Menembus Jalan Baru Muaradua- Bintuhan Bag 2

semiring itulah dengan panjang lebih dari 500 meter dan kemudian melandai sedikit untuk curam lagi sejauh 400-500 meter

Jam sudah menunjukan pukul 4 sore kurang beberapa menit. Nexie terus saya lajukan hingga di kaki bukit dengan robekan badan jalan berwarna merah itu. Terbayang jika hujan akan seperti apa licinnya jalan itu. Tapi karena cuaca baik saya lanjutkan saja percobaan menyusur jalur baru ini. Setidaknya sampai di Danau Rakihan yang menurut perkiraan hanya 30 an km lagi. Tanjakan di depan tak berarti buat nexie selama kering, kurang lebih mirip tanjakan Sedayu di Tanggamus yang sudah sering saya lewati, bahkan saat saya ke Kaur kali ini membawa beban yang lumayan berat di tas kurir. 


Sejurus kemudian telah melintasi bagian jalan yang terlihat dari kejauhan tadi. Nampaknya itu yang paling curam tapi ternyata salah, masih ada lagi yang lebih parah. Tanjakan sepanjang kurang lebih 2 kilometer itu akhirnya tuntas didaki dengan mudah. Bahkan sempat foto kemiringan jalan disebuah tikungan.

Andai hujan kemudian, pasti saya takkan berani untuk pulang lewat jalan itu lagi. Memutar ratusan kilometer melalui Danau Ranau dan Liwa terus ke Krui adalah alternatifnya. 

Namun setelah kemiringan jalan yang mendebarkan karena di sisi Kanan dan Kiri adalah jurang! Tiba di bagian puncak yang ketinggiannya saya cek di gps hape adalah sekitar 870 m dpl. Dingin, pasti. Sialnya saya tak bawa jaket karena dari posko cuma berniat cari makan sambil jalan2 ke Bintuhan, hanya kaos lengan panjang plus rompi. Akhirnya saya pakai jas hujan sebagai penahan udara dingin. 

Dan pemandangan diatas sana sungguh indah serta lain dari biasanya, tak ada kebun teh, hanya ada kebun kopi serta hutan. Yang paling menarik adalah memandang Samudra Indonesia dari ketinggian. Saya catat untuk memburu sunset dari atas sini suatu waktu nanti saat musim kemarau. Desember adalah waktu yang kurang menguntungkan buat berburu sunset.

Setelah puas menikmati pemandangan di puncak jalan itu, saya coba periksa sinyal hape. Minim, bahkan tak ada sinyal yang ditangkap. Coba berjalan kesana kemari mungkin bisa didapat sinyal mengingat setahu saya di Muarasahung tadi ada tower provider. Karena tak juga didapat sinyal, kembali saya lajukan nexie dan hape saya taruh di kantong rompi agar lebih mudah menangkap sinyal. Alasan saya mencari sinyal karena tepat hari itu juga istri sedang menuju Krui dari rumah di Kalianda. Dan saya ingin mencari tahu kabarnya. Insting ternyata benar, tak jauh berjalan sinyal bisa didapat dan hape berdering karena ada pesan masuk. Segera stop dan baca sms yang isinya minta segera dijemput di Krui, kampung halaman istri. 

Waduh! Minta dijemput untuk ke Merpas di Kaur, tempat usaha kami. Saya mencoba hitung jarak. Kembali ke Merpas sekitar 80 km dan terus ke Krui 80 km lagi, 160 km. Tapi ada alternatif lain, lanjut ke Danau Rakihan kemudian mencari jalan tembus ke Ranau lantas naik ke Liwa dan turun ke Krui. Jaraknya pernah saya hitung di googlemap sembari membuat perencanaan melintasi jalan ini dengan membuat peta, menggaris jalan yang belum ada di gmap, link ke petanya di bagian pertama tulisan ini diatas, dan saya perkirakan kurang lebih sama. Dan tentu saja saya pilih terus via Danau Rakihan. Apalagi jalan tanah merah telah berganti menjadi susunan batu halus, tinggal siram aspal atau pasang beton. 

Tak jauh telah bertemu jalan beton yang bagus. Yang tadinya hanya melalui rumah kebun yg kosong kini telah ada perkampungan. Dan cek sinyal lagi, ada lumayan bagus. Saya foto sekitar dan upload di medsos, ada seorang teman fb yang tinggal disekitar sini, Gus Adhim namanya, saya tag dan berharap dia baca sehingga saya bisa mampir untuk kopi. Letak rumahnya persis saya belum tahu, hanya bilang jika ke Danau Rakihan pasti melewati depan rumah. 


Perkampungan demi perkampungan terlewati dan jalan menurun tajam berliku. Rupanya saya baru saja melintasi gunung yang selama ini menjadi "barrier" antara Kaur, Bengkulu dengan OKU Selatan, Sumsel.

Dan sampailah saya di Ujan Mas, sebuah desa besar yang kini menjadi kecamatan. Rumah-rumah panggung disini nampak tua karena tidak dicat sama sekali, wajar saja ini adalah desa terpencil, terujung dan mungkin juga terjauh dari ibukota Kabupaten maupun Propinsi. Sayangnya saya lupa foto disini  Sebagaimana pemukiman lain di wilayah pegunungan Sumsel, semua rumah di desa itu berkumpul dan dibangun rapat satu sama lain, samping ketemu samping dan belakang ketemu belakang rumah. Tentu ini demi menghindar dari binatang liar. Dan di kebun mereka akan membuat rumah kecil lagi untuk saat mengurus kebun seperti panen dlsb. Perkampungan kecil yang saya lalui tadi kemungkinan besar dihuni pendatang dari pulau Jawa.

Saat keluar dari Ujan Mas, saya lihat sebuah air terjun nampak di kejauhan dan sudah terlewati. Karena suasana di UjanMas yang seperti kampung pendekar (ingat film sinetron Tujuh Manusia Harimau) saya agak segan untuk stop dan bertanya. Mungkin lain kali saya coba ke air terjun yang nampak besar meski dari kejauhan itu. Perjalanan saya lanjut setelah bertanya dengan para pemuda yang sedang bercengkerama sore di tepi jalan tak jauh dari lokasi terlihatnya air terjun tadi. "Terus saja bang nanti ada pertigaan di marsinde, abang ambil yang lurus untuk ke Rakihan", begitu petunjuk yang saya dapat. 

Jalanan sekeluar dari UjanMas menanjak lagi kemudian menurun, para pemuda biasa bercengkerama sore-sore di puncak jalan menanjak itu dan memang pemandangannya indah. Setelah menurun, kembali saya temui sebuah desa. Yang kemudian menanjak lagi melintasi bukit dan turun ke desa selanjutnya. Nampaknya tiap lembah diisi sebuah desa yang rumah2nya berkumpul merapat mengisi dataran rata disekitar sementara sisi jalan sekeluar dari desa praktis kosong menghutan. Dan situasi ini khas pegunungan Sumatera, hal mirip juga ditemui di jalur BukitKemuning-Liwa dahulu tapi karena saat ini penduduk semakin padat maka hampir sepanjang jalan telah dipenuhi rumah. Aslinya orang Sumatera bagian Selatan lebih suka membuat rumah dibelakang rumah lain asal menyatu dalam pemukiman. 

O ya dari Muarasahung di Bengkulu tadi sampai disekitar sini penduduknya adalah suku Semendo Kisam. Letak wilayah ini memang persis bersebelahan dengan kecamatan Semendo di Kab MuaraEnim, terpisah hanya oleh puncak gunung. Sementara daerah lain di Kaur dihuni oleh suku yang menyebut dirinya sbg suku Besemah seperti wilayah Pagaralam, padahal jika dilihat dari adat, budaya dan bahasa mereka sama saja hanya 1-2 ritual budaya yang berbeda.

Dan saya lanjut hingga akhirnya tiba di pertigaan yang dimaksud tadi, ternyata ucapan mar-sinde tadi bermaksud menyebut Muara Sindang, seperti juga di banyak bahasa daerah, penyebutan dan tulisan yang di-Indonesia-kan jadi berbeda. Di pertigaan itu banyak juga pemuda yg bercengkerama. Kembali saya bertanya untuk menegaskan. Benar, tinggal sekitar 3 km lagi utk sampai di Danau Rakihan.


Akhirnya saya sampai di Danau Rakihan. Memang hanyalah danau vulkanik kecil dan terlihat kurang menarik. Belum dipoles dan nampaknya belum ada wisatawan yang mengunjunginya karena letaknya yang terpencil, kalaupun ada hanya relasi dan keluarga dari penduduk setempat. Permukaan air danau ini terletak jauh dibawah dataran sekelilingnya, sekitar 10-15 meter. Hanya ada satu jalan setapak di sisi tebing dan jurang menuju bibir air. Karena permukaan air yang sulit dijangkau, tak ada penduduk yang memanfaatkan kolam raksasa ini untuk memelihara ikan.


Danau Rakihan
Sinyal hape juga tak ada disitu meski saya lihat tower sudah berdiri dekat Rakihan. Dan saya coba gali informasi sembari ngopi dan ngemie. Tapi tak ada warung sama sekali didekat Rakihan meski danau ini terletak hampir di sisi jalan, terpaksa geser ke satu-satunya warung kelontongan yang agak jauh. Sebagai warung kelontongan pasti jual mie instan, dan saya coba minta dimasakin, biasanya nanti kita juga ditawari kopi yang gratis. Ternyata ibu warung itu bersedia masakin ditambah telur. Dan benar saja sembari menunggu dan berbincang dengan bapak warung mengenai danau dan situasi sekitar saya ditawari kopi. 

Saya dapat kabar bahwa tower provider ponsel sudah berdiri hampir 1 tahun namun tak kunjung dipasang peralatannya. Semoga saat ini telah terpasang. Kemudian info bahwa jalan didepan ini buntu, di ujung hanya pasar kecamatan sekitar 4 km lagi. Saya kira tadinya ada jalan menembus hingga ke kecamatan Semendo, memang ada jawab si bapak, tapi jalan kaki mendaki gunung dulu sekitar 8 jam perjalanan .


Selain itu saya juga dapat info bahwa anak-anak Marsinde (kecamatan Muara Sindang Danau) terbilang nakal dan situasi kurang aman buat pemotor sendirian seperti saya jika malam hari. Sebuah standar di Sumatera bagian Selatan memang hindari jalan malam sendirian, apalagi di daerah terpencil seperti ini. Info lain yang saya dapatkan adalah jalan pintas ke Ranau dan Liwa sangat tidak mungkin dilalui oleh matik apalagi malam, jalanan berbatu besar seperti dasar sungai dengan tebing dan jurang menganga. 

Yang saya coba lihat di ponsel jika ada sinyal adalah komentar Gus Adhim. Saya juga belum punya nomer hapenya, jadi agak sulit untuk menanyakan dimana tepatnya ia tinggal, untuk singgah dan numpang ngopi. Tapi karena sudah disuguhi kopi di warung tadi. Saya lanjutkan dan bahkan lupa untuk mencari rumah yang ancer2nya di sebuah puncak dan sebentuk embrio pesantren. Saya perkirakan sebelum UjanMas tadi memang ada sebuah madrasah dgn hanya 2 lokal dan disitulah yg banyak pendatang dari Jawa. 



beginilah pemandangan dari puncak-puncak desa di UjanMas hingga PulauBeringin saat menjelang Maghrib
Saya kembali ke arah pertigaan Marsinde yang kemudian melihat sebentuk bangunan di puncak bukit, jangan-jangan disitu Gus Adhim tinggal. Tapi karena hari sudah menjelang maghrib sementara saya masih harus ke Krui selain itu ternyata bangunan itu tak persis di sisi jalan. Dan perjalanan lanjut saja.

Dingin makin tak tertahankan, udara pegunungan Sumatera yang masih berbalut tumbuhan besar dengan sedikit pemukiman membuat dinginnya lebih dari udara pegunungan di Jawa. Ketinggian jalan disini bervariasi antara 500 - 800 meter dpl. Pada suatu bukit saat maghrib saya berhenti sejenak, memandang desa yang baru saya lewati. Dan ada beberapa pemuda sedang bercengkerama disitu, rupanya mereka ramah serta langsung menegur dan mengobrol dengan saya. Baru saya ketahui bahwa mereka suka nongkrong di puncak-puncak bukit itu karena mencari sinyal ponsel. Jangan berharap ada sinyal 3G, untuk telpon dan sms pun pas-pasan. 

Sejurus kemudian Adzan Maghrib terdengar dan para pemuda pamit untuk ke Mesjid sambil mengajak saya. Wow banget nih mereka, ya seperti tadi diceritakan oleh bapak warung bahwa masyarakat Semendo Kisam jauh lebih relijius. Karena arah Mesjid mereka kembali ke desa yang baru saja dilewati saya menolak ajakan mereka dan beralasan akan Maghrib di desa selanjutnya saja. Mereka bilang sekitar 3 km lagi sampai di Pulau Beringin.


Sampailah saya pada sebuah desa yang juga ibukota Kecamatan tua disini, Pulau Beringin. Jika sebuah desa bernama Pulau maka kemungkinan besar asalnya memang dari sebuah pulau di tengah sungai atau ada pulau sungai dengan pohon Beringin di dekat pusat desa. Demikian juga jika bernama Muara, itu adalah pertemuan sungai kecil dengan yang lebih besar, seperti ibukota Kabupaten ini yang disebut Muaradua adalah sebuah "muara" sungai di sungai besar. Dan ada banyak pertemuan 2 aliran sungai kecil dengan sungai besar sehingga ada beberapa desa juga bernama Muaradua, setahu saya ada 1 Kecamatan disini juga bernama Muaradua tapi ditambahi Kisam sebagai pembeda. Di Kaur juga ada sebuah desa tua bernama Muaradua yang juga dihuni suku Semendo Kisam. 

Pulau Beringin adalah pusat wilayah yang menjadi 3 atau 4 Kecamatan disekitar. Dan tentu saja cukup besar. Ada Mini Market juga disini. Dan segera saya stop di mini market berantai nasional ini. Air Minum Kemasan dan roti serta coklat batang saya ambil, juga rokok saya yang sulit didapat di warung-warung umum. Kemudian saya mencari Mesjid tapi cukup jauh dan berinisiatif untuk numpang Shalat Maghrib di mini market. Kemudian saya mencari informasi lebih jauh tentang jalan tembus ke Ranau. 

Akhirnya fixed bahwa tak mungkin ambil jalan pintas. Gambaran bahwa motor bebek pun kesulitan dan karena malam membuat saya ambil keputusan menuju Muaradua dulu baru balik kearah Ranau. Sebuah perjalanan yang memutar dan lebih jauh 60an kilometer, seharusnya hanya 75 km menjadi sekitar 110 km tapi menurut petunjuk akan jauh lebih cepat yang 110 km karena jalan mulus dan baik.

Dan saya lajukan nexie ke arah kota Muaradua. Tak jauh dari Pulau Beringin ada sebuah desa besar lain dengan Mini Market. Saya kira akan mulai berderet mini market ini di sepanjang jalan. Tapi ternyata beberapa puluh kilometer melalui jalanan yang cenderung menurun terus ini, tak kunjung saya temui mini market. 

Karena lelah saya beristirahat di sebuah pertigaan ditengah desa tapi sepi. Menenggak minuman yang dibeli di Pulau Beringin dan mengunyah roti. Pertigaan ini mengarah ke Muaradua dan Muaradua Kisam ternyata. Dan setelah desa ini suku penduduknya akan berganti, di depan adalah desa-desa dengan penduduk bersuku Komering yang bahasa dan budayanya sama persis dengan orang Lampung. 

Tak lama terlihat penduduk keluar dari Masjid, ternyata mereka sedang ada pengajian setelah Isya sehingga pertigaan ini sepi. Seketika ramai dan banyak yang menegur saya, salah seorang bertanya dari mana mau kemana, ketika dijawab dari Bintuhan mau ke Muaradua dan lanjut ke Liwa, banyak yg terkejut bahwa jalan ke Bintuhan sudah ada bahkan bisa dilewati matik. Dan seperti umumnya, mereka menasehati untuk berhati-hati karena telah cukup larut malam dan sendirian pula. Kemudian mereka menunjukan jalan bahwa di depan nanti ketemu pertigaan besar dan ambil yang ke Kanan. 

Lanjut dan akhirnya saya tiba di Muaradua sekitar jam 8 malam. Segera saya cari pasar dengan pusat kuliner malam. Muaradua adalah kota yang cukup besar. Dan saya pilih penjual nasi goreng. Setelah makan, perjalanan saya lanjutkan karena masih jauh tujuan hari ini yaitu Krui. Bensin saya isi di SPBU setelah pusat kota. Sepanjang perjalanan hingga Muaradua ini tak ditemui SPBU dan saya isi eceran di Pulau Beringin dan sebelumnya full tank di SPBU Maje sebelum Bintuhan.

Saya lanjut jalan dari Muaradua sekitar jam 21.30. Dan di mini market sekeluarnya dari kota saya segera stop. Mereka sedang closing toko. Beberapa kebutuhan utk di Krui saya beli sekalian. Karena dipastikan lebih dari tengah malam sampainya nanti. Jam 10 malam saya lanjut kearah Ranau. Melewati hutan kawasan timbul sedikit kengerian, meski terhitung aman tapi agak kuatir juga ketika ada sebuah motor dengan lampu minim mengikuti. Pengalaman waktu pulang dari Pagaralam setahun lalu (2015), belum tentu penguntit ini penjahat a.k.a begal. Benar saja ketika saya berhenti di depan sebuah warung yang masih terang dia juga berhenti dan menegur, ternyata hendak ke Simpang Sender dan mencari barengan karena lampunya minim sekali. Akhirnya kami berbarengan hingga Simpang Sender. 

Tak jauh dari Simpang Sender segera saya lewati Wisma Pusri di tepi Ranau. Kemudian tiba di Liwa sekitar tengah malam. Mencari kopi adalah hal utama. Kebetulan ada sebuah kafe yang masih buka karena saat itu malam Minggu. Tanpa pikir panjang saya singgah disitu. Kopi Luwak dan pisang panggang keju saya pesan. Tak lama dihidangkan dan anak muda penjaganya menyempatkan mengobrol. Rupanya dia tertarik karena saya bermotor, pertanyaanya tak jauh seputar dari mana dan mau kemana. Rupanya dia juga tahu tentang Pantai Laguna Samudra tempat usaha saya, begitu pula dengan Pulau Beringin. Dia pikir saya menembusi jalan offroad dari Pulau Beringin ke Ranau tapi saya jelaskan bahwa saya memutar lewat Muaradua.

 

Danau Ranau di malam hari

Kira-kira setengah jam saya menghirup kopi luwak khas Liwa. Perjalanan saya lanjutkan menuruni jalan dari ketinggian 900an meter ke 0 m dpl dengan jarak sekitar 30 km. Tak terasa pukul 1 pagi saya telah tiba di rumah Ipar di Krui. 


Perjalanan pertama ini selesai tapi kisah ini ada sambungan karena 2 bulan kemudian saya kembali kesini untuk menembusi jalan pintas dari Pulau Beringin ke Danau Ranau. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menembus Calon Jalan Bintuhan - Muaradua

Suzukinex Solorun 1100 Km bagian keempat - habis