Pagaralam Solorun
Asalmuasal
Sebagaimana
biasa saya meninjau proyek pengembangan pariwisata di Merpas, Kec Nasal – Kab
Kaur Bengkulu. Tahun-tahun terakhir terlihat nomor kendaraan pengunjung banyak
berkode awal BG dan kode akhir W yang setelah ditanyakan, para pengunjung
tersebut berasal dari kota Pagaralam di SumSel. Semakin hari semakin tahun
semakin banyak pengunjung dari Pagaralam ini.
Coba melirik
peta dan ngobrol dengan Pagaralamers,
ternyata cukup dekat dari Merpas, sekitar 200km, hanya separuh jarak saya ke
Merpas. Dan bagi penduduk Pagaralam, Pantai Laguna Samudra adalah pantai indah
terdekat yang laut dihadapanya bisa dipakai bermain air laut atau
direnangi. Ada pula Pantai Pasar Bawah di
Manna sebagai laut terdekat hanya saja sebagai pantai Samudra lepas, ombak di
Manna sangat ganas. Penduduk pegunungan atau wilayah yang jauh dari laut
pastinya sangat tertarik dengan pantai untuk dijadikan tujuan mereka di
hari-hari libur.
Untuk lebih
mendekatkan diri dengan orang-orang yang termasuk captive market bagi usaha
saya di Merpas itu maka diputuskan untuk sesekali menjelajahi kota itu.
Beberapa kali berusaha menyempatkan waktu namun gagal menyambangi kota yang
dulu sekali pernah saya lewati secara kebetulan akibat Jalinbar putus.
Pagaralam tak nampak sebagai kota sekitar tahun 2002 atau 2003 atau jikapun
sudah masih sangat baru, apalagi saya tak sempat memasuki kota karena jalan
dari Manna menuju Jalinsum hanya melalui simpang sedikit diluar kota.
Sumber
Inspirasi
Karena itu
ketika hendak meninjau usaha di Merpas di musim Iedul Adha, saya tekadkan untuk
terus ke Pagaralam. Sehingga selain bisa mendekatkan diri serta menganalisa
pasar utama dari usaha yang saya jalankan, sekalian bisa memberikan referensi
sebuah jalur wisata R2 baru bagi penyukanya.
Kebetulan beberapa
waktu yang lalu ada yang menanyakan rute wisata R2 di Sumatera dengan waktu
tempuh 3-4 hari dari Jakarta dan diberi syarat “Jangan ke Ranau, bang. Itu
terlalu mainstream”. Setahu saya sang penanya adalah pengendara motor besar
diatas 250cc, tepatnya Versys, dan juga adventurider. Terpikirkan jalur Manna –
Pagaralam serta jalan pintas Pagaralam langsung ke Baturaja tanpa melalui MuaraEnim
atau Lahat. Nampaknya jika pakai versys bisa tembus 3 hari plus menyeberang
jadi klop 4 hari. Langsung saja saya kasih jalur
Bakauheni-Bandarlampung-KotaAgung-Krui-Bintuhan-Manna dan naik keatas menuju
Pagaralam-simpangMeo-Baturaja-Kotabumi-Bandarlampung-Bakauheni. Dengan versys,
juga tak perduli sitan bigal di jalur Martapura hingga Bandarjaya. Paling
banter para begal bisa ngejabanin dgn
RX King bore up sebatas 1-2 km saja,
selebihnya si King itu pasti batuk termehek atau malah jam session piston dan
boringnya.
Padahal
jalur ini saya tidak update sama
sekali, pertama dan sekali-kalinya di tahun 2002an tadi, 11-12 tahun yang lalu.
Yang paling dikuatirkan jalur antara Manna dengan Pagaralam serta jalan pintas
menuju SimpangMeo yang pastinya sempit dan sering dilanda longsor. Tanya dengan
supir truk pun tak ada yang tahu karena memang hampir tak ada truk yang mau
lewat kecuali amat sangat terpaksa. Hanya bis sedang jurusan Manna-Palembang
saja yang lewat itupun hanya 2-3 bis dalam sehari. Tapi melihat anak-anak
Pagaralam yang tiap Sabtu-Minggu dengan motor atau mobil dan bus memenuhi
Pantai Laguna Samudra, rasanya jalur itu enak dilewati. Bahkan ada juga yang
menggunakan trike Viar 150 alias mobak.
Pilihan
Kendaraan
Untuk itulah
saya sempatkan ke Pagaralam kali ini, biar ada info ter-update. Tinggal memilih kendaraan dan saya pastikan pakai R2 agar
benar-benar sesuai keadaan dengan target yang akan diberikan infonya. Tapi
masih ada dilema, pakai ABG Tua - Thunder 125 atau nexie yang masih
kinyis-kinyis. ABG Tua sesuai namanya, kelahiran 2004 meski masih segar bugar
dan masih sangat yakin bakal menuntaskan tugas dengan sempurna tapi tetap saja
ada kekuatiran, yang menjadi masalah utama adalah anggaran. Tak bisa jalan
dengan dana pas-pasan jika pakai ABG Tua, persiapan jika terjadi masalah di
jalan harus diperhatikan. Apalagi ini kemungkinan besar menjadi solorun,
beberapa rekan yang diajak menjawab tak bisa menemani.
Akhirnya
saya pilih nexie Suzuki scooter 110cc. Karena masih baru, saya yakin tak bakal
ada masalah di jalan, budget tinggal hitung bbm dan konsumsi - akomodasi saja.
Tapi tetap ada kekuatiran bakal dilanda pegal linu akibat jok yang imut-imut,
solusinya besarkan budget akomodasi, cari hotel yang nyaman. Selain itu lampu yang terpasang di nexie
hanya standar pabrik, jalan malam bakal kesulitan buat mata minus.
Yang pasti
pengalaman perjalanan dengan nexie bakal menjadi acuan bagi semua tipe dan
kelas R2. Ini adalah alasan utama memilih nexie. Karena nexie adalah tipe motor
terkecil dan terpelan diantara tipe motor lainnya. Tapi setelah beberapa kali
uji coba, nexie cukup cepat dan lincah dibanding skuter matik sekelas. Untuk
perjalanan jauh saya hanya mengganti ban belakang dengan ukuran 1 tingkat lebih
besar sementara ban depan tetap asli bawaan. Dengan ban 90/90 kecepatan nexie
sedikit berkurang, susah payah juga menyalip matik lain dalam kondisi berpacu,
biasanya hanya dengan sekali hentakan gas nexie sudah meluncur dan belum 200
meter semua matik sekelas sudah bisa dilibas.
Kini butuh 400 meter lebih untuk itu. Namun di tikungan Jalinsum yang
lebar-lebar dan besar masih mampu gas pol tanpa gejala ban bergeser alias
sliding. Di jalan rusak pun jauh lebih nyaman. Ada sisi lebih dan kurangnya
mengganti ban yang lebih besar sedikit.
Mantap lah
pilihan kali ini, nexie! Sekalian test ride sesungguhnya bagi motor yang
diiklankan dengan slogan “Irit & Kencang”. Jarak total perjalanan
mencapai 1.000km bahkan lebih, tanjakan
ekstrim di Sedayu menanti, turunan paling tajam juga bakal menghadang, melintas
dari ketinggian 0 (nol) diatas permukaan laut hingga ketinggian 1900 meter di
tugu Rimau, Pagaralam.
Rancangan
Jadwal Perjalanan
Dan
diaturlah jadwal perjalanan. Karena sendirian maka bisa sesuka hati mengatur
jadwal. Mengingat ini adalah juga perjalanan kerja, saya bakal butuh 2 hari
tanggal 5 & 6 Oktober di lokasi usaha di Merpas. Dipilih tanggal
keberangkatan 4 Oktober 2014.
Berangkat jam 5 subuh agar setidaknya sekitar senja bisa mengambil foto mentari
terbenam di lautan dari ketinggian dataran Lemong, +-500m dpl, ini adalah
kecamatan terujung Barat di Lampung menjelang perbatasan dengan Bengkulu. Jarak
Lemong dari tempat keberangkatan sekitar 365km. Jika menggunakan R4 pasti
tembus dalam 7-8 jam mengingat tak perlu banyak istirahat serta jalan yang
cukup sepi kalau tidak bisa dibilang sangat sepi. Tapi perencanaan dengan
sepedamotor harus mempertimbangkan waktu istirahat yang sering. Kayaknya tiap lihat mini market ingin
berhenti apalagi tengah hari panas, terbayang air mineral dingin tiap lihat
toko dengan lemari pendingin besar-besar.
Tanggal 7 oktober direncanakan lanjut dari Merpas
menuju Pagaralam dengan jarak tempuh sekitar 200 km. Tapi meski hanya 200, sekitar 80 diantaranya
adalah jalur penuh tikungan, mungkin sekitar 1.000 tikungan yang harus
ditempuh. Silahkan hitung sendiri, tapi ada cara mudah, sampling aja 1 km di
awal dan 1 km ditengah, ada berapa tikungan di tiap kilometer, dari pal ke pal.
Sempat saya hitung kemarin, paling sedikit 12 tikungan per km dan lebih banyak
yang 14 tikungan. Padahal saya perhatikan jalan ini sudah banyak yang
diluruskan seperti juga jalur Liwa-Krui di Lampung yg hanya 30km tapi punya 500
tikungan dahulu, sekitar 16-17 per km dan kini tinggal 12-14 saja per km.
Setiap jarak 2-3 km pasti ada “kelokan” kata orang Minang, tikungan patah
berbentuk ladam kuda atau letter “U” bahkan ada yang “O”.
Tanggal 8 Oktober kembali pulang melalui Jalinsum dan
diyakini bisa tembus sehari hingga rumah kembali disekitar Bakauheni. Subuh
dari Pagaralam dan setidaknya sekitar magrib atau maksimal jam 8 malam sudah
melewati Bandarjaya atau melewati daerah rawan begal dari Martapura hingga
Bandarjaya. Jarak Pagaralam hingga Bandarjaya sekitar ....... km. Dari
Bandarjaya sampai rumah jam berapapun tenang saja, aman bro... perkiraan jam 12
malam bisa sampai di rumah lagi. Atau
jika terpaksa dan sangat lelah, ada sohib yang tinggal disekitar Bandarjaya,
pasti dia mau memberi tumpangan beberapa jam hingga pagi dan pulih dari lelah
plus bonus kopi mantab dengan berbagai campuran. Meski tak seberapa jauh lagi,
berjalan malam dengan kondisi mata minus dan lampu standar dipastikan tidak bisa cepat.
Tanggal 9 hingga 11 masih sempat menulis RS, karena
Senin depannya pekerjaan lain sudah menunggu. Begitulah rencananya. Dan ketika
diterapkan dengan disiplin pasti baik hasilnya. Kenyataan, tgl 9 malam saya baru mulai menulis, dan pagi ini tanggal
10 diteruskan tapi belum menuliskan
kisah perjalanan yang sebenarnya. Baru mukadimah yang sedikit berkepanjangan
ini. Entah apakah bisa selesai 1-2 hari. Mengingat menulis jauh lebih sulit
ketimbang melintir gas dan lebih mengerikan dibanding ketanggor dengan ALS saat
menyalip J.
Kisah Pra
Keberangkatan
Persiapan dan Ulasan
Persiapan dan Ulasan
Tanggal 3
Oktober sore ternyata saya masih ada beberapa pekerjaan yang harus
diselesaikan. Tugas ekstra yang baru timbul siangnya. Rencana packing jadi
tertunda, hingga menjelang tengah malam baru selesai semua tugas ekstra.
Nampaknya tak lagi sempat packing malam itu tapi mata belum bisa terpejam
karena terlalu banyak kopi. Ketimbang memaksakan tidur, saya coba mempersiapkan
tas samping motor atau biasa disebut sidebag. Sidebag ini masih terpuruk di
gudang, setelah diambil dan dibersihkan dari debu gudang ternyata raincover
sidebag tak ada di tempat seharusnya. Sekali lagi bongkar gudang, tempatkan di
saku sidebag dan tempatkan diatas nexie. Melirik jam ternyata sudah pukul 12.55,
sudah masuk tanggal 4 Oktober! Selain itu mata juga sudah berdamai dengan kopi.
Saya putuskan untuk tidur saja, nanti setelah Subuh-an dilanjut, paling undur 1
jam dari rencana semula start jam 5.30 pagi.
Ternyata
adzan Subuh dari Mushalla persis disebelah rumah yang nyaring dengan toa,
tak mampu menggugah tidur yang lelap. Atau jangan-jangan tak ada yang adzan... Jam 5 lewat sedikit saya terjaga. Setelah
melihat jam dan kecewa karena terlambat bangun, saya colek teman tidur “mam,
kok nggak bangunin sih”. Biasanya istri tercinta ini pasti bangun jika
mendengar suara sedikit berisik, apalagi adzan di toa yang hanya berjarak
belasan meter. “nggak ada yang adzan tadi, kayaknya” jawab istri saya. “cuma
ada qomat tanpa toa barusan” lanjutnya. MasyaAllah! Ternyata hari ini masih
jadwal saya melantunkan adzan Subuh, astagfirullah hal adziim. Pasti banyak
yang menggerutu karena terlambat bangun Subuh.
Sempatkan
melihat keluar arah Timur, matahari belum lagi terbit, masih sempat shalat
Subuh. Biarlah urusan diterima atau tidak shalat kesiangan itu menjadi urusan
nanti. Karena jika dalam perjalanan biasanya semua waktu shalat terlewatkan,
bisa jadi ini shalat terakhir dalam beberapa hari ke depan bahkan bisa menjadi
selamanya jika jurang atau bus ALS menjemput nyawa di perjalanan.
“O iya, papa
kan katanya mau berangkat subuh.”, “Bangun dong!”, “Udah nyiapin yang mau
dibawa, belum?” dan beberapa kalimat lagi yang tak sempat saya perhatikan terus
saja keluar dari corong toa istri bak mirtraliur Belanda memberondong para
pejuang kita yang maju hanya dengan bambu runcing. Ini sebetulnya isyarat bahwa
dia memberikan ijin tidak dengan ikhlas sepenuhnya. Istri mana yang ikhlas
jika tahu tujuan turing adalah sebuah kota dingin di pegunungan dan terkenal
bahwa perempuan disana cantik-cantik *sengaja saya edit dicoret agar jika
ada istri-istri ikut membaca tidak tahu hal ini.
Tapi ijin
sudah keluar, mau ikhlas atau tidak jangan diperhatikan lagi, acuh beybeh.
Segera saja saya mengeluarkan motor dan memanaskan mesin. Sembari minta tolong
istri untuk membantu mempersiapkan pakaian yang hendak dibawa. Lanjut mandi,
selesai mandi saya takjub dengan semua barang yang disiapkan istri, mungkin
diperlukan motor bak R3 untuk mengangkut semuanya. Terpaksalah saya pilih ulang
apa yang mau dibawa untuk perjalanan 3-4 hari plus 2 hari di lokasi usaha yang justru
membuat sempat mencuci pakaian kotor. Saya pilih membawa;
- 3buah Tshirt: 2 lengan pendek dan 1 lengan panjang
- 2 celana jeans: 1 panjang dan 1 pendek
- celana dalam dan celana renang
- handuk dan alat kebersihan: sabun cair, 1 set sikat gigi lipat dan deodoran sachet
- sepatu karet tipis yg mirip keluaran Reebok tapi hanya sepersepuluh harganya
- parfum tidak ketinggalan tapi ini harus diam-diam tanpa sepengetahuan istri
- 3buah Tshirt: 2 lengan pendek dan 1 lengan panjang
- 2 celana jeans: 1 panjang dan 1 pendek
- celana dalam dan celana renang
- handuk dan alat kebersihan: sabun cair, 1 set sikat gigi lipat dan deodoran sachet
- sepatu karet tipis yg mirip keluaran Reebok tapi hanya sepersepuluh harganya
- parfum tidak ketinggalan tapi ini harus diam-diam tanpa sepengetahuan istri
Semua barang
saya bungkus dengan kantong plastik 2 lapis mengingat hanya mengandalkan
sidebag yang tidak waterproof meski lengkap dengan raincover. Air masih merasuk
ke sidebag lewat sisi dalam yang berhadapan dengan ban, cipratan dari ban tidak
terlindungi oleh raincover. Semoga ada produsen yang mau mentest buatannya di
derasnya hujan beneran atau motornya dicemplungkan menyeberangi sungai dangkal
sekalian.
Sidebag jauh
lebih praktis dibanding side box. Tanpa ruwet dengan bracket dan besi tambahan
malang melintang di motor. Kekurangannya hanya sering ditanya, “sales apa mas?”
J.
Sementara ini saya menghindari memakai top box karena box jenis ini
mempengaruhi pengendalian motor cukup besar. Tapi di nexie menjadi opsi yang
mungkin terpaksa dilakukan karena bagasinya kecil, beda dengan skywi. Skywi
adalah skuter matik 125cc dari Suzuki yang juga saya miliki tapi kini
ditugaskan membantu usaha perkebunan saya di Kaur, Bengkulu sana. Kalaupun
suatu waktu nanti menggunakan top box, paling pilih yang kecil dan produk
murahan saja atau sekalian orisinal keluaran Suzuki. Top box lebih digunakan
menempatkan barang ringan spt alat pancing, alat mandi dan sandal karet.
Selesai
semua dan masuk ke sidebag ditambah perlengkapan bersepedamotor seperti jas dan
celana hujan. Tak lupa kamera kesayangan masuk kedalam tas tangki khusus
kamera, hanya saja nexie tak punya tangki untuk menempatkan tankbag, tapi
produk Indonesia ini pasti sudah memikirkan penggunaan di motor tipe skuter dan
bebek. Tankbag kamera ini saya gantungkan ditengah dibawah stang dan diperkuat
dengan memasang tali selempang ke depan, terikat di dudukan plat nomor. Meski
penempatan di skuter dan bebek cukup baik tapi ergonomi isi dalam tas masih
kacau jika ditempatkan berdiri, kameranya cenderung jatuh ke dasar tas dan
menyulitkan ketika diambil terburu-buru.
Berangkat, 4 Oktober 2014
Pra Etape: Bakauheni(rumah saya)-Bandarlampung, 67km jalan lebar dan lurus
Pra Etape: Bakauheni(rumah saya)-Bandarlampung, 67km jalan lebar dan lurus
Tak terasa
waktu terus berjalan dan jam sudah menunjuk angka 7 lewat 30 menit. Halaah,
sangat terlambat ini. Mau segera ngegas tapi istri sudah menyiapkan sarapan.
Tak elok jika tak mengindahkan apa yang dibuat istri sebagai rasa kasih sayang
pada kita. Makan dan ngopi sarapan
hingga pukul 8 lewat.
Pakai sepatu
AP boot Moto3 dan jaket hadiah sponsor peninggalan seorang teman Nusantarider.
Jaket berlogo produsen oli ini ternyata cukup baik menahan dingin dan angin
tapi tidak membuat terlalu gerah. Jacket kulit buatan terbaik dari Samarang,
Garut yang bisa saya pakai, sementara cuti dulu apalagi memang bukan didesain
utk bersepedamotor, bagian leher tak bisa menutup rapat.
Periksa
sidebag, agak heran melihat lebih menggembung dibanding tadi. Ternyata saat
saya sarapan istri memasukan beberapa potong pakaian lagi. “Bawa kemeja dan
baju koko, besok itu Lebaran dan di Merpas, kan dua hari, siapa tau bupati
meninjau atau kadispariwisata” sergahnya ketika saya protes. Akhirnya jam 9
pagi baru menghidupkan motor dan langsung ngacir.
Isi bensin
di SPBU siangmalam, disebut demikian karena dekat dengan RM SiangMalam. Full
Tank Pertamax Rp.44.000,- harga perliter disitu dan sepanjang perjalanan sama
saja Rp.12.500,- sebenarnya hanya 3,5 liter
atau Rp43.750,- tapi duit 50ribu cuma dikembalikan Rp.6000 saja. Pilih pertamax
untuk membuktikan bahwa motor bertangki kecil tetap bisa selalu mengisi
pertamax di perjalanan ini apalagi motor bertangki besar. Selain diharapkan
nexie bisa lebih bertenaga dan lebih irit dengan minum bbm beroktan 92. Soal
irit sebenarnya relatif tapi setidaknya jika minum bensin premium paling irit
jika dijalankan dengan kecepatan 40-60 kpj sementara dengan pertamax bisa
digeber 60-80 kpj dengan keiritan yg sama. Ini hasil tes ringan tanpa metode
baku penelitian.
Tanpa
hambatan berarti jarak 67 kilometer dari SPBU hingga Bandarlampung bisa dicapai
dengan mudah. Satu setengah jam, tiba di Bandarlampung pukul 10.30. Dan hanya
berhenti di minimarket 1 kali untuk membeli celanadalam tipe boxer. Karena 1
lagi masih basah dan tak terbawa. Celanadalam tipe ini paling nyaman dipakai
riding seharian dibanding tipe biasa yang bagian tepi tebal di pangkal paha
akan menekan saat dipakai duduk di jok berlama-lama.
Di
Bandarlampung saya singgah di rumah teman yang sekitar 15-25 tahun lalu adalah rekan
memotoran (jaman dulu kami belum
kenal istilah touring, memotoran adalah istilah saat itu). Sempat bilang
beberapa minggu sebelumnya bahwa dia mau ikut. Agak ragu juga karena umurnya
sudah lebih dari setengah abad. Dan beberapa tahun lalu sempat sakit parah
mengkuatirkan. Tapi dia menjamin sudah sehat wal afiat dan siap mengulang kesenangan
bersepedamotor ngeblanksak. Apalagi
tujuan utama adalah Pagaralam yang terkenal akan... ekh hmm sudah saya tulis
tapi saya coret lagi diatas. Sebagai jomblowan sejati tentu ia bisa berangkat
kapanpun tanpa ijin dari siapapun. Tapi ternyata motornya, Suzuki Crystal bebek
2 tak 110cc, yang tidak siap atau mungkin badannya yang kurang sehat tapi demi
menjaga kemungkinan diajak lagi lain waktu ia beralasan motor.
Ya sudah...
jadilah ini sebuah solorun. Dan berikut saya paparkan rute serta pembagian
etape.
Karena di facebook sempat saya sebut urutan etape berdasar titik istirahat dan nampaknya tidak sesuai penomoran etape dengan yang saya tuliskan berikut ini. Saat jalan saya tidak suka melihat catatan apapun. WYSiWYG: what you see is what you get, istilah yang saya pakai. Jalani saja, apa yang ketemu, itu yang kita dapatkan. Padahal beberapa point of interest sudah saya catat dan urutan perjalanan bahkan tempat istirahat sudah saya tentukan. Catatan itu hanya saya lihat sebelum jalan dan ingat-ingat saja di kepala, selebihnya adalah improvisasi di jalanan ibarat bermain musik jazz.
Karena di facebook sempat saya sebut urutan etape berdasar titik istirahat dan nampaknya tidak sesuai penomoran etape dengan yang saya tuliskan berikut ini. Saat jalan saya tidak suka melihat catatan apapun. WYSiWYG: what you see is what you get, istilah yang saya pakai. Jalani saja, apa yang ketemu, itu yang kita dapatkan. Padahal beberapa point of interest sudah saya catat dan urutan perjalanan bahkan tempat istirahat sudah saya tentukan. Catatan itu hanya saya lihat sebelum jalan dan ingat-ingat saja di kepala, selebihnya adalah improvisasi di jalanan ibarat bermain musik jazz.
HARI PERTAMA
Etape 1, Bandarlampung – KotaAgung 96 kilometer;
Jam 11.50 – 13.10 dan 13.45 –
14.20
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik
Banyak jalan lurus dan hanya belasan kilometer jalan pegunungan dengan tikungan asik
Jalur ini
terbilang sering saya lewati. Sudah pula saya tuliskan dalam bentuk ride report
atau saya lebih suka menyebutnya sebagai RIDE STORY. Dulu saya tuliskan dengan
tambahan cerita dari masa lalu saat pertama menembus calon Jalan Lintas Barat
dari KotaAgung hingga Krui.
Start
kegiatan ini dari Bandarlampung setelah mendapat kepastian rekan tak jadi ikut,
judul kegiatan pun berubah menjadi Pagaralam Solorun dari sebelumnya
direncanakan Pagaralam Rideventure. Jam 11.50 saya memulai pelintir gas sedikit
demi sedikit. Saat adzan Dzuhur saya telah mencapai gerbang kota. Jalur ini
hingga Pringsewu terbilang padat sehingga tidak bisa melaju cepat.
Desa pertama
setelah keluar dari wilayah kota Bandarlampung bernama desa Kurungan Nyawa. Desa
ini masuk di wilayah kabupaten Pesawaran. Mungkin karena dahulu terdapat sebuah
tikungan maut disini, banyak sekali korban tewas akibat kesembronoan pengemudi.
Tapi rasanya nama desa tersebut sudah lebih lama dari keberadaan kendaraan
bermotor. Kebetulan sekarang ini berdiri rumah sakit jiwa tingkat propinsi di
desa ini. Semakin lengkaplah julukan Kurungan Nyawa sebagai tempat mengurung
para pasien berjiwa sakit.
Selanjutnya
adalah ibukota kabupaten Pesawaran, Gedong Tata’an. Disinilah orang jawa
pertama kali ditempatkan dalam program kolonisasi oleh pemerintah Hindia
Belanda. Disini juga terdapat Musium Transmigrasi. Tapi para kolonis ini justru
lebih banyak ditempatkan di Pringsewu yang kini menjadi kabupaten tetangga
Pesawaran.
Tak lama
kemudian perjalanan memasuki wilayah kabupaten Pringsewu. Total dari
Bandarlampung hingga ibukota kabupaten Pringsewu adalah 35 km. Di Pringsewu
kehidupan serasa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mayoritas penduduk
kabupaten ini keturunan Jawa. Bahasa sehari-hari yang digunakan juga bahasa Jawa
ngoko/kasar. Jam sudah menunjukan
pukul 13.00 saat memasuki gerbang kota Pringsewu,
gapura dari beton yang dibentuk seperti bambu. Sebelum ditempati para kolonis
dari Jawa, tempat itu memang hutan bambu.
Pringsewu
cukup dikenal kulinernya, masakan khas jawa kelahiran sumatera. Mirip dengan
masakan jawa tapi jauh lebih pedas. Dan saya sudah merencanakan untuk makan
siang di warung mbak Sri. Jam 13.10 tiba di warung yang terletak di arah keluar
kota, setelah pasar dan SPBU. Belum pernah makan disitu sebelumnya tapi sempat
dengar dari rekan supir, masakannya enak dan cukup murah. Karena tak ada belut
goreng kesukaan, saya pilih rendang jawa dan minum es teh manis. Setelah selesai
bersantap segera bersiap melanjutkan perjalanan, kembali mengenakan jaket tjap
cas*rol milik teman yang ketinggalan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena
dia pasti punya jaket yang lebih bagus. Saat membayar, hanya dikenakan
Rp.16.000 untuk nasi rendang plus es teh manis. Lumayan murah.
Perjalanan
dilanjutkan jam 13.45, dengan gas tinggi tapi kecepatan rendah, harap maklum
nexie hanya mentok di 100kpj setelah ganti ban lebih besar, turun sekitar 5
kpj. Apalagi dengan beban badan seberat 77kg plus barang bawaan yang sekitar
10kg. Serta jalanan juga mendaki dari Pringsewu hingga Gisting. Tetapi
kepadatan jalan setelah Pringsewu jauh berkurang sehingga tidak ada penghalang
berarti, seperti bus atau angkot berhenti yang membuat waktu tempuh mulur.
Wysiwig
disini adalah kehadiran mesjid-mesjid kecil dengan arsitektur unik dan berbeda
sama sekali diantara mesjid-mesjid itu. Semua tampak dari sisi jalan yang
mendaki landai, terutama di kecamatan Talang Padang, Tanggamus. Nanti mungkin
saya buatkan tulisan tersendiri mengenai mesjid-mesjid ini. Beberapa mesjid
menjadi aneh bentuknya, bahkan ada yang lebih mirip gereja atau synagog dan
hanya kubah yang menandakan itu adalah mesjid. Nampaknya tiap desa atau dusun
ingin tampak beda serta ada semacam adu gengsi terhadap bangunan mesjid mereka.
Karena terburu-buru akibat telat berangkat, hal yang sudah saya rencanakan
untuk memotret mesjid-mesjid ini secara lengkap batal saya lakukan.
Pusat kota
Kec Talang Padang yang dahulu merupakan pusat perkulakan kopi sudah terlewati
dan jalanan semakin nampak menanjak hingga di Gisting Bawah. Dari desa Gisting
Bawah terlihat nyata jalan mendaki, dan dari namanya juga nampak karena setelah
itu adalah desa Gisting Atas. Ketinggian Gisting Atas sekitar 650 meter diatas
permukaan laut membuat udara disini cukup dingin.
Terlihat
meteran bensin menukik ke E tapi yakin masih sampai di KotaAgung. Beberapa SPBU
setelah Pringsewu tak ada yang menjual Pertamax, sementara utk mengisi bbm di
Pringsewu tadi urung karena fuel meter masih mendongak tinggi disana. Yakin
sampai Kota Agung mengingat setelah lewat batas desa Gisting Atas jalan
senantiasa menurun sejauh 25an km. Di ketinggian Gisting Atas akan ditemui
gerbang Kota Agung. Padahal Kota Agung dikenal sebagai bandar laut sejak era
kesultanan Banten yang tentunya di pinggir laut dan memasang gapura di
ketinggian 600 meter dpl. Agak membingungkan awalnya, ternyata pas kemarin saya
lewat baru sadar bahwa itu adalah batas kecamatan Kota Agung. Dan Kota Agung
bukanlah kota dalam terminasi bahasa Indonesia, hanya saja kecamatan ini
menjadi ibukota kabupaten Tanggamus. Kalaupun menjadi kota suatu waktu nanti
maka akan disebut secara resmi sebagai Kota KotaAgung atau
dibahasa-Indonesiakan menjadi Kota PagarAgung. Kota atau kuta dalam bahasa
Lampung berarti pagar.
Setelah
gapura KotaAgung kita akan menemui jalan berliku tajam menurun. Jalan berbentuk
letter “U” dan hampir “O” akan kita
temui. Inilah pertama kali saya mengendarai matik dengan shockabs sebelah di jalanan yang amat saya sukai, penuh tikungan.
Awalnya kuatir bahwa nex akan bergoyang di tikungan, terutama ke arah kanan.
Tapi setelah mencoba di beberapa tikungan lebar sebelumnya, saya beranikan
mencoba di kecepatan sedang, 60kpj. Tak ada goyangan sama sekali seperti yang
saya kuatirkan sebelumnya. Akhirnya sedikit demi sedikit kecepatan di tikungan
demi tikungan saya tambah. Sampai akhirnya sebuah tikungan ke kiri yang amat
tajam memasuki jembatan memaksa saya menekan rem cukup dalam tapi motor masih
melaju deras karena posisi jalan yang menurun. Posisi badan cepat saya geser ke
kiri hingga bergaya bak pembalap road race untuk mengajak nex menikung cepat.
Nyaris mencium pagar beton jembatan. Tapi bukan Andre namanya jika lantas
memperlambat laju di tikungan *sombong dikit dulu ah.... justru merasa sudah
dapat trik menikung dengan matik kecil, kecepatan saya tambah. Tapi mohon
jangan ditiru, saya berani karena hapal dengan tikungan-tikungan disini. Dan
saya hanya ingin membuktikan kekuatiran saya selama ini terhadap motor ber-shockbreker sebelah yang ternyata dengan
nex tidak terbukti. Nex justru tangguh melibas tikungan di kecepatan penuh,
entah dengan produk pabrik lain. Tapi di jalan rusak, nex dengan shockabs yang keras sangat tidak nyaman.
Sesampai di
KotaAgung, saya tuju pertama kali adalah SPBU, sayangnya di kota yang bukan
kota tapi sudah berbentuk kota ini tak menjual pertamax. Karena takut kehabisan
bensin saya isi premium Rp.15.000,- di
SPBU KotaAgung. Istirahat di minimarket dekat SPBU dengan meminum sisa miz*ne
yang sudah hangat. Lantas membeli air mineral dingin dan meminumnya seteguk
saja. Sebagai tindakan preventif, saya tidak langsung meminum air dingin disaat
badan panas terpepes matahari * ya benar, terpepes karena dibungkus jaket,
kalau telanjang dada baru disebut terpanggang matahari :P . Juga membeli snack berat tapi tak saya makan disitu,
sebagai persiapan jika terjadi masalah di jalan. Jalan di depan akan melewati
hutan tanpa penduduk lumayan jauh. Dan bisa saja ada pohon rubuh menghalangi
jalan membuat perjalanan terhambat,
saat-saat seperti itulah snack berat sangat berarti.
Etape
pertama selesai di KotaAgung dan sejak awal saya rencanakan berakhir di
minimart.
Etape 2, Kota Agung – kota kecamatan
Bengkunat 95km; Jam 14.45 – 16.15
Setelah
istirahat cukup karena melibas tikungan dari Gisting hingga KotaAgung cukup
menguras stamina. Kembali saya tenggak
seteguk air dingin dan bersiap mengenakan gear alakadarnya dibanding pengendara
motor profesional. Sejurus kemudian kembali menstart mesin nexie, sambil
membayangkan terdengar kata-kata “gentlemen, start your engine... get set...
GO!” tarik gas dalam-dalam dan motor melaju menghentak. Tapi itu hanya
khayalan... kenyataan sih cuma pelintir gas perlahan-lahan. Apalagi ini kota
dan kampung orang, sebagai akamsi saya tahu rasanya melihat orang geber-geber
gas di depan muka di wilayah sendiri.
Sekitar 15
kilometer setelah keluar KotaAgung akan ditemui sebuah SPBU disebelah kiri
jalan yang saya sebut sebagai KotaAgung 2, SPBU yang terhitung lebih baru dan
pastinya menjual pertamax. Saya isi bensin lagi disini, kali ini pertamax
hingga penuh, Rp.17.000,-. Tak saya perhatikan jumlah liter tepatnya dan hanya
catat rupiah saja. Tak jauh dari SPBU ini juga ditemui sebuah SPBU lagi tapi
tak jual pertamax. Setelah itu tak dijumpai lagi SPBU hingga daerah Biha,
sekitar 100 kilometer jarak antar SPBU ini.
Perjalanan
dilanjutkan melewati kota kecamatan Wonosobo, awalnya disini adalah pemukiman
transmigran yang berasal dari Wonosobo, Jateng namun kemudian dihuni juga oleh
orang jawa dan etnis daerah lain sehingga Wonosobo di Lampung ini menjelma jadi
pasar besar dan kemudian ditunjuk sebagai ibukota kecamatan. Selewat Wonosobo
akan ditemui jalan bercabang yang kadang membingungkan jika tak melihat papan
petunjuk jalan. Lurus adalah jalan ke Suoh, memang bisa tembus hingga Liwa tapi
jalan semi offroad. Belok kiri adalah jalur Jalinbar yang sebenarnya mengarah
ke Krui.
Dan Sedayu
menanti, Sedayu adalah nama desa atau disebut pekon di Tanggamus, tempat
jalanan menjadi curam menanjak atau menurun jika arah sebaliknya. Bukan sekedar
curam tapi juga panjang berkepanjangan. Tanjakan ini terpaksa dibuat curam karena
bukit yang akan dilalui bukanlah bukit biasa, ini adalah sebuah patahan kerak
bumi, dalam penyebutan secara geologi bukit ini disebut patahan/sesar semangko.
Patahan yang bermula dari sekitar dibawah Liwa bahkan Ranau hingga ke tengah
laut teluk Semangka dan menusuk hingga Selat Sunda. Sepanjang itu pula sisi
bukit ini hampir tegak lurus. Di laut, bagian dari patahan ini menjadi surga
pemancing dengan sebutan areal SMR (Sea Mount Reef). Di Selatan Liwa, terbentuk
mata air panas Suoh yang mendanau sebagai hasil panas yang terjadi akibat
gesekan antara kerak bumi yang tertinggal dibawah dan yang naik membukit.
Sedayu kini
juga terkenal salaknya yang hampir menyerupai hasil tanaman di Pondoh karena
ditanam dengan bibit asal daerah itu. Setelah tanjakan menjadi lebih landai ada
beberapa kedai yang menjual salak ini. Sedikit lewat kedai-kedai itu akan
ditemui kantor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seksi Sedayu.
Pertanda kita akan memasuki hutan kawasan. Dulu saat pertama kali lewat di
tahun 1995 tempat itu adalah gerbang masuk dan pos pengamatan hewan.
Selanjutnya
adalah barisan pohon-pohon besar dan kerimbunan hutan tropis di kanan kiri
jalan. Di pertengahan akan dijumpai perbatasan kabupaten Tanggamus dengan
Pesisir Barat (d/h bagian dari Lampung Barat). Jalanan mulai menurun setelah
melaui Patok 50, patok seket. Jalanan ini juga tak kalah curam dengan Sedayu, inilah
yang disebut tebing mayit, hanya saja telah dipapas sehingga lebih landai dan
tak lagi membahayakan. Ada beberapa bangkai jip dibawah jurangnya yang sedalam
100an meter. Sebelum dibuatkan jalan aspal Lintas Barat Sumatera, bagian ini
telah menjadi jalan rintisan angkutan jip menuju Bengkunat dan dari situlah julukan
tebing mayit bergema hingga kini.
Setelah
hutan, mulai nampak perkampungan atau desa atau di PesBar juga disebut dengan
pekon. Pekon pertama di Pesbar dari arah Tanggamus adalah Pemerihan, kehidupan
disini sebelum ada Jalinbar memang sungguh perih, ke Krui atau Liwa yang
menjadi ibukota kabupaten memakan waktu 2 hari perjalanan. Karena itu tidak
heran mereka lebih akrab dengan KotaAgung atau Wonosobo dan Kuncoro di wilayah
Tanggamus selain mereka kebanyakan adalah pendatang dari Tanggamus.
Pemerihan
termasuk dalam kecamatan Bengkunat Belimbing yang pecahan dari kec Bengkunat
sebagai akhir etape ini. Perlu dipahami, sebuah kecamatan di Lampung bisa seluas
sebuah kabupaten di pulau Jawa. Karena itu banyak sekali kecamatan-kecamatan
baru hasil pemekaran. Tak luput kecamatan Bengkunat dan agak lucu karena
pelabuhan dan teluk Bengkunat justru berada di kecamatan yang dimekarkan
sehingga menjadi kecamatan Bengkunat Belimbing. Kecamatan induk menurut aturan
tak bisa berganti nama dan Bengkunat yang sekarang tak lagi berasosiasi dengan
posisi geografis Teluk Bengkunat.
Meski sudah
bukan di kawasan hutan, jalan disini masih sepi dari rumah penduduk disisinya.
Seperti juga di Lampung Selatan, sebenarnya penduduk disini cukup banyak tapi
bertempat tinggal bukan ditepi jalan yang baru dibentuk tahun 1995an. Di tepi
teluk Bengkunat dan di tepi sungai besar seperti Way Ngaras adalah pemukiman
utama penduduk disini. Tapi 5-6 tahun terakhir ini sudah mulai banyak yang
memindahkan rumah ke tepi Jalinbar.
Dan beberapa
bulan terakhir sudah ada minimart di kec Bengkunat induk. Ini adalah akhir
etape kedua. Dan saya menyelesaikan etape ini sesuai perkiraan, jam 16.25.
Dijalur ini saya tak sempat berhenti memotret kecuali di Sedayu menyempatkan
mengambil gambar seorang anak yang melepas-latih burung dara. Sejak menjelang
patok seket terlihat awan mendung menguasai langit. Akibatnya saya terpaksa
berpacu dengan kemungkinan hujan deras. Tebing mayit jadi seperti jalan tol
lurus datar saja, hampir pol gas saya pelintir. Menikung ambil gaya pembalap
kembali terpaksa dilakukan. Andai saya tidak mencoba di menjelang KotaAgung
tadi, jelas tidak berani main-main disini, kalau terjadi kecelakaan bisa jadi
saya tidak pernah ditemukan tersembunyi di dasar jurang yang berupa hutan
lebat.
Etape 3, Bengkunat – Krui 56km; Jam 16.45 –
18.40
Tidak sampai
5 menit setelah saya tiba di minimart Bengkunat, gerimis pun menyusul.
Istirahat minum aqua yang dibeli di KotaAgung dan mengunyah snack berat. Para pramuniaga minimart
yang sepi ini melongo memperhatikan
saja, mungkin sedih karena toko yang tak pernah ramai ini saat ada yang singgah
malah minum dan makan roti dari kantong plastik minimart yang semerk tapi bukan
beli disitu. Bukan karena kasihan dengan pramuniaga dan kasir tapi memang
setelah itu saya baru masuk belanja, sebotol amdk (air minum dalam kemasan)
dingin dan snack. Kembali keluar dan istirahat sembari meneguk sedikit air
dingin. Buat saya, saat badan panas berkendara jika langsung meneguk air dingin
membuat mudah terserang flu. Dan flu menjadi merepotkan bagi saya apalagi
perjalanan masih panjang.
Istirahat
dan menanti gerimis reda. Sebentar saja gerimis berhenti dan hujan rupanya
tidak mengikuti. Segera saya start motor dan melaju kembali saat jam menunjukan
pukul 16.45. Jalan antara Bengkunat hingga Biha banyak sekali lurus dan
panjang-panjang, mungkin dibuat dengan menarik benang. Sepertinya jalan ini
dibuat lurus-lurus sebagai kompensasi jalan di Sedayu dan patok seket.
Tak berapa
lama gerimis pun kembali menyusul atau tepatnya menunggu di jalan. Karena cuma
kecil saja, saya acuhkan. Ternyata mendekati Pura Melasti semakin membesar dan
celana serta jaket mulai membasah. Sekalian saja saya hentikan motor tepat
didepan Pura. Baru jam 17 lewat sedikit disitu. Timbulah ide untuk memotret
terbenamnya matahari di pura Hindu Bali itu, menggantikan rencana ambil gambar
dari Lemong. Jika dihiasi siluet arca atau ukiran pura pasti menjadi foto yang
menarik. Sayangnya cuaca benar-benar tidak memungkinkan. Samudra Indonesia juga
sangat gelap diliputi mendung. Mustahil ada penampakan “mata dewa” di cuaca
seperti ini.
Didaerah ini
memang banyak terdapat pemukim asal Lampung Tengah yang kebanyakan suku Bali.
Kakek moyang mereka merupakan transmigran akibat bencana letusan Gunung Agung
tahun 50an. Mereka ditempatkan di Lamsel dan Lamteng. Dan keturunannya mengisi
wilayah kosong *saat jalinbar baru mau dibangun, disisi Barat Lampung.
Mendapati
kemungkinan kecil mendapat obyek bagus untuk difoto, segera saya kenakan jas
hujan - celana hujan tak lupa menyarungkan rain cover di sidebag. Saat ingin
menyarungkan DSLR tankbag. E...ladalaaah,
kok ya ketinggalan... tapi saya selalu membawa kantong-kantong plastik cadangan
dan kebetulan ada thrashbag bekas
acara GRGG dulu saya bawa juga * thx om Ali Arifin atas pemberian plastiknya
ini. Jadilah itu sebagai pembungkus tankbag.
Setelah
meluncur kembali saya coba pacu sekencang mungkin karena mendung semakin tebal.
Jalanan benar-benar lurus di bagian ini tapi ada juga tikungan melebar. Setelah
melewati sebuah tikungan, jalan berlubang muncul dari persembunyianya dibalik
tikungan, tak ayal masuklah ban matik yang kecil itu sepenuhnya kedalam lobang.
Meski hanya beberapa sentimeter saja dalamnya namun cukup membuat guncangan
keras. Gagang spion kanan yang terbuat dari plastik sampai patah sendiri karena
guncangan itu. Berhenti untuk memungut patahan spion yang cukup mahal karena
berkaca cembung seperti spion aslinya. Semoga bisa diperbaiki nanti.
Trauma
dengan lobang, kecepatan motor saya kurangi terutama di tikungan yang kalo
tidak salah ingat hanya tinggal 3 buah lagi dari SPBU Way Jambu hingga Biha
sejauh l.k 12 km. Setelah Biha, perjalanan memasuki Kawasan Wisata Selancar
Tanjung Setia. Disini biasanya banyak peselancar mancanegara. Karena menjelang
senja dan gerimis besar tak terlihat para bule
ini seliweran. Satu – dua kilometer kemudian gerimis mengecil hingga berhenti sama
sekali. Dan jalan rusak, dikelupas karena sedang diperbaiki diantara Biha dan
Krui memperlambat laju.
Baru saat
Maghrib tiba di SPBU Krui 2, pom bensin baru yang terletak sebelum memasuki
Krui kota arah dari KotaAgung. Tepatnya di pekon Lintik, disini juga terdapat
minimart namun karena menyatu dengan SPBU membuat tak bisa melaksanakan
kegiatan yang selalu saya lakukan saat istirahat, saya lanjutkan perjalanan
memasuki Krui kota. Alih-alih beristirahat di minimart, saya pilih rumah makan
Awak Bana setelah melewati pasar Krui. Meski di Krui banyak keluarga dari istri
saya putuskan untuk tidak singgah agar tiba di Merpas sebelum tengah malam.
Karena coba-coba singgah akan berbuah dipaksa menginap.
Selesailah
etape ketiga di RM Awak Bana yang meski bergenre minang ternyata menerapkan
sistem layanan sendiri, self service atau ambil sendiri makananmu. Baru saja
duduk menghadap makanan, “byur” hujan besar turun sekaligus. Alamat
berlama-lama istirahat disini.
Etape 4, Krui – Merpas 82km; Jam 20.10 –
22.35
Jam 20.05
hujan baru reda. Segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lama sudah kembali
menggilas aspal diatas kedua roda. Perlengkapan penahan hujan tetap dikenakan.
Selain terlihat mendung masih menggayut tebal, malam basah membuat dingin lebih
terasa. Lutut sudah mulai terasa sakit linu akibat sempat berbasah-basah tadi.
Paksakan saja untuk terus karena tinggal beberapa puluh kilometer tiba di
tempat istirahat sekaligus tujuan sekunder.
Jalan antara
Krui hingga Bintuhan sebenarnya amatlah cantik pemandanganya apabila perjalanan
dilakukan saat hari terang. Sebetulnya saat itu bulan sudah bersinar hampir
membulat, andai tidak mendung pasti sangat indah memandang samudra bermandikan
cahaya bulan. Tebing-tebing yang bahkan ada yang lebih dari 90 derajat di sisi
Timur jalan dan jurang berdasar samudra di sisi Barat. Ada sebuah tebing yang
yang terbentuk dari 1 buah batu utuh seakan memayungi jalan dibawahnya, itu
sebabnya saya katakan lebih dari 90 derajat. Batu tihang juga menghias
pemandangan samudra dari Jalinbar di seksi ini. Rasanya tak cukup sepuluh
halaman untuk menceritakan keindahan di Jalinbar antara Krui – Bintuhan.
Tapi karena
saat ini saya jalan malam tak banyak yang bisa ditulis. Jalanan sebagian masih
rusak sedang diperbaiki. Banyak lubang dan jika menggunakan sedan dipastikan
akan berkali-kali tersangkut batu jalan yang menyembul. Jalan rusak ini tak
seluruhnya tapi kerap timbul setelah beberapa ratus meter.
Dan tibalah
di minimart berantai yang paling ujung di etape ini, di kecamatan Pugung. Saya sempatkan
berbelanja berbagai kebutuhan seperti alat cukur kumis, obat pegel dan snack.
Sekalian saya buka jas hujan karena nampak cuaca menjadi cerah disini. Tidak jauh dari titik ini, jalan akan mendaki
menuju dataran Lemong. Jalan dibuat memutar karena pihak kehutanan ingin
melestarikan hutan pantai di wilayah itu.
Jalan menuju
Lemong lumayan curam, mirip dengan Sedayu tapi tak terlalu panjang. Setelah
Lemong, jalan akan kembali melintasi hutan TNBBS. Wilayah Pesisir Barat memang
dikelilingi Taman Nasional yang cukup panjang di sisi Barat Sumatera ini.
Artinya untuk memasuki PesBar melalui jalan darat dari manapun maka wajib
melintasi hutan. Dari KotaAgung sudah saya sebutkan tadi. Dari Liwa juga
melewati TNBBS sektor Liwa dan dari arah Bengkulu adalah hutan TNBBS seksi
Lemong/sektor Pugung.
Kengerian
pun muncul saat menjelang memasuki kawasan TNBBS. Gelap dan jalan sepi. Lewat
terakhir disini adalah musim mudik kemaren yang lumayan ramai. Saya berhenti
sebentar untuk memasang senter di dudukan yang telah disiapkan di spion. Alat
bantu penerangan penting karena lampu utama nexie menempel di badan motor
sehingga tidak bisa menengok kiri kanan. Padahal di hutan bagian ini masih
banyak hewan liar. Penampakan beruk, si monyet besar sudah biasa disini. Dan
beruk ini juga lumayan menyulitkan jika menyerang kita, giginya besar dan tajam
diketahui pula kadang menyerang manusia secara keroyokan. Si tutul juga
dilaporkan beberapa bulan sebelumnya terlihat tak jauh dari Jalinbar.
Tapi dengan
keyakinan penuh gas kembali dipelintir maksimal. Tujuan hanya tinggal 28
kilometer lagi. Sepanjang 24 kilometer melintas hutan itu hanya 2 kali ketemu
truk yang mudah saja disalip. Dan hanya papasan dengan sebuah mobil minibus.
Setelah turun dan jalan kembali disisi pantai ternyata hujan lumayan deras
menanti. Tanggung untuk mengunakan jas hujan karena tinggal sedikit lagi, toh
celana hujan respiro masih dikenakan.
Akhirnya
sampai juga di Pantai Laguna Samudra. Dan segera meminta kunci pondok inap.
Selesai lah etape ke empat dan perjalanan hari itu.
Istirahat di Merpas 2 hari 3 malam
Akhirnya
perjalanan Hari ke 1 selesai. Dan bukan berarti saya bisa istirahat penuh
karena tujuan sekunder ini adalah bekerja. Tanggal 5 Oktober 2014 ini adalah
Hari Raya Kurban atau Iedul Adha. Saat orang banyak libur, sementara kami yang
bekerja di bidang pariwisata justru bekerja lebih keras. Semalam, begitu tiba
di Pantai Laguna Samudra (PLS) saya langsung mandi meski dingin karena angin
lumayan kuat malam itu. Tapi rasa tebal dimuka dan lepek di badan bakal
menyulitkan untuk tertidur dengan lelap. Sebelum tengah malam saya sudah
terlelap penuh.
Kali ini
saya terbangun tepat 5 jam setelah lelap, jam 4.45. Udara dingin merasuk
kedalam pondok kayu membuat menggigil. Meski di pantai, udara di PLS terhitung
dingin apalagi subuh begini, angin dari pegunungan Bukit Barisan yang hanya
beberapa kilometer saja dari sini, membuat suhu seperti di pegunungan saja.
Siang hari pun pantai ini adem sekali karena pepohonan yang demikian rimbun
sebagai Taman Rekreasi yang bertemakan hutan pantai.
Saya
sempatkan melaksanakan ritual religi. Kemudian saya lanjutkan dengan merendam
pakaian kemarin. Sejurus kemudian saya telah berkeliling memeriksa tiap sudut
PLS yang pengelolaannya saya pegang hingga tahun 2020 ini. Hitung-hitung
olahraga juga karena lumayan melelahkan mengelilingi hutan pantai seluas lebih
kurang 8 hektar ini. Menjelang pukul 7 saya kembali ke arah Pos Pelayanan atau
Kantor Pengelola. Pemegang kendali usaha di lokasi, Udo Zuryanto tampak bersiap
ke Mesjid utk Shalat Ied. Memang beliau adalah suami dari kakak istri yang
tertua tapi usianya sama dengan saya, karena penghormatan saya tetap
memanggilnya dengan “Udo”.
Kemudian
sehari itu dihabiskan dengan pemeriksaan administrasi dan pembicaraan mengenai
segala sesuatu tentang pengelolaan PLS. Sambil juga kami memperhatikan
penjualan tiket masuk dan melayani pengunjung memberikan informasi dlsb. Hingga
malam kembali datang.
Pagi hari
kedua di PLS juga dihabiskan dengan pekerjaan. Saat jam makan siang saya sempatkan
keluar mencari lokasi foto menarik, ada sebuah jalan yang baru saja diaspal
hotmix keatas gunung dan saya mau coba kesana. Jaraknya tak terlau jauh,
sekitar 8 kilometer kemudian mendaki sekitar 5 kilometer. Sebenarnya jalan
mendaki masih panjang tapi aspal hotmix hanya sampai 5 km. Kebetulan pula
sebelum jalan hotmix habis, saya telah menemukan spot yang memang sudah saya
incar dengan bantuan google map. Benar saja pemandangan disitu sesuai
perkiraan, indah dan dapat memandang samudra sehingga memungkinkan mengambil
foto mentari terbenam di lautan dari
ketinggian. Saya putuskan untuk sampai disitu saja, penyebab lain karena nexie
di jalan rusak sangat tidak nyaman dan kuatir ban depan yang masih bawaan bocor
dihantam bebatuan.
Sekembali
dari peninjauan lokasi, saya lanjutkan rapat pembahasan rencana kerja sambil
makan. Enaknya jadi boss, bisa suka-suka hati :D . Sekitar jam 5 sore saya
persiapkan kamera dan berangkat ke lokasi tadi meski mendung tebal telah
menguasai langit. Berharap saja mendung bakal sedikit mengalah di ujung lautan.
Sayang sekali mendung tak mau mengalah sedikitpun, hingga lagi-lagi terpaksa
kecewa karena tak ada “mata dewa” yang bisa saya abadikan.
Sembari
menunggu matahari terbenam ada seseorang yang menghampiri karena heran melihat
ada orang memainkan kamera di hutan. Beberapa pelintas lain enggan menghampiri,
kecuali Jon Henri yang ternyata pemilik jip angkutan umum ke pegunungan. Tak
dinyana diatas sana ada beberapa desa lagi. Padahal sejauh 5 kilometer dilewati
dan sejauh mata memandang keatas tak nampak rumah kecuali gubuk buat istirahat
siang di kebun yang kosong menjelang maghrib begini. Jon Henri adalah pemukim
yang berasal dari Pulau Beringin, sekitar 1 hari berjalan kaki menuju kampung
asalnya, itu yang dia lakukan dengan ayahnya beberapa belas tahun silam ketika
pindah ke wilayah Bengkulu.
Akhirnya
setelah maghrib terlewat dan tak mendapat buruan, saya putuskan balik ke PLS.
Istirahat cukup malam itu. Meski subuh sudah bangun, saya tidak bersegera
bersiap melanjutkan perjalanan ke Pagaralam. Sengaja agak siang baru
direncanakan berangkat. Mensimulasikan seakan-akan saya baru sampai di Merpas
kemarin sore/malam. Pagi-pagi saya sempatkan bermain air di laut, berenang di
laguna PLS, tepian samudra yang terlindungi oleh “pagar” karang ditengahnya.
Ombak Samudra yang dahsyat tidak bisa menembus pagar karang itu, berenang
menjadi sangat mengasyikan disini.
Jam sudah
menunjukan pukul 8.30 dan saya bilas air tawar. Lanjut berbenah mempersiapkan
keberangkatan. Hingga akhirnya jam 10.15 saya sudah siap meluncur. Pamitan
sambil mengisi dompet, ambil uang SHU bagian saya. Perjalanan lanjut jam 10.25.
HARI KEDUA
Etape 5, Merpas – Manna 104km; Jam 10.25 –
12.20
Sebagaimana
saya sebutkan sebelumnya, sengaja berangkat agak siang demi mensimulasikan
bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan,
berenang menikmati laut dulu dlsb. Persis sebagai pejalan yang belum pernah
singgah di PLS lain, sebagaimana pembaca sekalian nantinya jika menyempatkan
mengambil jalur-jalur yang saya sampaikan disini.
Saya sudah
cukup hapal juga bahwa jalan menuju Manna dari PLS akan mulus dan cukup lebar.
Tikungan juga terhitung lebar-lebar meski banyak juga yang cukup tajam,
biasanya menjelang sungai dan jembatan serta sesudahnya. Ini disebabkan sungai
yang terletak di bawah lembah, sehingga saat mendekati sungai, jalanan juga
menuruni lembah yang biasanya cukup curam.
Tidak jauh
dari PLS Merpas ada sebuah SPBU yang baru, hampir seusia dengan SPBU Lintik di
Krui. Saya yakin disana akan menjual pertamax. Meski fuelmeter telah tandas
kebawah, saya paksakan sampai di SPBU tersebut. Setelah sekitar 15 km dari
gerbang PLS sampailah di SPBU Maje (Bintuhan 2). Saya isikan nexie, pertamax senilai
Rp.42.000 dengan harga perliter sama, Rp.12.500,-.
Perjalanan
di jalan yang banyak lurus sebetulnya membosankan tapi karena pemandangan hijau
kadang dipadu birunya laut, ditingkahi rumah-rumah panggung kayu yang
kecoklatan membuat pikiran segar. Tak terlalu bosan juga.
Disekitar
Merpas hingga Bintuhan banyak ditemui tumpukan pasir hitam, itu adalah hasil
tambang setempat berupa pasir besi. Diduga pasir besi ini diangkat oleh tsunami
jaman purba ke daratan mengingat tidak adanya sumber besi di pegunungan
diatasnya. Memang pesisir Barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung adalah ‘tsunami
sites’. Beberapa ratus tahun sekali akan dilanda tsunami, di wilayah Bengkulu
terakhir tercatat tahun 2007 tapi tak terlalu besar dan 1830an setinggi 6
meter.
Jalan antara
Merpas hingga Manna senantiasa mulus sejak belasan tahun lalu. Tapi hal ini lebih
disebabkan tak ada truk bermuatan berlebih melintas disini. Bukan karena sikap
tegas petugas jembatan timbang namun akibat penghalang pada jalan saat
selangkah memasuki Lampung. Penghalang itu berupa tanjakan curam Tebing Manulla
yang tak kalah mengerikan dibanding Sedayu dan Tebing Mayit. Entah sudah berapa
puluh truk yang tak kuat menanjak hingga merosot mundur dan masuk jurang yang
menanti baik disisi kanan maupun kiri. Bagi saya yang arah ke Bengkulu, Tebing
Manulla adalah turunan, dan saya lintasi di hari pertama malam hari. Tapi kini
sedang dibangun jalan alternatif agar tak lagi perlu melintasi jalan maut
tersebut.
*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.
*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.
Tanpa terasa
Bintuhan terlewat, Pantai Hili menyambut, keunikan pantai ini: dipenuhi dengan
hamparan batu sebesar kepala bayi. Jika terpikir oleh-oleh untuk istri menguleg
sambal di rumah, silahkan singgah dan pilih sendiri batunya. Kemudian terlintas
pertigaan Muara Sahung, jika masuk ke jalan Muara Sahung akan tembus hingga
Pulau Beringin terus ke Banding Agung
ditepi Ranau bagian SumSel, tapi masih harus menempuh jalan tanah. Yang menurut
Jon Henri kemarin tinggal sekitar 5-6 km.
Kemudian
wilayah utara Kaur yang biasa disebut Padang Guci. Disini ada sebuah jembatan
panjang dan jika sempat berhenti ditengah kemudian menoleh ke kiri (Barat) maka
terlihat sebuah air terjun kecil yang jatuh langsung di lubuk dari sungai atau
aiie (air) dalam bahasa setempat.
Tak jauh dari
jembatan, terlewatilah perbatasan kabupaten antara Kaur dan Bengkulu Selatan.
Kemudian lagi-lagi ditemukan pencabangan jalan yang membingungkan karena sama
besar kedua jalan lanjutan. Apalagi kedua cabang jalan didepan membentuk sebuah
jalan lurus, seperti jika kita keluar dari jalan kecil masuk jalan yang lebih
besar. Belok kiri atau kearah Barat adalah jalan yang semustinya menuju Manna.
Dan gapura kota Manna pun terlampaui.
Di depan ada
sebuah cabang jalan lagi, dari papan petunjuk tertulis ke kiri adalah menuju
Pantai Pasar Bawah. Jika masih ada waktu, bagus juga melewati jalan lama
tersebut, jalan itu melewati pantai terus ke kota Manna. Tapi saya pilih jalan
utama. Akhirnya sampai di Simpang Rukis, kota Manna, persimpangan ramai
menjelang pusat kota Manna. Karena di propinsi Bengkulu tidak ada jaringan
minimart berantai, saya coba berhenti di minimart atau warung semi swalayan
yang banyak terdapat sejak dari Merpas, repotnya hanya kebanyakan tidak
sekomplit minimart berantai. Tapi karena saya di Manna, kota yang lumayan besar
saya perkirakan bakal komplit. Benar saja, yang saya cari tidak ada, adanya
jenis lain, semerk dan sama-sama hitam bungkusnya. Yang saya cari hitam
kombinasi biru, adanya hitam kombinasi hijau. Terpaksalah beli yang ada saja.
Tak jauh
saya rencanakan makan siang sekaligus menamatkan etape 5 disitu. Sebuah rumah
makan bernama Riung Bandung yang dimiliki oleh orang sunda, tentu masakan sunda
tapi sudah dimodifikasi dengan lidah setempat, seperti biasa ditambah cabai dan
merica bumbu-bumbunya. Ternyata RM RiungBandung tutup, entah karena sudah
bangkrut yang tidak mungkin karena biasanya sangat ramai disitu pada jam makan
siang, kemungkinan besar karena mudik Lebaran Haji. Akhirnya saya putuskan
untuk makan tak jauh disebelahnya, terus terang karena saya tertarik dengan sub
judul warung tersebut “Masakan Jemau Kitau”, wajib dicoba nih... Jadilah saya
akhiri etape ini di RM Panorama, masakan khas Manna.
Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam
103km; Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Begitu
memasuki warung makan langsung saya ke bagian display makanan. Hmmm... mirip
sekali masakannya dengan Minang, serba bersantan. Saya lihat ada cincang dua
macam, satu berbumbu khas minang santan dan merah sementara yang satu lagi
seperti opor. Kemudian ada ikan nila goreng yang disebut sebagai mujair,
tadinya saya berharap ada ikan laut mengingat Manna adalah kota di tepi
Samudra. Tapi mungkin si pewarung dari sisi daratan atas Manna yang dengan aiie
Manna sebesar itu pastinya ikan air tawar juga menjadi favorit disini.
Selesai
makan, saya sempatkan memotret warung dari jalan. Baru kemudian melanjutkan
perjalanan etape 6. Jam 13 kurang sedikit saat meninggalkan warung. Tapi saya
putar-putar dulu sang kota kenangan. Ada sedikit romansa “sephia” membekas di
kota ini *bukan untuk ditiru, bukan pula saya mencontohkan :D
Walaupun
meteran bensin si nexie masih lumayan, saya mencari pertamax dulu atau jika tak
ada cukuplah premium. Mengingat dari Manna hingga Pagaralam 80 km tak bakal ada
SPBU. Menjelang simpang Rukis tadi, sebetulnya ada SPBU dan menjual pertamax
juga, masih di tepi Jalinbar tapi saya lihat sepi, tak ada pelayanan serta
pompa premium dan solarnya ditutup kain pembungkus hanya pompa pertamax yang
dibuka. SPBU lain di Manna ini bukan di tepi jalan menuju Pagaralam tapi agak
masuk kedalam kota. Saya Isi bensin Pertamax Rp 33.000 disini, jarak dari SPBU
Maje tadi hampir 100km.
Dan jalanan
keluar Manna arah Pagaralam mulai mendaki, sedikit demi sedikit pendakian makin
terasa. Hingga melewati bagian dari kecamatan Pino. Saya jalan tidak terlalu
cepat disini karena ingin menikmati pemandangan dan kehidupan sehari-hari
disitu. Hanya 1 kali belasan tahun lalu saya melalui jalan ini, itupun dengan
membetot gas kuat-kuat karena sudah terhambat semalaman dan memutar 200an
kilometer akibat jalan di Krui terputus. Saya perhatikan apa saja yang ada di
tepi jalan, terutama warung, bengkel ataupun tambal ban. Saya rekam di kepala
sehingga jika suatu waktu lewat lagi dan terjadi masalah bisa diantisipasi. Tak
lupa menikmati pemandangan dan memperhatikan sungai/aiie Manna, memperhatikan
titik pemancingan.
Ternyata
banyak juga rumah menyerupai villa dengan kolam ikan sepenuh halaman, seakan
rumah itu terapung di kolam. Tiba-tiba saya melihat sedikit keanehan, sebuah
bangunan gereja baru selesai dibuat. Apakah banyak pendatang dari jawa disini,
pikir saya. Setahu saya semua adalah penduduk asli, pendatang dari Jawa atau
Jawa Lampung hanya banyak di wilayah Merpas dan di sebelah Utara kota Bengkulu
serta disekitar Curup. Mengapa gereja saya asosiasikan dengan orang Jawa,
karena di wilayah Lampung gereja hanya terdapat di pemukiman Jawa dan penduduk
asli tidak ada yang beragama selain Islam. Sementara untuk mengasosiasikan
dengan orang batak jelas tidak mungkin karena sedikit sekali saya menemukan
tambal ban sepanjang jalan itu *hehehe kalimat terakhir ini hanya guyon,
becanda, jangan marah ya lae...
Sambil masih
mengira-ngira ternyata perjalanan sudah cukup jauh dan menjelang penghabisan
pemukiman di tepi jalan Manna-Pagaralam di wilayah Bengkulu. Ketika keluar
sebuah tikungan tak jauh dari gereja tersebut, saya terhenyak karena sebuah air
terjun lumayan besar terlihat di tepi sebuah jembatan. Cukup ramai
pengunjungnya di hari yang panas itu. Jejeran warung juga menghias sisi lain
dari jembatan. Segera saya hentikan nexie di warung pertama.
Saya memang
ingin minum kopi, kopi asli setempat, karena ketinggian di daerah itu sudah
cukup untuk tanaman kopi, beberapa kali saya melintasi kebun kopi sebelumnya.
Semakin kabita untuk menenggak
minuman penambah daya jelajah itu. Setelah pesan kopi, langsung saja mencabut
senjata, Fujifilm HSX25EXR kaliber 58mm. Dan terabadikanlah aiie Luguran itu, demikian
namanya disebut penduduk Manna dan sekitarnya. Dan memang bukan air jatuh 90
derajat, hanya berupa turunan air yang sangat tajam.
Saat meminum
kopi, saya sempatkan mengobrol. Tak lama kemudian ada serombongan anak muda
menggunakan mobil pick up mendatangi air terjun membawa drum-drum dan ember,
hendak mengambil air. Saya tanyakan pada pewarung mengapa dan darimana mereka,
jawabannya adalah karena mereka sedang hajatan sehingga sumur yang menyusut
menjadi kurang airnya. Mereka tinggal disekitar gereja, lanjut keterangan
pewarung. Kebetulan, saya tanyakan soal gereja, ternyata memang ada penduduk
asli setempat yang menganut Protestan sejak akhir 1965 terutama. Saya tahu
bahwa sedikit lagi didepan, di wilayah Tanjungsakti, Lahat, SumSel banyak juga
penduduk asli yang menganut agama selain Islam. Pewarung melanjutkan keterangan
bahwa jika di Tanjungsakti memang banyak penganut Katholik sejak dulu kala,
jaman Belanda.
Setelah kopi
tandas dan obrolan juga komplit dari keterangan mengenai diri saya, motor
Suzuki nex yang baru pertama mereka lihat dan saya dapatkan keterangan mengenai
aiie Manna, ikan yang bisa dipancing dlsb. Maka saya pun pamit, melanjutkan
perjalanan. Cukup jauh juga sisi jalan kosong tak ada rumah penduduk, kebun dan
hutan saja mengisi pemandangan. Bahkan ketika melintasi perbatasan Bengkulu dan
Sumatera Selatan tak ada gapura yang menandakan. Hanya sebuah patung burung
Garuda yang lebih diasosiasikan sebagai batas wilayah teritorial militer antar
KOREM.
Saat mata
menyapu pemandangan saya melihat dua orang pemancing sedang melemparkan kail
berumpan singkong rebus. Sejenak saya singgah, mereka memancing di sebuah
lubuk, tikungan sungai yang biasanya cukup dalam. Mereka duduk diatas sebuah
pondasi jembatan gantung yang sedang dibuat. Menurut keterangan pemancing ini,
mereka mengincar ikan Hampala atau Besemah. Sama seperti keterangan yang saya
dapat di warung kopi aiie Luguran tadi.
Tak terhitung
jumlahnya jembatan gantung yang dibuat masing-masing ini. Setiap pemilik kebun
atau rumah terpaksa membuat jembatan sendiri, jembatan pribadi untuk menuju
jalan raya sebagai sarana transportasi cepat. Mengingat satu-satunya jembatan
yang menyeberangi sungai Manna berjarak beberapa kilometer hingga belasan
kilometer dari kebun mereka padahal jalan raya ada didepan mata diseberang
sungai.
Ketiadaan
batas ini membuat saya mengira pemancing tadi masih berada di wilayah Bengkulu
dan ternyata saya salah duga. Mungkin karena dahulu wilayah Tanjungsakti sempat
masuk wilayah Bengkulu sehingga tak ada batas berupa gapura. Hanya saja akibat
jalan menuju Manna senantiasa terputus longsor akhirnya penduduk meminta untuk
kembali menjadi bagian dari Sumatera Selatan. Hingga kini TanjungSakti menjadi
kecamatan di kabupaten Lahat.
Sebelumnya
persepsi saya perbatasan propinsi adalah di Pulautimun sebuah desa di
Tanjungsakti, dimana jalanan menyeberangi sungai Manna, sebuah batas alam.
Setelah senantiasa di sisi kanan jalan, kini sungai berada di sisi kiri. Tetap
mengikuti aliran aiie Manna hanya berpindah sisi saja.
Jalanan
terus saja mendaki tak henti. Melewati pedesaan Tanjungsakti yang berumah
panggung tinggi dari kayu. Sungguh asri nuansa disini. Dan toleransi kehidupan
beragama juga tinggi mengingat ada dua agama yang menjadi mayoritas disini. Sejak
dari aiie Luguran hingga Pulautimun tak ada rumah penduduk di sisi jalan namun
sejak jembatan besar tadi mulai terlihat perkampungan lagi. Sembari memacu
motor saya memperhatikan jika ada gereja tua untuk difoto. Tapi mungkin terlalu
cepat memacu, tak nampak sebuah gereja pun.
Setelah
melewati pertigaan yang nampaknya mengarah ke kecamatan pemekaran dari
Tanjungsakti, sisi jalan kembali kosong dari rumah. Tikungan mulai cetar
membahana kembali dan tak jauh tanda-tanda kota mulai nampak, sisi jalan
berpemandangan indah mulai dipenuhi anak-anak muda pada sore-sore yang dingin
itu. Motor-motor mereka dijejerkan rapih dan nampak bersenda gurau seperti
layaknya orang menjelang dewasa.
Tak saya
sangka, ternyata mereka juga sangat ramah. Menawari saya untuk singgah
bergabung dengan mereka. “Sini bang, minum dulu” sembari mengangkat botol minuman
ringan. Saya jawab dengan “terima kasih, takut kemalaman”. Jam sudah menunjukan
pukul 16 lewat banyak dan saya tidak pasti berapa kilometer lagi harus
ditempuh. Batas kota saya mahfum sudah dekat tapi tujuan akhir etape ini adalah
tugu Rimau dengan jalan berliku mendaki hingga 1900 meter diatas permukaan laut
atau naik 1000 meter lebih dari ketinggian rata-rata kota Pagarlam di 850m dpl.
Jalan menuju tugu Rimau juga tak saya ketahui apakah sudah beraspal atau belum.
Jika belum kemungkinan bisa 2 jam melaluinya dengan nexie yang terpaksa
dilambatkan karena bantingan suspensi sungguh kurang nyaman.
Setelah
batas kota jalanan kembali menurun lurus panjang-panjang. Tak terlihat jelas
papan petunjuk jalan sehingga sedikit terlewat sebuah pertigaan besar mengarah
ke Gunung Gare, kompleks perkantoran pemkot yang dibangun sedikit diluar kota,
diatas gunung. Dan saya balik arah untuk memasuki persimpangan yang mendaki tadi.
Menurut Googlemap jalan terdekat ke tugu Rimau melalui Villa Gunung Gare dan
artinya tidak perlu memasuki pusat kota terlebih dahulu jika dari arah Manna.
Sesampai di
depan Villa dan perkantoran pemkot saya cek koordinat dengan blackberry OS 7,
GPSTools nama aplikasinya. Ternyata ketinggian kompleks perkantoran ini sekitar
1000 m dpl. Pandai juga orang Pagaralam mengirit listrik, praktis kantor-kantor
disitu tak perlu AC. Karena saya tahu keramahan dari sapaan anak-anak muda tadi,
saya beranikan untuk bertanya pada gerombolan pemuda yang lagi nyore disitu. Saya tanyakan mengenai
arah dan kondisi jalan menuju tugu Rimau. Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat
banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok
pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas
terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi,
sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak
nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan
berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak
terlalu curam.
Sempat
berhenti juga mengambil gambar indahnya pemandangan. Tiada kata selain,
Subhanallah indahnya ciptaanMu yang maha Agung. Meski kabut tipis menghalangi
pengambilan gambar oleh kamera prosumer saya, mata ini sungguh dimanjakan.
Padahal pemandangan ijo royo-royo
begini bukan hal aneh, bahkan sebagai penduduk pedesaan di kaki Gunung Rajabasa,
tiap hari saya lihat disekitar rumah juga hijau raya. Apalagi bagi orang kota
dataran rendah, pasti senang sekali melihat alam seperti ini. Mirip di Puncak,
Jabar beberapa puluh tahun lampau.
Akhirnya
tugu Rimau dicapai jam 17.51, karena letaknya yang lebih di Barat, hari masih
cukup terang disini. Selesailah etape ini. Tinggal menunggu malam dan mencoba
mengambil gambar Pagaralam dari ketinggian diwaktu gelap. Saya tahu bahwa nanti
bulan akan bersinar tampak membulat karena hari itu sudah mendekati pertengahan
kalender bulan.
Istirahat, Satu Malam di Pagaralam
Kemungkinan
waktu maghrib disitu adalah sekitar jam 18.30 WIB, sembari menunggu saya pesan
kopi sachet-an. Tadi sore sudah menenggak kopi kental sehingga saya tak berani
menambah kopi khas daerah pegunungan Sumatera lagi. Kuatir hipertensi menjelang
dan stroke yang sempat saya alami beberapa tahun sebelum ini bakal menghantui
perjalanan. Kemarin di Merpas sempat merasakan pening akibat menyantap sop
kambing hasil pembagian kurban, berhasil saya redam dengan meminum habbatussauda
kapsulan yang memang saya siapkan dari rumah. Seandainya tak juga hilang rasa
pening; akan saya telan juga simvastatin dan captopril yang juga siap di tas
pinggang. Alhamdulillah dengan habbatussauda sudah cukup.
Mengenai
keindahan alam di Pagaralam, lihat sendiri deh, capek tangan mengetik. Tak akan cukup sepuluh halaman untuk
mendeskripsikan keindahan Pagaralam dengan gunung Dempo-nya. Kamera secanggih
apapun dengan keahlian memotret luar biasa juga tak mampu memberikan gambaran
menyeluruh, apalagi saya yang newbie
dibidang fotografi digital.
Mengenai
persenjataan, kamera prosumer saya anggap cukup mumpuni untuk sekedar mengabadikan
dan menambah aksen fotografi. Apalagi jika hanya menggunakan sepeda motor,
bakal direpotkan membawa DSLR murni atau mirrorless dengan berbagai lensanya,
ditambah kekuatiran akan terjadi sesuatu jika jatuh karena harga lensa ada yang
jauh lebih mahal dari kameranya.
Kecuali anda
adalah fotografer profesional maka prosumer sudah lebih dari cukup. Bahkan DSLR
antik Canon 450D yang sempat dimiliki sudah saya jual. Saya pilih Fuji HSX
series karena diujung lensa tetap-nya masih bisa dipasangkan filter berukuran
diameter 58mm, bisa CPL atau ND dlsb. Tak ada prosumer lain yang bisa seperti
ini, aksen fotografi bisa dikreasikan dengan kamera tak terlalu mahal ini. Saya
pilih tipe terendah karena menggunakan baterai AA yang mudah ditemukan jikalau
lupa men-charge eneloop X. Sayangnya tak bisa menyimpan gambar dalam format RAW
namun tak menjadi masalah mengingat saya juga tak pandai menggunakan software photoshop tetapi di tipe atas
Fuji HSX bisa merekam dalam RAW.
Setelah
maghrib menyelimuti kawasan tugu Rimau di ketinggian gunung Dempo, suhu pun
turun terus dan penjaga serta para pedagang disitu hendak menutup usaha mereka.
Malam memang tak ada kegiatan disitu, bisa saja menginap di Mushalla asal kita
bersih dan menghormati rumah Allah itu. Selesai shalat saya menuruni gunung
hingga ketinggian cukup guna mengambil gambar lampu-lampu kota. Dari ketinggian
dan jarak yang jauh, lampu itu terlihat buram disebabkan kabut tipis yang entah
gejala alam musim kemarau atau kabut asap kiriman dari dataran rendah, yang pasti
Palembang disaat yang sama sedang diselimuti kabut asap tebal menebal efek dari
kebakaran hutan.
Selesai
mengambil foto, saya hampiri sebuah villa yang tak jauh dari lokasi memotret
tadi. Tanya-tanya harga mencari info yang mungkin berguna suatu saat kelak.
Villa berbentuk sebuah kamar saja dihargai Rp.150ribu permalam dan itu yang
termurah, di kompleks villa sebelahnya Rp.120ribu namun sedang penuh dan ada
acara. Saya coba tawar Rp.100ribu karena saat itu bukan penghujung minggu dan
sepi dan tidak diperbolehkan. Sebenarnya saya tidak berminat bermalam di villa
karena saya belum lagi melihat kota Pagaralam. Belum mencari kuliner setempat
sebagai sisipan kegiatan.
Akhirnya
memasuki pusat kota Pagaralam, masih cukup ramai di malam yang masih sangat
muda itu. Putar-putar sempat tersasar karena ada jembatan yang ditutup sedang
diperbaiki, diputuskan mengikuti jalan utama saja. Melewati pasar utama
kemudian jalanan mengecil, dari dua lajur dengan median taman menjadi satu
jalur saja. Kebetulan ada sebuah minimart diujung jalan itu, seketika saya
arahkan nexie ke parkiran. Persis disebelahnya ada sebuah rumah makan, RM Dua
Putra. Meski saya mencari sop atau makanan hangat tapi tak ada salahnya mencoba
makan disitu karena saya lihat cukup bersih dan rapih.
Dari keterangan
ibu rumah makan yang ternyata dari Jawa, jawa Lampung tapi, lokasi disekitar
itu disebut Simpang Petani atau juga alun-alun karena diseberangnya memang ada
sebentuk taman besar seperti alun-alun hanya saja di pemukiman di Sumatera
sebenarnya tidak dikenal istilah alun-alun. Pagaralam banyak dihuni pemukim
asal Jawa Tengah dan Timur bahkan di pegunungan dan perkebunan teh lebih dari
90 persen orang Jawa. Pantas dari tadi di Rimau dan di villa semua mengaku
orang Jawa.
Selesai
makan baru saya berbelanja ke minimart yang kasirnya seorang gadis cantik
bernama Asti. *inilah mengapa di awal sekali saya sebutkan menulis adalah
pekerjaan yang lebih mengerikan dibanding mengendarai motor. Kalau sampai
dibaca istri... lebih parah akibatnya dibanding terserempet bus ALS. Dan saya
tak berani menuliskan lebih lanjut tentang Asti ini...
Sesuai
petunjuk Asti, saya menuju hotel Mirasa atau hotel satunya lagi tak jauh dari
Mirasa. Tak jadi ke hotel Telaga Biru yang mungkin lebih murah tapi lokasinya
di tengah pasar dan kemungkinan kamarnya kecil-kecil. Untuk melepas kepenatan
diatas jok nexie yang kecil, saya perlu tempat yang cukup nyaman. Kedua hotel
ini terletak di arah menuju Kepahyang atau lurus saja dari Simpang Petani itu.
Karena Mirasa yang pertama kali saya lewati dan terlihat cukup asri, seperti
bungalow maka saya putuskan untuk menginap disitu saja.
Mandi adalah
kegiatan yang pertama saya lakukan di hotel, tak peduli betapa dinginnya air
disitu. Kemudian beristirahat dan mencoba membuka facebook di bb. Sepanjang
jalan dari Merpas hingga tugu Rimau sulit sekali membuka halaman fb karena
minim sinyal 3G dan saya hanya berlangganan paket bb dasar saja. Tapi
notifikasinya terus masuk. Ada sebuah notifikasi dari rekan pengelola kegiatan
wisata arung jeram di Pagaralam dan dari tadi saya penasaran untuk melihatnya.
Oh oh ternyata dia mengundang di kompleks villa di sebelah tempat saya mencari
info. Villa yang penuh dan ada acara tadi. Karena badan sudah cukup lelah,
serta belum hapal jalan disini, akibat berputar-putar tersesat, saya hanya
ingat jalan menuju villa itu cukup jauh memutar ke simpang Manna dulu.
Keesokan
harinya pagi-pagi sekali saya bersiap melanjutkan perjalanan. Etape berikut
adalah etape panjang dan perjalanan per hari juga sangat panjang, melebihi bagian
perjalanan Hari Pertama. Sayangnya hotel Mirasa ternyata cukup pelit dengan
menyediakan sarapan terlalu sedikit porsinya buat pejalan (traveller) yang
menggunakan sepedamotor. Hanya setengah porsi nasi goreng dibanding hotel-hotel
lain, bahkan yang lebih murah tarifnya. Dan segelas plastik kopi encer.
Mungkin
sebaiknya justru tidak menyediakan sarapan sekalian. Tapi mengingat Mirasa juga
sebuah restoran, seharusnya mereka memberikan sarapan dengan ekstra baik agar
citra restorannya ikut terangkat, kemudian dilain waktu sang traveller akan
mencoba makan di restoran Mirasa atau merekomendasikan pada rekan atau
menuliskan dengan baik. *Untuk tulisan dalam versi bahasa Inggris yang akan
dikirimkan ke lonely planet, bagian ini akan saya tiadakan. Yang lebih menyedihkan adalah kopi yang
disediakan dalam gelas plastik, apakah gelas beling terlalu mahal di Pagaralam,
entahlah... Gelas plastik ketika dicuci dengan sabun colek akan menyimpan bau
sabun dan bagi penikmat kopi bau sabun itu sangat mengganggu.
Jam 8 pagi
saya telah bersiap melanjutkan perjalanan. Semua peralatan lenong telah naik
diatas motor. Dan lanjut jalan dengan tujuan pertama adalah menambah sarapan di
rumah makan diluar. Dan RM Dua Putra kembali menjadi pilihan karena inilah yang
pertama saya temukan. Sebetulnya ingin juga mencoba warung kecil penjual
sarapan seperti bubur ayam, lontong sayur atau nasi uduk jika ada. Hanya saja
karena ingin bersegera saya kembali makan di tempat semalam, rasanya cocok dan
murah tidak sebanding dengan tempatnya yang cukup mewah. Kebetulan saya juga
ingin membeli masker di minimart. Perjalanan hari itu akan melalui kota-kota
yang biasanya berdebu, bahkan jika tidak memintas jalan akan melalui jalur
perlintasan truk-truk batubara, sedetik saja berada di belakang truk batubara
maka dijamin semua bagian wajah menghitam hingga kedalam lobang hidung. *kasir
minimart pagi itu ternyata masih gadis cantik semalam.
Selesai
makan saya putuskan untuk kembali melihat-lihat kota. Kali ini tidak tersesat
karena hari terang membuat mudah menerka jalan. Saya menemukan sebuah Rumah
Bari di desa PagarJaya. Rumah ini merupakan bentuk rumah adat khas dataran
tinggi Pasemah serta paling asli menurut keterangan dari pemiliknya, bang
Yunus. Bentuk atapnya mirip rumah gonjong minang hanya gonjongnya lebih tegak
sedikit.
Dilanjut
menuju pabrik pengolahan teh milik PTPN 7. Kemudian mendaki memutar melewati
jalan semalam ketika turun dari Rimau. Dan tembus kembali di Gunung Gare.
Melirik jam, ternyata sudah cukup siang. Sikap tidak disiplin saya ini
berbahaya bagi perjalanan karena di etape 8 menanti sebuah jalur yang rawan
begal. Jika saja saya mengendarai motor yang lebih kencang atau dengan
rombongan lebih dari 3-4 orang tak akan menjadi masalah.
Segera saya
menuju SPBU di dekat simpang Manna, simpang ini disebut demikian karena salah
satu jalannya menuju kota Manna sekian puluh kilometer dibawah sana. Ternyata
pertamax disini habis diakibatkan premium sudah habis juga dari kemarin.
Sedikit menyesal seharusnya saya isi dari kemarin malam. Antrian kendaraan
mengular menunggu premium yang sedang dicurah. Tak mungkin menunggu, saya
lanjut saja Etape 7 dari SPBU itu tanpa mengisi, menurut petugasnya di depan
arah ke Lahat masih ada SPBU tidak terlalu jauh.
HARI KETIGA
Etape 7, Pagaralam – Baturaja 170 km; Jam
11.25 – 14.30 dan 15.30 – 16.55
Seharusnya
etape ini dibagi menjadi dua bagian; Pagaralam – Semende Darat Laut dan Semende
DL – Baturaja. Tapi karena saya tak tahu ada apa di Semende maka saya jadikan
satu saja. Sama sekali saya lupa sebagian besar apa yang ada disepanjang jalan
ini, lebih dari 10 tahun lalu pertama dan terakhir melalui jalan pintas
Pagaralam – Baturaja ini. Yang teringat hanyalah air terjun mendekati
penghujung jalan pintas, kemungkinan termasuk wilayah simpang Meo.
Saya sempatkan
berfoto di perbatasan kota Pagaralam arah Lahat yang juga tempat bersejarah
sebagai medan pertempuran antara pasukan republik dengan agresor Belanda.
Kontur alam disitu memang sangat cocok untuk menyergap pasukan agresor yang
jauh lebih baik persenjataannya. Kakek almarhum pernah ikut bertempur disitu
seperti diceritakan ayah.
Dan setelah
kecewa karena pertamax juga habis di SPBU Pagaralam yang kedua serta antrian
premium demikian panjang. Saya beli eceran Pertamini 2 liter Rp.16.000 dan
berharap cukup hingga tiba di Jalinsum (tengah) nanti. Dan tak lama saya
menemukan kembali jalan mirip di perbatasan kota tadi. Serta menemukan relief
penyambutan, nampaknya batas kota telah digeser hingga di jembatan dekat
persimpangan ke Baturaja.
Kemudian
tibalah di simpang Tebat (kalau tidak salah, CMIIW) dan saya berbelok ke kanan
memasuki jalan yang jauh lebih kecil dibanding jalan Pagaralam – Lahat. Ada
papan petunjuk bahwa jalan yang saya pilih adalah arah Baturaja. Dan terus saja
saya ikuti jalan yang masih berada di wilayah kabupaten Lahat. Ternyata ada
sebuah desa bernama Kota Agung disitu. Setelah melalui perkebunan tanpa
pemukiman beberapa kilometer tibalah di kecamatan Semende Darat Laut.
Sepertinya ada perubahan, seingat saya dulu hanya bernama Semendo dan kini ada
tambahan Darat Laut, mungkin ini kecamatan pemekaran.
Perjalanan
yang saya kira dekat saja, bisa tembus dalam 1 jam ke simpangMeo, ternyata
cukup jauh. Setelah memasuki ibukota kecamatan Semende saya lihat ada papan
petunjuk jalan mengarah kepada dua buah lagi kecamatan yang membawa nama
Semende, artinya ada 3 atau bahkan 4 kecamatan Semende kini, sebentar lagi jadi
kabupaten pasti.
Saya sengaja
melewati pasar Semende tanpa istirahat, dari perbatasan Pagaralam tadi hanya
berhenti untuk ambil beberapa foto saja tanpa minum apapun. Mungkin cukup lama
juga saya berhenti memotret, bahkan sempat memasuki kebun yang mirip dengan tebing
kraton yang sedang tren di Bandung, tepatnya di perbatasan kabupaten Lahat
dengan Muara Enim. Yang saya incar guna beristirahat adalah air terjun. Jam
sudah menunjukan pukul 13.45 di pasar Semende.
Ternyata
setelah menikung ratusan kali menempuh belasan kilometer dari pasar Semende, tak
jua sampai di penampakan air terjun yang saya lihat dulu, saat melirik ke fuel
meter ternyata merunduk ke E. Segera isikan 1 liter begitu menemukan sebuah
kios bensin. Ternyata kios itu juga sebuah warung makan dengan judul Ponorogo.
Saya coba melihat kedalam tapi tidak tertarik untuk makan disitu, suram apalagi
masih full perut ini setelah sarapan setengah porsi dan sarapan siang sebagai
tambahan. Ternyata bensin eceran disitu bernilai Rp.10.000 dengan bonus 4 buah
permen, uang 20ribuan dikembalikan 10ribu dengan 4 buah permen.
Setelah
beberapa kilometer kemudian nampak sebuah jurang tinggi yang jelas terlihat
dasarnya adalah sebuah lembah permai. Sekalian berisitirahat sejenak akibat
terlalu lelah menikung dengan gaya pembalap road
race. Entah berapa ratus bahkan ribu tikungan sejak dari Pagaralam tadi
memacu nexie di kecepatan maksimal yang aman, demi membelah pegunungan dan
perbukitan Sumatera Selatan secepat mungkin. Diatas lembah saya ambil foto,
tidak terlalu bagus jika nampak difoto meski dengan sudut terlebar.
Sesaat
kemudian saya lanjutkan mengejar point of interest yang telah ditetapkan
sebelum perjalanan dimulai. Tidak sampai satu kilometer rasanya, seketika
nampak dikejauhan, di dinding lembah yang berhadapan, sebuah air terjun ganda.
Ternyata di lembah ini letaknya. Saya berhenti lagi untuk memotret sekalian
melihat situasi jalan menuju air terjun itu. Saya tidak sempat melihat jam,
tapi dari exif kamera terlihat saat itu jam 14.15. Hanya merasakan saat itu telah
demikian sore.
Nampaknya
ada jalan dibawah, karena jalan ini terus menurun. Benar saja tak jauh dari
tempat memotret tadi, ada sebuah jembatan dan diseberangnya terdapat
persimpangan. Sebuah papan petunjuk menuliskan “Air Terjun Curup Tenang >
1km”. Langsung saja belok masuk persimpangan itu. Loh... ternyata desa itu
bernama Indramayu, kecamatan Bedegung kabupaten Muara Enim.
Air terjun
ini sudah menjadi obyek wisata yang cukup baik. Berbagai fasilitas tersedia
cukup lengkap, bahkan beberapa kolam pemancingan juga ada. Sayangnya tarif
masuk yang dikenakan cukup tinggi, Rp.5000 untuk orang dan Rp.10.000 untuk
motor. Parkir motor yang aman adalah didepan di dekat pos penjagaan, meski
sebenarnya bisa menggunakan motor lebih mendekati tapi menurut penjaganya,
parkiran di dalam tak ada yang memperhatikan apalagi motor saya ada tas samping
yang tak saya lepaskan disitu.
Rencananya
istirahat malah jadi berolahraga. Air terjun harus dihampiri dengan berjalan
kaki lumayan jauh. Terpaksa jaket yang masih terpakai saya lepaskan karena
cucuran keringat. Sesampainya di warung terdekat dengan air terjun saya memesan
teh dalam kemasan dengan es. Selesai mengambil beberapa foto, karena saya tak
pandai menjalankan photoshop maka harus ambil gambar dengan berbagai setting-an
serta kemudian memilih hasil terbaik.
Hampir satu
jam di air terjun Curup Tenang, curup berarti air terjun dalam bahasa setempat,
mirip sebutan di JawaBarat: curug. Jam terus berdetak padahal saya harus segera
melintasi daerah yang terkenal rawan begal dalam perjalanan hari ini.
Kemungkinan bisa menembus hingga Bandarjaya sebelum terlalu malam masih ada.
Tapi semua asumsi hanya berdasar ingatan yang sudah banyak terkikis selama
belasan tahun.
Tanpa
membuang waktu lagi saya lajukan nexie hingga dalam beberapa menit telah
melampaui simpang Meo. Ingatan memang tak selamanya benar, saya mengira cukup
beberapa menit saja dari simpang Meo ke Baturaja. Hampir 1 jam menaklukan
Jalinsum yang lebar untuk mencapai jarak 56km. Sempat pula terpaksa menambah
bensin eceran lagi di Singapura, sebuah nama desa yang unik. Sayangnya karena
terburu-buru tak sempat memotret plang di depan kantor desa itu.
Jalanan
menuju Baturaja mengikuti alur sungai yang dipenuhi riam kecil dan ringan.
Sepanjang sungai banyak sekali yang sedang bermain air, bukan mandi. Mereka
menggunakan ban dalam bekas traktor selebar 1,5 meter lebih bermain arung
jeram. Seru juga seandainya punya waktu lebih mencicipi berenang di sungai yang
terlihat masih bening. Akhirnya menemukan SPBU lagi dan pertamax disediakan
disini. Saya isikan tangki nexie penuh-penuh.
Baru
menjelang pukul 17 saya tiba di pasar Baturaja. Saya tidak memilih jalan by
pass karena ingin melihat pusat kota, mencari jajanan yang jarang ditemui atau
jika ada, jajanan khas. Masih belum terasa lapar tapi memang perut perlu diisi
makanan sedikit. Ketika melintas di depan sebuah hotel, terlihat warung pempek
dan es kacang. Segera saya hentikan nexie. Dan berakhirlah etape 7 tepat jam 16.55
disitu.
Etape 8, Baturaja – Bandarjaya 214km; Jam
17.25 – 20.00 dan 7.10 – 9.10
Seharusnya
ini dibagi 2 juga, Baturaja – Baradatu dan Baradatu – Bandarjaya.
Istirahat di
pusat kota Baturaja, saya pesan es kacang merah dan 2 pempek ada’an. Es-nya
enak, kacangnya al dente, tidak terlalu lembut tapi juga tidak keras dan saya
minta ditambahkan tape singkong. Ada’an adalah salah satu jenis pempek,
bentuknya bulat seperti baso dan di warung itu rasanya cukup enak. Selesai
membayar Rp.11.000 untuk es dan 2 bulatan adaan, tanpa buang waktu saya
lanjutkan perjalanan etape 8. Saya sadar bahwa kecil kemungkinan bisa menembus
hingga Bandarjaya dibawah jam 8 malam.
Setidaknya
bisa mencapai Baradatu atau Bukit Kemuning adalah target maksimal. Saat keluar
dari batas kota Baturaja sudah menunjukan jam 17.35. Dan pas adzan Maghrib sedang
melintas di Martapura. Nexie terus saja saya pacu bak kesetanan, hingga ada
pengendara motor laki tipe racing yang mengira saya ingin mengajaknya balapan.
Tentu saja di bagian jalan yang lurus dengan mudah ia melewati saya. Tapi saat stuck di belakang truk atau bus saya
salip lagi, juga ketika ia mengendurkan gas di tikungan langsung bisa tertempel
kadang tersalip.
Sebetulnya
bukan ingin membalap tapi memanfaatkan sisa-sisa cahaya matahari agar mencapai
jarak sejauh mungkin. Bila hari telah gelap, mata saya sulit melihat dengan
baik karena lampu standar terbilang redup. Kemudian pandangan juga terbatas
pada area yang tersorot lampu. Padahal saya biasa memandang luas jalan di depan
hingga bahu dan jejeran bangunan. Segala hal saya antisipasi, misal seorang
anak tergesa keluar dari rumah di jarak 100 meter ke depan sudah menjadi
peringatan bagi saya.
Akhirnya
gelap tak dapat ditolak, beberapa belas kilometer dari perbatasan SumSel –
Lampung suasana sekitar sudah membiru tua sangat. Tak jauh dari Martapura
adalah perbatasan kedua propinsi. Kini saya telah memasuki Lampung lagi. Tapi
wilayah kabupaten Way Kanan itu juga bukan daerah aman bagi motor sendirian.
Jam sekitar Maghrib juga waktu favorit para kriminil ini beraksi. Modal yakin
saja, saya lanjutkan perjalanan karena antara Martapura hingga menjelang
Baradatu nanti terbilang daerah yang kosong tanpa pemukiman di sisinya, sebuah
daerah yang tepat untuk membegal. Meski mata hampir tak melihat apapun selain
bagian yang tersorot lampu, gas nexie masih saya tahan tinggi tapi tidak
mentok. Sengaja saya sisakan gas jika ada penampakan mencurigakan di spion bisa
saya hentak gas sembari melakukan gerakan preventif.
Dan
tiba-tiba ada sebuah lampu motor nampak di spion, semakin mendekat dan semakin
dekat. Dada bergemuruh tak tentu, tangan bergetar dan terasa dingin, disusul
sebuah lampu lagi. Pastilah ini mereka, sang penguasa jalan, pikir saya. Tak
terasa gas semakin saya tarik. Beberapa kali terantuk gelombang dan lobang
kecil jalanan membuat badan terbanting tapi stang saya pegang dengan erat,
sempat geal-geol juga karena
gelombang berikut lobang berturutan dilindas roda-roda nexie.
Tapi
nampaknya itu lampu dari motor sport yang semakin dekat di bagian jalan lurus
dan terlihat menjauh saat memasuki tikungan. “begal pemula nih, nggak berani
nikung cepat” pikir saya. Harus memanfaatkan advantage tikungan. Jika nanti di depan tikungan ada sebuah rumah,
atau bangunan apapun yang nampak berpenghuni harus segera saya masuki,
berpura-pura sudah sampai di tujuan.
Tapi sisi jalan
senantiasa kosong, kalaupun ada rumah tapi gelap tak berlampu. Jantung saya
sudah berdegup kencang, terpikir untuk menyerah saja, yang penting hidup. Dan
ketika jalan lurus cukup panjang, motor itu telah berada di samping. Saya
hentak gas sekaligus dan sempat melaju lebih 1 ban tapi motor sport full
fairing bermesin tanggung keluaran terbaru dari pabrik berlogo sayap tentu
bukan tandingan buat nex.
Biasanya
begal mensejajarkan kemudian pemboncengnya mencabut senjata api menodong
memaksa kita berhenti. Atau jika ternyata mereka bukan pemilik senjata api,
bisa lebih parah karena main sabet tongkat/rante/golok agar korban terjatuh.
Salah satu kiat menolak bala adalah usahakan tetap berkecapatan tinggi, mereka
juga tidak terlalu tolol untuk menyabet dalam kecepatan tinggi karena jika
terjatuh, motor buruan mereka juga bubar berantakan. Aneh motor ini malah
menyalip saja dan sendirian pula bahkan kasih klakson...
O... oh
ternyata itu motor yang tadi merasa balapan dengan saya dari Martapura. Legaaaaa
rasanya. Dan sebagai solidaritas, saya ikuti dia tanpa saya coba susul lagi.
Akhirnya malah menjadi teman seperjalanan. Wah jika berdua begini saya berani
langsung ke Bandarjaya, tapi melihat setelan pakaian pengendara CBR dia adalah
orang dekat, mungkin hanya sampai Baradatu.
Karena itu,
saat didepan terlihat neonsign sebuah minmart saya salip dia dan kasih kode
mengajak dia mampir. Kami sudah berjalan tak terlalu kencang lagi sejak insiden
klakson tadi. Nampaknya ia mengangguk. Dan segera nexie saya arahkan ke
minimart. Saat memarkirkan motor saya lihat, pengendara CBR tidak ke minimart
tapi ke rumah disebelahnya. Tak lama dia keluar dengan masih memakai jaketnya.
“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.
“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab dua hal sekaligus.
“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.
“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.
“Mau kemana, bang?” ujarnya sembari terus mendekat memperhatikan nexie;
belum sempat saya jawab, ia melanjutkan “waah... saya kira ini ep-yu lho, bang!” nampak wajahnya sedikit keheranan. Saya tentu saja angkat kerah sembari menegakkan badan *becanda lho, sebenarnya saya tersipu malu karena sempat mengira orang yang ternyata ramah ini adalah begal.
“Mau pulang ke Bakau. Ya ini ef-yu matik” ujar saya sambil tersenyum menjawab dua hal sekaligus.
“ke Bakauheni, bang?? Wah masih jauh banget itu”, “kurang aman jalan di depan, lebih baik menginap saja dulu bang” lanjutnya. “Atau menginap di rumah saya tapi di Martapura, kita balik lagi nanti jam 9an”.
“waduh, terimakasih banyak, memang lagi cari penginapan kok ini tapi ya nggak usah pake balik lagi, disini ada kan, hotel”, “tadinya saya kira mau ke Bandarlampung, mungkin bisa barengan kita” saya menyaut serta lanjut menceritakan bahwa sempat mengira ia begal tadi, makanya tancap gas. Sekalian menerangkan bukan mengajak balapan. Ia memaklumi dan menebak juga bahwa saya pasti mengira dirinya begal.
Lantas ia
menceritakan sedang ada urusan disitu, nampaknya ngapel karena tak lama seorang gadis manis muncul dari sebelah dan
mengatakan kopinya sudah siap. Ia pun mengajak saya masuk ke sebelah untuk
minum kopi. Sebetulnya saya lapar, belum makan sejak sarapan siang tadi tapi
demi menghormati saya ikut juga. Sembari jalan ia mengenalkan diri, Iman
demikian pula saya menyebutkan nama.
Sambil minum
kopi, Iman berulang-ulang menyatakan kekagumannya dengan si FU matik. Iman juga
menyatakan bahwa ia berasal tidak jauh dari Bakauheni, tepatnya di Palas
Sukamulya. Wah ini namanya ketemu orang sekampung. Palas tidak jauh dari rumah
saya dan saya tahu bahwa Sukamulya dihuni oleh pemukim asal Tasikmalaya.
Langsung saja saya praktekan bahasa sunda. Obrolan menjadi semakin akrab. Dan
Iman semakin kaget mengetahui saya baru saja dari Pagaralam dan semakin kaget
mengetahui bahwa melalui Bengkulu untuk ke Pagaralam dan baru pulang via
Jalinsum, “wanian euy si akang teh, meuni sorangan deui” begitu kira-kira
ungkapannya.
Tak terasa
sudah jam 19.30, saya segera pamit untuk meneruskan perjalanan. Iman berkeras
mengajak menginap di Martapura, sebenarnya di jalan antara Martapura dengan
Baturaja. Terlalu jauh jika musti balik lagi kesana. Dan ternyata juga, Iman
adalah karyawan RM Siang Malam yang kini ditempatkan di cabang Baturaja.
Sebelumnya memulai sebagai asistant of chef di Siang Malam didekat rumah kami.
Dunia tak selebar daun kelor tapi daun kelor bisa selebar dunia juga...
Dan saya
lanjut menarik gas dengan pesan agar berhati-hati, berulang-ulang dari Iman dan
tunangannya. Saya menyadari tidak mungkin juga untuk terus-terusan membiarkan
jantung berdetak kencang mengira-ngira begal. Kalaupun selamat dari tindak
kriminil, bisa jadi stroke saya kambuh di Bandarjaya.
Baradatu
ternyata sedang dilanda pemadaman listrik bergilir, pantas gelap semua dari
tadi. Karena gelap pula beberapa penginapan di Baradatu tak terlihat oleh mata
rabun ini. Akhirnya saya terus saja hingga Bukit Kemuning. Ada penginapan juga
disitu, pasti. Bukit Kemuning jauh lebih besar dari Baradatu, kota persimpangan
dan tempat istirahat kendaraan umum sejak jaman dahulu kala. Hanya dibutuhkan
waktu kurang lebih 30 menit dari Baradatu untuk tiba di Bukit.
Sekitar jam
20.00 saya masuk penginapan Murni, ditengah keramaian pasar Bukit Kemuning
sebelum pertigaan besar dari arah Utara. Mengambil kamar seharga Rp.75.000,- .
Saya memesan kopi dan menanyakan makanan, ternyata tidak bisa memesan apapun di
penginapan itu. Sekedar air panas segelas juga tak bisa padahal saya punya kopi
dan energen sachet. Terpaksalah saya keluar mencari makanan di warung seberang.
Setelah kembali ke hotel, saya mandi dimana ruang mandi berada diluar kamar,
tepatnya satu di lantai bawah kamar.
Selesai
mandi saya cek sosmed di internet melalui smartphone, kemudian terlelap. Subuh
saya terbangun, kamar hotel ditengah pasar ini kecil sekali, tak memungkinkan
menggelar sajadah. Segera saya keluar mencari kopi dan sayangnya penjual kopi 24
jam cukup jauh di bagian lain pasar. Dan kebetulan melalui sebuah Mesjid maka
saya sempatkan Subuh-an.
Sembari ngupi saya unggah ke sosmed foto suasana
subuh di Bukit Kemuning. Sekembali dari warung kopi, saya bersiap, mandi.
Kemudian melanjutkan perjalanan. Jam
7.10 pagi start dari hotel Murni yang pelit itu. Andai tak kuatir begal, andai
berombongan dengan 1-2 orang lagi saya yakin tadi malam pasti lanjut. Dan
menjelang subuh kemungkinan besar bisa sampai kembali di rumah di Bakauheni.
Hal penting
dalam melintasi daerah rawan begal adalah bergerak secepat mungkin seperti saya
sebut diatas. Dan atur rombongan untuk selalu berjarak rapat. Motor dengan
pengendara paling besar tubuhnya atau paling berani berada paling belakang.
Nomor dua dari belakang adalah motor dengan pengendara paling cepat. Jarak
antar motor jangan lebih dari 10 meter, hal ini diperlukan latihan untuk
menjaga jarak dalam kecepatan tinggi. Pengertian antar pengendara juga perlu
dibahas sebelumnya agar semakin saling memaklumi. Jika membawa tripod lebih
baik lagi diikat di tubuh sebagai penghalang sabetan senjata begal. Memungut bambu
atau kayu sebelum melintas serta membawanya dengan diikat diselempangkan juga
tindakan yang tidak buruk.
Perkiraan
saya bisa tembus dalam 2 jam hingga Bandarjaya dari Bukit Kemuning. Dan dari
Bandarjaya sekitar 3-4 jam sampai Bakauheni. Perkiraan ini ditunjang dengan
mulus dan lebarnya Jalinsum. Tak meleset perhitungan, jam 9 sudah melewati
Jembatan Terbanggi Besar. Dan saya sudah berjanji dengan sahabat yang saya
kenal melalui sebuah forum bersepedamotor internet, akan bertemu di Bandarjaya
sekitar jam 9 pagi ini.
Jam 9.10
saya menamatkan etape ini didepan Mesjid Agung Bandarjaya. Karena parkiran
motor di depan Mesjid terasa terik tersorot matahari dan sangat kebetulan saya
juga belum sarapan kecuali beberapa potong roti saat ngopi subuh tadi, saya
geser ke RM Minang Indah. Seingat saya baru kedua kali nya saya makan di
restoran Padang dalam perjalanan kali ini, setelah pertama di Krui.
Lebih dari 1
jam saya menunggu sohib yang berjanji menemui di Mesjid Agung Bandarjaya. Tapi
bulu hidungnya satupun tidak terbawa angin ke lokasi rendevouz, apalagi batang
hidungnya ternampak...
Etape 9, Bandarjaya – rumah di Penengahan
LamSel 131km atau jika ke Bakauheni 151 km.
Tak banyak
yang bisa saya tulis di etape ini karena sudah tidak mencatat apapun lagi. Bahkan
saat mengisi kembali bensin saya lupa dimana dan berapa. Ini sudah etape
euforia bakal sampai dalam hitungan jam. Beberapa kilometer lagi sudah memasuki
kabupaten tempat saya tinggal meski dari batas kabupaten masih 90an kilometer
baru tiba di rumah. Yang tercatat hanyalah jam keberangkatan dari Bandarjaya, 10.35 pagi.
Etape ini
saya cukup menceritakan mengenai daerah Bandarjaya yang menjadi besar karena
merupakan tempat istirahat berbagai angkutan umum. Bukit Kemuning masih
terhitung rawan sehingga kendaraan besar pengangkut barang hanya sekedar
berhenti makan atau minum kopi saja karena disitu juga pusat perkulakan kopi
terbesar di Lampung. Sementara di Bandarjaya kendaraan bisa istirahat dan parkir
bermalam tanpa gangguan. Dua Jalan Lintas Sumatera masih melalui Bandarjaya,
Jalinsum dan Jalintim. Jalinbar masih sepi dari truk karena beberapa
tanjakan/turunannya terkenal ekstrim. Meski ke Bengkulu atau Padang jauh lebih
dekat melalui Jalinbar, truk bermuatan penuh berlebih akan tetap memilih
Jalinsum menuju kedua ibukota Propinsi itu.
Tak lama terlewati
persimpangan menuju Kota Metro yang sudah terletak di kab Pesawaran. Tak jauh
dari situ sudah memasuki Lampung Selatan kembali, tandanya adalah Pelud Radin
Inten II di Branti. Melewati Natar dan terus memasuki wilayah ibukota propinsi
Lampung, Bandarlampung.
Saya sempat
melihat odometer yang menunjukan angka 5600 km lebih, sudah waktunya melakukan
perawatan buat si nexie. Jadwal servis gratis yang ketiga terlampaui, daripada
saya pulang dan kembali ke Bandarlampung esoknya, saya arahkan nexie menuju
pusat pelayanan Suzuki. Salah satu yang saya sesalkan adalah Suzuki menutup
pusat pelayanannya di Kalianda, kota kabupaten di dekat rumah saya.
Setelah
singgah di rumah keluarga dari istri, tempat istri menginap selama saya tinggal
ke Pagaralam, nexie saya arahkan menuju Bakauheni. Sementara istri dan anak
serta supir yang sudah diminta untuk menjemput dengan R4 menyusul dibelakang.
Saya sempatkan makan mi sebagai makan siang yang kesorean di kota Kalianda. Mie
pangsit Ade Wongso ini saya rasakan sebagai mie yang paling enak dan pas dengan
anggaran yang memang sudah tipis, kalau tidak salah tersisa Rp.20.000
sesampainya di rumah. Artinya saya tidak sampai mengganggu duit SHU yang saya
ambil dari PLS, Merpas.
_________________________________
* Sekedar mengingatkan, Jalinsum = Jalan Lintas Sumatera
adalah jalan yang pertama ada melintasi
Sumatera dari Lampung (Bakauheni) hingga Banda Aceh, biasa juga disebut
Jalinteng.
Jalinbar = Jalan Lintas Barat, hitungannya berawal dari
Bandarlampung ke arah KotaAgung dan terus hingga bertemu Jalinsum di Padang
Panjang, Sumbar.
Jalintim = Jalan Lintas Timur berawal dari Terbanggi,
Bandarjaya hingga Medan, Jalinpantim
Lampung adalah sambungan Jalintim dari Bakauheni hingga bertemu Jalintim
di Menggala.
Demikian
catatan perjalanan ini, semoga bisa sedikit membantu bagi yang merencanakan
berpetualang 3-4 hari di Sumatera.
Bagi yang dari Palembang saya menyarankan rute: Palembang-Baturaja-Muaradua-Liwa-Krui-Merpas,
470an km dan kembali melalui rute Merpas-Manna-Pagaralam-Lahat-Palembang dengan
jarak yang hampir sama 480an kilometer juga.
Komentar
Posting Komentar