AC. Karena saya tahu keramahan dari sapaan anak-anak muda tadi, saya beranikan untuk bertanya pada gerombolan pemuda yang lagi nyore disitu. Saya tanyakan mengenai arah dan kondisi jalan menuju tugu Rimau. Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi, sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak terlalu curam.
Sempat berhenti juga mengambil gambar indahnya pemandangan. Tiada kata selain, Subhanallah indahnya ciptaanMu yang maha Agung. Meski kabut tipis menghalangi pengambilan gambar oleh kamera prosumer saya, mata ini sungguh dimanjakan. Padahal pemandangan ijo royo-royo begini bukan hal aneh, bahkan sebagai penduduk pedesaan di kaki Gunung Rajabasa, tiap hari saya lihat disekitar rumah juga hijau raya. Apalagi bagi orang kota dataran rendah, pasti senang sekali melihat alam seperti ini. Mirip di Puncak, Jabar beberapa puluh tahun lampau.
Akhirnya tugu Rimau dicapai jam 17.51, karena letaknya yang lebih di Barat, hari masih cukup terang disini. Selesailah etape ini. Tinggal menunggu malam dan mencoba mengambil gambar Pagaralam dari ketinggian diwaktu gelap. Saya tahu bahwa nanti bulan akan bersinar tampak membulat karena hari itu sudah mendekati pertengahan kalender bulan.

Istirahat, Satu Malam di Pagaralam
Kemungkinan waktu maghrib disitu adalah sekitar jam 18.30 WIB, sembari menunggu saya pesan kopi sachet-an. Tadi sore sudah menenggak kopi kental sehingga saya tak berani menambah kopi khas daerah pegunungan Sumatera lagi. Kuatir hipertensi menjelang dan stroke yang sempat saya alami beberapa tahun sebelum ini bakal menghantui perjalanan. Kemarin di Merpas sempat merasakan pening akibat menyantap sop kambing hasil pembagian kurban, berhasil saya redam dengan meminum habbatussauda kapsulan yang memang saya siapkan dari rumah. Seandainya tak juga hilang rasa pening; akan saya telan juga simvastatin dan captopril yang juga siap di tas pinggang. Alhamdulillah dengan habbatussauda sudah cukup.
Mengenai keindahan alam di Pagaralam, lihat sendiri deh, capek tangan mengetik. Tak akan cukup sepuluh halaman untuk mendeskripsikan keindahan Pagaralam dengan gunung Dempo-nya. Kamera secanggih apapun dengan keahlian memotret luar biasa juga tak mampu memberikan gambaran menyeluruh, apalagi saya yang newbie dibidang fotografi digital.
Mengenai persenjataan, kamera prosumer saya anggap cukup mumpuni untuk sekedar mengabadikan dan menambah aksen fotografi. Apalagi jika hanya menggunakan sepeda motor, bakal direpotkan membawa DSLR murni atau mirrorless dengan berbagai lensanya, ditambah kekuatiran akan terjadi sesuatu jika jatuh karena harga lensa ada yang jauh lebih mahal dari kameranya.
Kecuali anda adalah fotografer profesional maka prosumer sudah lebih dari cukup. Bahkan DSLR antik Canon 450D yang sempat dimiliki sudah saya jual. Saya pilih Fuji HSX series karena diujung lensa tetap-nya masih bisa dipasangkan filter berukuran diameter 58mm, bisa CPL atau ND dlsb. Tak ada prosumer lain yang bisa seperti ini, aksen fotografi bisa dikreasikan dengan kamera tak terlalu mahal ini. Saya pilih tipe terendah karena menggunakan baterai AA yang mudah ditemukan jikalau lupa men-charge eneloop X. Sayangnya tak bisa menyimpan gambar dalam format RAW namun tak menjadi masalah mengingat saya juga tak pandai menggunakan software photoshop tetapi di tipe atas Fuji HSX bisa merekam dalam RAW.
Setelah maghrib menyelimuti kawasan tugu Rimau di ketinggian gunung Dempo, suhu pun turun terus dan penjaga serta para pedagang disitu hendak menutup usaha mereka. Malam memang tak ada kegiatan disitu, bisa saja menginap di Mushalla asal kita bersih dan menghormati rumah Allah itu. Selesai shalat saya menuruni gunung hingga ketinggian cukup guna mengambil gambar lampu-lampu kota. Dari ketinggian dan jarak yang jauh, lampu itu terlihat buram disebabkan kabut tipis yang entah gejala alam musim kemarau atau kabut asap kiriman dari dataran rendah, yang pasti Palembang disaat yang sama sedang diselimuti kabut asap tebal menebal efek dari kebakaran hutan.
Selesai mengambil foto, saya hampiri sebuah villa yang tak jauh dari lokasi memotret tadi. Tanya-tanya harga mencari info yang mungkin berguna suatu saat kelak. Villa berbentuk sebuah kamar saja dihargai Rp.150ribu permalam dan itu yang termurah, di kompleks villa sebelahnya Rp.120ribu namun sedang penuh dan ada acara. Saya coba tawar Rp.100ribu karena saat itu bukan penghujung minggu dan sepi dan tidak diperbolehkan. Sebenarnya saya tidak berminat bermalam di villa karena saya belum lagi melihat kota Pagaralam. Belum mencari kuliner setempat sebagai sisipan kegiatan.  
Akhirnya memasuki pusat kota Pagaralam, masih cukup ramai di malam yang masih sangat muda itu. Putar-putar sempat tersasar karena ada jembatan yang ditutup sedang diperbaiki, diputuskan mengikuti jalan utama saja. Melewati pasar utama kemudian jalanan mengecil, dari dua lajur dengan median taman menjadi satu jalur saja. Kebetulan ada sebuah minimart diujung jalan itu, seketika saya arahkan nexie ke parkiran. Persis disebelahnya ada sebuah rumah makan, RM Dua Putra. Meski saya mencari sop atau makanan hangat tapi tak ada salahnya mencoba makan disitu karena saya lihat cukup bersih dan rapih.
Dari keterangan ibu rumah makan yang ternyata dari Jawa, jawa Lampung tapi, lokasi disekitar itu disebut Simpang Petani atau juga alun-alun karena diseberangnya memang ada sebentuk taman besar seperti alun-alun hanya saja di pemukiman di Sumatera sebenarnya tidak dikenal istilah alun-alun. Pagaralam banyak dihuni pemukim asal Jawa Tengah dan Timur bahkan di pegunungan dan perkebunan teh lebih dari 90 persen orang Jawa. Pantas dari tadi di Rimau dan di villa semua mengaku orang Jawa.
Selesai makan baru saya berbelanja ke minimart yang kasirnya seorang gadis cantik bernama Asti. *inilah mengapa di awal sekali saya sebutkan menulis adalah pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding mengendarai motor. Kalau sampai dibaca istri... lebih parah akibatnya dibanding terserempet bus ALS. Dan saya tak berani menuliskan lebih lanjut tentang Asti ini...
Sesuai petunjuk Asti, saya menuju hotel Mirasa atau hotel satunya lagi tak jauh dari Mirasa. Tak jadi ke hotel Telaga Biru yang mungkin lebih murah tapi lokasinya di tengah pasar dan kemungkinan kamarnya kecil-kecil. Untuk melepas kepenatan diatas jok nexie yang kecil, saya perlu tempat yang cukup nyaman. Kedua hotel ini terletak di arah menuju Kepahyang atau lurus saja dari Simpang Petani itu. Karena Mirasa yang pertama kali saya lewati dan terlihat cukup asri, seperti bungalow maka saya putuskan untuk menginap disitu saja.
Mandi adalah kegiatan yang pertama saya lakukan di hotel, tak peduli betapa dinginnya air disitu. Kemudian beristirahat dan mencoba membuka facebook di bb. Sepanjang jalan dari Merpas hingga tugu Rimau sulit sekali membuka halaman fb karena minim sinyal 3G dan saya hanya berlangganan paket bb dasar saja. Tapi notifikasinya terus masuk. Ada sebuah notifikasi dari rekan pengelola kegiatan wisata arung jeram di Pagaralam dan dari tadi saya penasaran untuk melihatnya. Oh oh ternyata dia mengundang di kompleks villa di sebelah tempat saya mencari info. Villa yang penuh dan ada acara tadi. Karena badan sudah cukup lelah, serta belum hapal jalan disini, akibat berputar-putar tersesat, saya hanya ingat jalan menuju villa itu cukup jauh memutar ke simpang Manna dulu.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali saya bersiap melanjutkan perjalanan. Etape berikut adalah etape panjang dan perjalanan per hari juga sangat panjang, melebihi bagian perjalanan Hari Pertama. Sayangnya hotel Mirasa ternyata cukup pelit dengan menyediakan sarapan terlalu sedikit porsinya buat pejalan (traveller) yang menggunakan sepedamotor. Hanya setengah porsi nasi goreng dibanding hotel-hotel lain, bahkan yang lebih murah tarifnya. Dan segelas plastik kopi encer.
Mungkin sebaiknya justru tidak menyediakan sarapan sekalian. Tapi mengingat Mirasa juga sebuah restoran, seharusnya mereka memberikan sarapan dengan ekstra baik agar citra restorannya ikut terangkat, kemudian dilain waktu sang traveller akan mencoba makan di restoran Mirasa atau merekomendasikan pada rekan atau menuliskan dengan baik. *Untuk tulisan dalam versi bahasa Inggris yang akan dikirimkan ke lonely planet, bagian ini akan saya tiadakan.  Yang lebih menyedihkan adalah kopi yang disediakan dalam gelas plastik, apakah gelas beling terlalu mahal di Pagaralam, entahlah... Gelas plastik ketika dicuci dengan sabun colek akan menyimpan bau sabun dan bagi penikmat kopi bau sabun itu sangat mengganggu.
Jam 8 pagi saya telah bersiap melanjutkan perjalanan. Semua peralatan lenong telah naik diatas motor. Dan lanjut jalan dengan tujuan pertama adalah menambah sarapan di rumah makan diluar. Dan RM Dua Putra kembali menjadi pilihan karena inilah yang pertama saya temukan. Sebetulnya ingin juga mencoba warung kecil penjual sarapan seperti bubur ayam, lontong sayur atau nasi uduk jika ada. Hanya saja karena ingin bersegera saya kembali makan di tempat semalam, rasanya cocok dan murah tidak sebanding dengan tempatnya yang cukup mewah. Kebetulan saya juga ingin membeli masker di minimart. Perjalanan hari itu akan melalui kota-kota yang biasanya berdebu, bahkan jika tidak memintas jalan akan melalui jalur perlintasan truk-truk batubara, sedetik saja berada di belakang truk batubara maka dijamin semua bagian wajah menghitam hingga kedalam lobang hidung. *kasir minimart pagi itu ternyata masih gadis cantik semalam.
Selesai makan saya putuskan untuk kembali melihat-lihat kota. Kali ini tidak tersesat karena hari terang membuat mudah menerka jalan. Saya menemukan sebuah Rumah Bari di desa PagarJaya. Rumah ini merupakan bentuk rumah adat khas dataran tinggi Pasemah serta paling asli menurut keterangan dari pemiliknya, bang Yunus. Bentuk atapnya mirip rumah gonjong minang hanya gonjongnya lebih tegak sedikit.
Dilanjut menuju pabrik pengolahan teh milik PTPN 7. Kemudian mendaki memutar melewati jalan semalam ketika turun dari Rimau. Dan tembus kembali di Gunung Gare. Melirik jam, ternyata sudah cukup siang. Sikap tidak disiplin saya ini berbahaya bagi perjalanan karena di etape 8 menanti sebuah jalur yang rawan begal. Jika saja saya mengendarai motor yang lebih kencang atau dengan rombongan lebih dari 3-4 orang tak akan menjadi masalah.
Segera saya menuju SPBU di dekat simpang Manna, simpang ini disebut demikian karena salah satu jalannya menuju kota Manna sekian puluh kilometer dibawah sana. Ternyata pertamax disini habis diakibatkan premium sudah habis juga dari kemarin. Sedikit menyesal seharusnya saya isi dari kemarin malam. Antrian kendaraan mengular menunggu premium yang sedang dicurah. Tak mungkin menunggu, saya lanjut saja Etape 7 dari SPBU itu tanpa mengisi, menurut petugasnya di depan arah ke Lahat masih ada SPBU tidak terlalu jauh.

HARI KETIGA
Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km; Jam 11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55
Seharusnya etape ini dibagi menjadi dua bagian; Pagaralam – Semende Darat Laut dan Semende DL – Baturaja. Tapi karena saya tak tahu ada apa di Semende maka saya jadikan satu saja. Sama sekali saya lupa sebagian besar apa yang ada disepanjang jalan ini, lebih dari 10 tahun lalu pertama dan terakhir melalui jalan pintas Pagaralam – Baturaja ini. Yang teringat hanyalah air terjun mendekati penghujung jalan pintas, kemungkinan termasuk wilayah simpang Meo.
Saya sempatkan berfoto di perbatasan kota Pagaralam arah Lahat yang juga tempat bersejarah sebagai medan pertempuran antara pasukan republik dengan agresor Belanda. Kontur alam disitu memang sangat cocok untuk menyergap pasukan agresor yang jauh lebih baik persenjataannya. Kakek almarhum pernah ikut bertempur disitu seperti diceritakan ayah.
Dan setelah kecewa karena pertamax juga habis di SPBU Pagaralam yang kedua serta antrian premium demikian panjang. Saya beli eceran Pertamini 2 liter Rp.16.000 dan berharap cukup hingga tiba di Jalinsum (tengah) nanti. Dan tak lama saya menemukan kembali jalan mirip di perbatasan kota tadi. Serta menemukan relief penyambutan, nampaknya batas kota telah digeser hingga di jembatan dekat persimpangan ke Baturaja.
Kemudian tibalah di simpang Tebat (kalau tidak salah, CMIIW) dan saya berbelok ke kanan memasuki jalan yang jauh lebih kecil dibanding jalan Pagaralam – Lahat. Ada papan petunjuk bahwa jalan yang saya pilih adalah arah Baturaja. Dan terus saja saya ikuti jalan yang masih berada di wilayah kabupaten Lahat. Ternyata ada sebuah desa bernama Kota Agung disitu. Setelah melalui perkebunan tanpa pemukiman beberapa kilometer tibalah di kecamatan Semende Darat Laut. Sepertinya ada perubahan, seingat saya dulu hanya bernama Semendo dan kini ada tambahan Darat Laut, mungkin ini kecamatan pemekaran.
Perjalanan yang saya kira dekat saja, bisa tembus dalam 1 jam ke simpangMeo, ternyata cukup jauh. Setelah memasuki ibukota kecamatan Semende saya lihat ada papan petunjuk jalan mengarah kepada dua buah lagi kecamatan yang membawa nama Semende, artinya ada 3 atau bahkan 4 kecamatan Semende kini, sebentar lagi jadi kabupaten pasti.
Saya sengaja melewati pasar Semende tanpa istirahat, dari perbatasan Pagaralam tadi hanya berhenti untuk ambil beberapa foto saja tanpa minum apapun. Mungkin cukup lama juga saya berhenti memotret, bahkan sempat memasuki kebun yang mirip dengan tebing kraton yang sedang tren di Bandung, tepatnya di perbatasan kabupaten Lahat dengan Muara Enim. Yang saya incar guna beristirahat adalah air terjun. Jam sudah menunjukan pukul 13.45 di pasar Semende.
Ternyata setelah menikung ratusan kali menempuh belasan kilometer dari pasar Semende, tak jua sampai di penampakan air terjun yang saya lihat dulu, saat melirik ke fuel meter ternyata merunduk ke E. Segera isikan 1 liter begitu menemukan sebuah kios bensin. Ternyata kios itu juga sebuah warung makan dengan judul Ponorogo. Saya coba melihat kedalam tapi tidak tertarik untuk makan disitu, suram apalagi masih full perut ini setelah sarapan setengah porsi dan sarapan siang sebagai tambahan. Ternyata bensin eceran disitu bernilai Rp.10.000 dengan bonus 4 buah permen, uang 20ribuan dikembalikan 10ribu dengan 4 buah permen.
Setelah beberapa kilometer kemudian nampak sebuah jurang tinggi yang jelas terlihat dasarnya adalah sebuah lembah permai. Sekalian berisitirahat sejenak akibat terlalu lelah menikung dengan gaya pembalap road race. Entah berapa ratus bahkan ribu tikungan sejak dari Pagaralam tadi memacu nexie di kecepatan maksimal yang aman, demi membelah pegunungan dan perbukitan Sumatera Selatan secepat mungkin. Diatas lembah saya ambil foto, tidak terlalu bagus jika nampak difoto meski dengan sudut terlebar.
Sesaat kemudian saya lanjutkan mengejar point of interest yang telah ditetapkan sebelum perjalanan dimulai. Tidak sampai satu kilometer rasanya, seketika nampak dikejauhan, di dinding lembah yang berhadapan, sebuah air terjun ganda. Ternyata di lembah ini letaknya. Saya berhenti lagi untuk memotret sekalian melihat situasi jalan menuju air terjun itu. Saya tidak sempat melihat jam, tapi dari exif kamera terlihat saat itu jam 14.15. Hanya merasakan saat itu telah demikian sore.
Nampaknya ada jalan dibawah, karena jalan ini terus menurun. Benar saja tak jauh dari tempat memotret tadi, ada sebuah jembatan dan diseberangnya terdapat persimpangan. Sebuah papan petunjuk menuliskan “Air Terjun Curup Tenang > 1km”. Langsung saja belok masuk persimpangan itu. Loh... ternyata desa itu bernama Indramayu, kecamatan Bedegung kabupaten Muara Enim.
Air terjun ini sudah menjadi obyek wisata yang cukup baik. Berbagai fasilitas tersedia cukup lengkap, bahkan beberapa kolam pemancingan juga ada. Sayangnya tarif masuk yang dikenakan cukup tinggi, Rp.5000 untuk orang dan Rp.10.000 untuk motor. Parkir motor yang aman adalah didepan di dekat pos penjagaan, meski sebenarnya bisa menggunakan motor lebih mendekati tapi menurut penjaganya, parkiran di dalam tak ada yang memperhatikan apalagi motor saya ada tas samping yang tak saya lepaskan disitu.
Rencananya istirahat malah jadi berolahraga. Air terjun harus dihampiri dengan berjalan kaki lumayan jauh. Terpaksa jaket yang masih terpakai saya lepaskan karena cucuran keringat. Sesampainya di warung terdekat dengan air terjun saya memesan teh dalam kemasan dengan es. Selesai mengambil beberapa foto, karena saya tak pandai menjalankan photoshop maka harus ambil gambar dengan berbagai setting-an serta kemudian memilih hasil terbaik.
Hampir satu jam di air terjun Curup Tenang, curup berarti air terjun dalam bahasa setempat, mirip sebutan di JawaBarat: curug. Jam terus berdetak padahal saya harus segera melintasi daerah yang terkenal rawan begal dalam perjalanan hari ini. Kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya sebelum terlalu malam masih ada. Tapi semua asumsi hanya berdasar ingatan yang sudah banyak terkikis selama belasan tahun.
Tanpa membuang waktu lagi saya lajukan nexie hingga dalam beberapa menit telah melampaui simpang Meo. Ingatan memang tak selamanya benar, saya mengira cukup beberapa menit saja dari simpang Meo ke Baturaja. Hampir 1 jam menaklukan Jalinsum yang lebar untuk mencapai jarak 56km. Sempat pula terpaksa menambah bensin eceran lagi di Singapura, sebuah nama desa yang unik. Sayangnya karena terburu-buru tak sempat memotret plang di depan kantor desa itu.
Jalanan menuju Baturaja mengikuti alur sungai yang dipenuhi riam kecil dan ringan. Sepanjang sungai banyak sekali yang sedang bermain air, bukan mandi. Mereka menggunakan ban dalam bekas traktor selebar 1,5 meter lebih bermain arung jeram. Seru juga seandainya punya waktu lebih mencicipi berenang di sungai yang terlihat masih bening. Akhirnya menemukan SPBU lagi dan pertamax disediakan disini. Saya isikan tangki nexie penuh-penuh.
Baru menjelang pukul 17 saya tiba di pasar Baturaja. Saya tidak memilih jalan by pass karena ingin melihat pusat kota, mencari jajanan yang jarang ditemui atau jika ada, jajanan khas. Masih belum terasa lapar tapi memang perut perlu diisi makanan sedikit. Ketika melintas di depan sebuah hotel, terlihat warung pempek dan es kacang. Segera saya hentikan nexie. Dan berakhirlah etape 7 tepat jam 16.55 disitu.

Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km; Jam 17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10
Seharusnya ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya.
Istirahat di pusat kota Baturaja, saya pesan es kacang merah dan 2 pempek ada’an. Es-nya enak, kacangnya al dente, tidak terlalu lembut tapi juga tidak keras dan saya minta ditambahkan tape singkong. Ada’an adalah salah satu jenis pempek, bentuknya bulat seperti baso dan di warung itu rasanya cukup enak. Selesai membayar Rp.11.000 untuk es dan 2 bulatan adaan, tanpa buang waktu saya lanjutkan perjalanan etape 8. Saya sadar bahwa kecil kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya dibawah jam 8 malam.
Setidaknya bisa mencapai Baradatu atau Bukit Kemuning adalah target maksimal. Saat keluar dari batas kota Baturaja sudah menunjukan jam 17.35. Dan pas adzan Maghrib sedang melintas di Martapura. Nexie terus saja saya pacu bak kesetanan, hingga ada pengendara motor laki tipe racing yang mengira saya ingin mengajaknya balapan. Tentu saja di bagian jalan yang lurus dengan mudah ia melewati saya. Tapi saat stuck di belakang truk atau bus saya salip lagi, juga ketika ia mengendurkan gas di tikungan langsung bisa tertempel kadang tersalip.
Sebetulnya bukan ingin membalap tapi memanfaatkan sisa-sisa cahaya matahari agar mencapai jarak sejauh mungkin. Bila hari telah gelap, mata saya sulit melihat dengan baik karena lampu standar terbilang redup. Kemudian pandangan juga terbatas pada area yang tersorot lampu. Padahal saya biasa memandang luas jalan di depan hingga bahu dan jejeran bangunan. Segala hal saya antisipasi, misal seorang anak tergesa keluar dari rumah di jarak 100 meter ke depan sudah menjadi peringatan bagi saya.  
Akhirnya gelap tak dapat ditolak, beberapa belas kilometer dari perbatasan SumSel – Lampung suasana sekitar sudah membiru tua sangat. Tak jauh dari Martapura adalah perbatasan kedua propinsi. Kini saya telah memasuki Lampung lagi. Tapi wilayah kabupaten Way Kanan itu juga bukan daerah aman bagi motor sendirian. Jam sekitar Maghrib juga waktu favorit para kriminil ini beraksi. Modal yakin saja, saya lanjutkan perjalanan karena antara Martapura hingga menjelang Baradatu nanti terbilang daerah yang kosong tanpa pemukiman di sisinya, sebuah daerah yang tepat untuk membegal. Meski mata hampir tak melihat apapun selain bagian yang tersorot lampu, gas nexie masih saya tahan tinggi tapi tidak mentok. Sengaja saya sisakan gas jika ada penampakan mencurigakan di spion bisa saya hentak gas sembari melakukan gerakan preventif.
Dan tiba-tiba ada sebuah lampu motor nampak di spion, semakin mendekat dan semakin dekat. Dada bergemuruh tak tentu, tangan bergetar dan terasa dingin, disusul sebuah lampu lagi. Pastilah ini mereka, sang penguasa jalan, pikir saya. Tak terasa gas semakin saya tarik. Beberapa kali terantuk gelombang dan lobang kecil jalanan membuat badan terbanting tapi stang saya pegang dengan erat, sempat geal-geol juga karena gelombang berikut lobang berturutan dilindas roda-roda nexie.
Tapi nampaknya itu lampu dari motor sport yang semakin dekat di bagian jalan lurus dan terlihat menjauh saat memasuki tikungan. “begal pemula nih, nggak berani nikung cepat” pikir saya. Harus memanfaatkan advantage tikungan. Jika nanti di depan tikungan ada sebuah rumah, atau bangunan apapun yang nampak berpenghuni harus segera saya masuki, berpura-pura sudah sampai di tujuan.
Tapi sisi jalan senantiasa kosong, kalaupun ada rumah tapi gelap tak berlampu. Jantung saya sudah berdegup kencang, terpikir untuk menyerah saja, yang penting hidup. Dan ketika jalan lurus cukup panjang, motor itu telah berada di samping. Saya hentak gas sekaligus dan sempat melaju lebih 1 ban tapi motor sport full fairing bermesin tanggung keluaran terbaru dari pabrik berlogo sayap tentu bukan tandingan buat nex.
Biasanya begal mensejajarkan kemudian pemboncengnya mencabut senjata api menodong memaksa kita berhenti. Atau jika ternyata mereka bukan pemilik senjata api, bisa lebih parah karena main sabet tongkat/rante/golok agar korban terjatuh. Salah satu kiat menolak bala adalah usahakan tetap berkecapatan tinggi, mereka juga tidak terlalu tolol untuk menyabet dalam kecepatan tinggi karena jika terjatuh, motor buruan mereka juga bubar berantakan. Aneh motor ini malah menyalip saja dan sendirian pula bahkan kasih klakson...
O... oh ternyata itu motor yang tadi merasa balapan dengan saya dari Martapura. Legaaaaa rasanya. Dan sebagai solidaritas, saya ikuti dia tanpa saya coba susul lagi. Akhirnya malah menjadi teman seperjalanan. Wah jika berdua begini saya berani langsung ke Bandarjaya, tapi melihat setelan pakaian pengendara CBR dia adalah orang dekat, mungkin hanya sampai Baradatu.
Karena itu, saat didepan terlihat neonsign sebuah minmart saya salip dia dan kasih kode mengajak dia mampir. Kami sudah berjalan tak terlalu kencang lagi sejak insiden klakson tadi. Nampaknya ia mengangguk. Dan segera nexie saya arahkan ke minimart. Saat memarkirkan motor saya lihat, pengendara CBR tidak ke minimart tapi ke rumah disebelahnya. Tak lama dia keluar dengan masih memakai jaketnya.
“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.
“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab dua hal sekaligus.
“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.
“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.
Lantas ia menceritakan sedang ada urusan disitu, nampaknya ngapel karena tak lama seorang gadis manis muncul dari sebelah dan mengatakan kopinya sudah siap. Ia pun mengajak saya masuk ke sebelah untuk minum kopi. Sebetulnya saya lapar, belum makan sejak sarapan siang tadi tapi demi menghormati saya ikut juga. Sembari jalan ia mengenalkan diri, Iman demikian pula saya menyebutkan nama.
Sambil minum kopi, Iman berulang-ulang menyatakan kekagumannya dengan si FU matik. Iman juga menyatakan bahwa ia berasal tidak jauh dari Bakauheni, tepatnya di Palas Sukamulya. Wah ini namanya ketemu orang sekampung. Palas tidak jauh dari rumah saya dan saya tahu bahwa Sukamulya dihuni oleh pemukim asal Tasikmalaya. Langsung saja saya praktekan bahasa sunda. Obrolan menjadi semakin akrab. Dan Iman semakin kaget mengetahui saya baru saja dari Pagaralam dan semakin kaget mengetahui bahwa melalui Bengkulu untuk ke Pagaralam dan baru pulang via Jalinsum, “wanian euy si akang teh, meuni sorangan deui” begitu kira-kira ungkapannya.
Tak terasa sudah jam 19.30, saya segera pamit untuk meneruskan perjalanan. Iman berkeras mengajak menginap di Martapura, sebenarnya di jalan antara Martapura dengan Baturaja. Terlalu jauh jika musti balik lagi kesana. Dan ternyata juga, Iman adalah karyawan RM Siang Malam yang kini ditempatkan di cabang Baturaja. Sebelumnya memulai sebagai asistant of chef di Siang Malam didekat rumah kami. Dunia tak selebar daun kelor tapi daun kelor bisa selebar dunia juga...
Dan saya lanjut menarik gas dengan pesan agar berhati-hati, berulang-ulang dari Iman dan tunangannya. Saya menyadari tidak mungkin juga untuk terus-terusan membiarkan jantung berdetak kencang mengira-ngira begal. Kalaupun selamat dari tindak kriminil, bisa jadi stroke saya kambuh di Bandarjaya.
Baradatu ternyata sedang dilanda pemadaman listrik bergilir, pantas gelap semua dari tadi. Karena gelap pula beberapa penginapan di Baradatu tak terlihat oleh mata rabun ini. Akhirnya saya terus saja hingga Bukit Kemuning. Ada penginapan juga disitu, pasti. Bukit Kemuning jauh lebih besar dari Baradatu, kota persimpangan dan tempat istirahat kendaraan umum sejak jaman dahulu kala. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari Baradatu untuk tiba di Bukit.
Sekitar jam 20.00 saya masuk penginapan Murni, ditengah keramaian pasar Bukit Kemuning sebelum pertigaan besar dari arah Utara. Mengambil kamar seharga Rp.75.000,- . Saya memesan kopi dan menanyakan makanan, ternyata tidak bisa memesan apapun di penginapan itu. Sekedar air panas segelas juga tak bisa padahal saya punya kopi dan energen sachet. Terpaksalah saya keluar mencari makanan di warung seberang. Setelah kembali ke hotel, saya mandi dimana ruang mandi berada diluar kamar, tepatnya satu di lantai bawah kamar.
Selesai mandi saya cek sosmed di internet melalui smartphone, kemudian terlelap. Subuh saya terbangun, kamar hotel ditengah pasar ini kecil sekali, tak memungkinkan menggelar sajadah. Segera saya keluar mencari kopi dan sayangnya penjual kopi 24 jam cukup jauh di bagian lain pasar. Dan kebetulan melalui sebuah Mesjid maka saya sempatkan Subuh-an.
Sembari ngupi saya unggah ke sosmed foto suasana subuh di Bukit Kemuning. Sekembali dari warung kopi, saya bersiap, mandi. Kemudian melanjutkan perjalanan.  Jam 7.10 pagi start dari hotel Murni yang pelit itu. Andai tak kuatir begal, andai berombongan dengan 1-2 orang lagi saya yakin tadi malam pasti lanjut. Dan menjelang subuh kemungkinan besar bisa sampai kembali di rumah di Bakauheni.
Hal penting dalam melintasi daerah rawan begal adalah bergerak secepat mungkin seperti saya sebut diatas. Dan atur rombongan untuk selalu berjarak rapat. Motor dengan pengendara paling besar tubuhnya atau paling berani berada paling belakang. Nomor dua dari belakang adalah motor dengan pengendara paling cepat. Jarak antar motor jangan lebih dari 10 meter, hal ini diperlukan latihan untuk menjaga jarak dalam kecepatan tinggi. Pengertian antar pengendara juga perlu dibahas sebelumnya agar semakin saling memaklumi. Jika membawa tripod lebih baik lagi diikat di tubuh sebagai penghalang sabetan senjata begal. Memungut bambu atau kayu sebelum melintas serta membawanya dengan diikat diselempangkan juga tindakan yang tidak buruk.
Perkiraan saya bisa tembus dalam 2 jam hingga Bandarjaya dari Bukit Kemuning. Dan dari Bandarjaya sekitar 3-4 jam sampai Bakauheni. Perkiraan ini ditunjang dengan mulus dan lebarnya Jalinsum. Tak meleset perhitungan, jam 9 sudah melewati Jembatan Terbanggi Besar. Dan saya sudah berjanji dengan sahabat yang saya kenal melalui sebuah forum bersepedamotor internet, akan bertemu di Bandarjaya sekitar jam 9 pagi ini.
Jam 9.10 saya menamatkan etape ini didepan Mesjid Agung Bandarjaya. Karena parkiran motor di depan Mesjid terasa terik tersorot matahari dan sangat kebetulan saya juga belum sarapan kecuali beberapa potong roti saat ngopi subuh tadi, saya geser ke RM Minang Indah. Seingat saya baru kedua kali nya saya makan di restoran Padang dalam perjalanan kali ini, setelah pertama di Krui.
Lebih dari 1 jam saya menunggu sohib yang berjanji menemui di Mesjid Agung Bandarjaya. Tapi bulu hidungnya satupun tidak terbawa angin ke lokasi rendevouz, apalagi batang hidungnya ternampak...

Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.
Tak banyak yang bisa saya tulis di etape ini karena sudah tidak mencatat apapun lagi. Bahkan saat mengisi kembali bensin saya lupa dimana dan berapa. Ini sudah etape euforia bakal sampai dalam hitungan jam. Beberapa kilometer lagi sudah memasuki kabupaten tempat saya tinggal meski dari batas kabupaten masih 90an kilometer baru tiba di rumah. Yang tercatat hanyalah jam keberangkatan dari Bandarjaya, 10.35 pagi.
Etape ini saya cukup menceritakan mengenai daerah Bandarjaya yang menjadi besar karena merupakan tempat istirahat berbagai angkutan umum. Bukit Kemuning masih terhitung rawan sehingga kendaraan besar pengangkut barang hanya sekedar berhenti makan atau minum kopi saja karena disitu juga pusat perkulakan kopi terbesar di Lampung. Sementara di Bandarjaya kendaraan bisa istirahat dan parkir bermalam tanpa gangguan. Dua Jalan Lintas Sumatera masih melalui Bandarjaya, Jalinsum dan Jalintim. Jalinbar masih sepi dari truk karena beberapa tanjakan/turunannya terkenal ekstrim. Meski ke Bengkulu atau Padang jauh lebih dekat melalui Jalinbar, truk bermuatan penuh berlebih akan tetap memilih Jalinsum menuju kedua ibukota Propinsi itu.
Tak lama terlewati persimpangan menuju Kota Metro yang sudah terletak di kab Pesawaran. Tak jauh dari situ sudah memasuki Lampung Selatan kembali, tandanya adalah Pelud Radin Inten II di Branti. Melewati Natar dan terus memasuki wilayah ibukota propinsi Lampung, Bandarlampung.
Saya sempat melihat odometer yang menunjukan angka 5600 km lebih, sudah waktunya melakukan perawatan buat si nexie. Jadwal servis gratis yang ketiga terlampaui, daripada saya pulang dan kembali ke Bandarlampung esoknya, saya arahkan nexie menuju pusat pelayanan Suzuki. Salah satu yang saya sesalkan adalah Suzuki menutup pusat pelayanannya di Kalianda, kota kabupaten di dekat rumah saya.
Setelah singgah di rumah keluarga dari istri, tempat istri menginap selama saya tinggal ke Pagaralam, nexie saya arahkan menuju Bakauheni. Sementara istri dan anak serta supir yang sudah diminta untuk menjemput dengan R4 menyusul dibelakang. Saya sempatkan makan mi sebagai makan siang yang kesorean di kota Kalianda. Mie pangsit Ade Wongso ini saya rasakan sebagai mie yang paling enak dan pas dengan anggaran yang memang sudah tipis, kalau tidak salah tersisa Rp.20.000 sesampainya di rumah. Artinya saya tidak sampai mengganggu duit SHU yang saya ambil dari PLS, Merpas.

_________________________________
* Sekedar mengingatkan, Jalinsum = Jalan Lintas Sumatera adalah jalan yang pertama ada  melintasi Sumatera dari Lampung (Bakauheni) hingga Banda Aceh, biasa juga disebut Jalinteng.
Jalinbar = Jalan Lintas Barat, hitungannya berawal dari Bandarlampung ke arah KotaAgung dan terus hingga bertemu Jalinsum di Padang Panjang, Sumbar.
Jalintim = Jalan Lintas Timur berawal dari Terbanggi, Bandarjaya hingga Medan, Jalinpantim  Lampung adalah sambungan Jalintim dari Bakauheni hingga bertemu Jalintim di Menggala.
Demikian catatan perjalanan ini, semoga bisa sedikit membantu bagi yang merencanakan berpetualang 3-4 hari di Sumatera.
Bagi yang dari Palembang saya menyarankan rute: Palembang-Baturaja-Muaradua-Liwa-Krui-Merpas, 470an km dan kembali melalui rute Merpas-Manna-Pagaralam-Lahat-Palembang dengan jarak yang hampir sama 480an kilometer juga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menembus Calon Jalan Bintuhan - Muaradua

Suzukinex Solorun 1100 Km bagian keempat - habis

Menembus Jalan Baru Muaradua- Bintuhan Bag 2