Suzukinex Solorun 1100 Km bagian ketiga
Etape 5, Merpas – Manna 104km; Jam 10.25 – 12.20
Sebagaimana
saya sebutkan sebelumnya, sengaja berangkat agak siang demi mensimulasikan
bahwa baru tiba di Merpas malam sebelumnya dengan kemungkinan bangun kesiangan,
berenang menikmati laut dulu dlsb. Persis sebagai pejalan yang belum pernah
singgah di PLS lain, sebagaimana pembaca sekalian nantinya jika menyempatkan
mengambil jalur-jalur yang saya sampaikan disini.
Saya sudah
cukup hapal juga bahwa jalan menuju Manna dari PLS akan mulus dan cukup lebar.
Tikungan juga terhitung lebar-lebar meski banyak juga yang cukup tajam,
biasanya menjelang sungai dan jembatan serta sesudahnya. Ini disebabkan sungai
yang terletak di bawah lembah, sehingga saat mendekati sungai, jalanan juga
menuruni lembah yang biasanya cukup curam.
Pemandangan yang didapat jika mencoba keluar dari Jalinbar, mendaki bukit |
Tidak jauh
dari PLS Merpas ada sebuah SPBU yang baru, hampir seusia dengan SPBU Lintik di
Krui. Saya yakin disana akan menjual pertamax. Meski fuelmeter telah tandas
kebawah, saya paksakan sampai di SPBU tersebut. Setelah sekitar 15 km dari
gerbang PLS sampailah di SPBU Maje (Bintuhan 2). Saya isikan nexie, pertamax senilai
Rp.42.000 dengan harga perliter sama, Rp.12.500,-.
Perjalanan
di jalan yang banyak lurus sebetulnya membosankan tapi karena pemandangan hijau
kadang dipadu birunya laut, ditingkahi rumah-rumah panggung kayu yang
kecoklatan membuat pikiran segar. Tak terlalu bosan juga.
Disekitar
Merpas hingga Bintuhan banyak ditemui tumpukan pasir hitam, itu adalah hasil
tambang setempat berupa pasir besi. Diduga pasir besi ini diangkat oleh tsunami
jaman purba ke daratan mengingat tidak adanya sumber besi di pegunungan
diatasnya. Memang pesisir Barat Sumatera dari Aceh hingga Lampung adalah
‘tsunami sites’. Beberapa ratus tahun sekali akan dilanda tsunami, di wilayah
Bengkulu terakhir tercatat tahun 2007 tapi tak terlalu besar dan 1830an
setinggi 6 meter.
Jalan antara
Merpas hingga Manna senantiasa mulus sejak belasan tahun lalu. Tapi hal ini
lebih disebabkan tak ada truk bermuatan berlebih melintas disini. Bukan karena
sikap tegas petugas jembatan timbang namun akibat penghalang pada jalan saat
selangkah memasuki Lampung. Penghalang itu berupa tanjakan curam Tebing Manulla
yang tak kalah mengerikan dibanding Sedayu dan Tebing Mayit. Entah sudah berapa
puluh truk yang tak kuat menanjak hingga merosot mundur dan masuk jurang yang
menanti baik disisi kanan maupun kiri. Bagi saya yang arah ke Bengkulu, Tebing
Manulla adalah turunan, dan saya lintasi di hari pertama malam hari. Tapi kini
sedang dibangun jalan alternatif agar tak lagi perlu melintasi jalan maut
tersebut.
*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.
*Manulla diambil dari makam atau di Lampung disebut keramat seorang penyebar Islam bernama Syekh Aminullah yang kapalnya kandas karam di pantai dibawah tebing itu.
**Jangan kaget jika makam seorang penjahat juga disebut keramat, bukan berarti makam yang keramat tapi sekedar makam biasa, karena keramat = makam dlm bahasa Lampung.
Pantai Hili, foto diambil th 2011 |
Kemudian
wilayah utara Kaur yang biasa disebut Padang Guci. Dan nampaknya kini sedang
kasak kusuk membentuk kabupaten baru yang diberi nama Besemah Selatan.
Kemungkinan penduduk wilayah Padang Guci – Tanjung Kemuning adalah suku
Besemah/Pasemah berasal dari dataran tinggi Besemah yang menjadi tujuan akhir
perjalanan saya. Disini ada sebuah jembatan panjang dan jika sempat berhenti
ditengah kemudian menoleh ke kiri (Barat) maka terlihat sebuah air terjun kecil
yang jatuh langsung di lubuk dari sungai atau aiie (air) dalam bahasa setempat.
Pemandangan di jalan menuju Manna |
Tak jauh dari
jembatan, terlewatilah perbatasan kabupaten antara Kaur dan Bengkulu Selatan.
Kemudian lagi-lagi ditemukan pencabangan jalan yang membingungkan karena sama
besar kedua jalan lanjutan. Apalagi kedua cabang jalan didepan membentuk sebuah
jalan lurus, seperti jika kita keluar dari jalan kecil masuk jalan yang lebih
besar. Belok kiri atau kearah Barat adalah jalan yang semustinya menuju Manna.
Dan gapura kota Manna pun terlampaui.
Di depan ada
sebuah cabang jalan lagi, dari papan petunjuk tertulis ke kiri adalah menuju
Pantai Pasar Bawah. Jika masih ada waktu, bagus juga melewati jalan lama
tersebut, jalan itu melewati pantai terus ke kota Manna. Akhirnya sampai di
Simpang Rukis, kota Manna, persimpangan ramai yang kedua di kota Manna. Karena
di propinsi Bengkulu tidak ada jaringan minimart berantai, saya coba berhenti
di minimart atau warung semi swalayan yang banyak terdapat sejak dari Merpas,
repotnya hanya, kebanyakan tidak sekomplit minimart berantai. Tapi karena saya
di Manna, kota yang lumayan besar saya perkirakan bakal komplit. Benar saja,
yang saya cari tidak ada, adanya jenis lain, semerk dan sama-sama hitam
bungkusnya. Yang saya cari hitam kombinasi biru, adanya hitam kombinasi hijau.
Terpaksalah beli yang ada saja.
Tak jauh
saya rencanakan makan siang sekaligus menamatkan etape 5 disitu. Sebuah rumah
makan bernama Riung Bandung yang dimiliki oleh orang sunda, tentu masakan sunda
tapi sudah dimodifikasi dengan lidah setempat, seperti biasa ditambah cabai dan
merica bumbu-bumbunya. Ternyata RM RiungBandung tutup, entah karena sudah
bangkrut yang tidak mungkin karena biasanya sangat ramai disitu pada jam makan
siang, kemungkinan besar karena mudik Lebaran Haji. Akhirnya saya putuskan
untuk makan tak jauh disebelahnya, terus terang karena saya tertarik dengan sub
judul warung tersebut “Masakan Jemau Kitau”, wajib dicoba nih... Jadilah saya
akhiri etape ini di RM Panorama, masakan khas Manna.
Etape 6, Manna – Tugu Rimau, Pagaralam 103km; Jam 13.15 – 14.25 dan 14.55 – 17.50
Begitu
memasuki warung makan langsung saya ke bagian display makanan. Hmmm... mirip
sekali masakannya dengan Minang, serba bersantan. Saya lihat ada cincang dua
macam, satu berbumbu khas minang santan dan merah sementara yang satu lagi
seperti opor. Kemudian ada ikan nila goreng yang disebut sebagai mujair,
tadinya saya berharap ada ikan laut mengingat Manna adalah kota di tepi
Samudra. Tapi mungkin si pewarung dari sisi daratan atas Manna yang dengan aiie
Manna sebesar itu pastinya ikan air tawar juga menjadi favorit disini.
Selesai
makan, saya sempatkan memotret warung dari jalan. Baru kemudian melanjutkan perjalanan
etape 6. Jam 13 kurang sedikit saat meninggalkan warung. Tapi saya putar-putar
dulu sang kota kenangan. Ada sedikit romansa “sephia” membekas di kota ini
*bukan untuk ditiru, bukan pula saya mencontohkan.
Walaupun
meteran bensin si nexie masih lumayan, saya mencari pertamax dulu atau jika tak
ada cukuplah premium. Mengingat dari Manna hingga Pagaralam 80 km tak bakal ada
SPBU. Sebetulnya ada SPBU dan menjual peratamax
juga menjelang simpang Rukis tadi, masih di tepi Jalinbar tapi saya lihat sepi, tak ada pelayanan serta
pompa premium dan solarnya ditutup kain pembungkus hanya pompa pertamax yang
dibuka. SPBU lain di Manna ini bukan di tepi jalan menuju Pagaralam tapi agak
masuk kedalam kota. Saya Isi bensin Pertamax Rp 33.000 disini, jarak dari SPBU
Maje tadi hampir 100km.
kota Manna jalan menuju ke Pagaralam |
Dan jalanan
keluar Manna arah Pagaralam mulai mendaki, sedikit demi sedikit pendakian makin
terasa. Hingga melewati bagian dari kecamatan Pino. Saya jalan tidak terlalu
cepat disini karena ingin menikmati pemandangan dan kehidupan sehari-hari
disitu. Hanya 1 kali belasan tahun lalu saya melalui jalan ini, itupun dengan
membetot gas kuat-kuat karena sudah terhambat semalaman dan memutar 200an
kilometer akibat jalan di Krui terputus. Saya perhatikan apa saja yang ada di
tepi jalan, terutama warung, bengkel ataupun tambal ban. Saya rekam di kepala
sehingga jika suatu waktu lewat lagi dan terjadi masalah bisa diantisipasi. Tak
lupa menikmati pemandangan dan memperhatikan sungai/aiie Manna, memperhatikan
titik pemancingan.
Ternyata banyak
juga rumah menyerupai villa dengan kolam ikan sepenuh halaman, seakan rumah itu
terapung di kolam. Tiba-tiba saya melihat sedikit keanehan, sebuah bangunan
gereja baru selesai dibuat. Apakah banyak pendatang dari jawa disini, pikir
saya. Setahu saya semua adalah penduduk asli, pendatang dari Jawa atau Jawa
Lampung hanya banyak di wilayah Merpas dan di sebelah Utara kota Bengkulu serta
disekitar Curup. Mengapa gereja saya asosiasikan dengan orang Jawa, karena di
wilayah Lampung gereja hanya terdapat di pemukiman Jawa dan penduduk asli tidak
ada yang beragama selain Islam. Sementara untuk mengasosiasikan dengan orang
batak jelas tidak mungkin karena sedikit sekali saya menemukan tambal ban
sepanjang jalan itu *hehehe kalimat terakhir ini hanya guyon, becanda, jangan
marah ya lae...
Sambil masih
mengira-ngira ternyata perjalanan sudah cukup jauh dan menjelang penghabisan
pemukiman di tepi jalan Manna-Pagaralam di wilayah Bengkulu. Ketika keluar
sebuah tikungan tak jauh dari gereja tersebut, saya terhenyak karena sebuah air
terjun lumayan besar terlihat di tepi sebuah jembatan. Cukup ramai
pengunjungnya di hari yang panas itu. Jejeran warung juga menghias sisi lain
dari jembatan itu. Segera saya hentikan nexie di warung pertama.
Saya memang
ingin minum kopi, kopi asli setempat, karena ketinggian di daerah itu sudah
cukup untuk tanaman kopi, beberapa kali saya melintasi kebun kopi sebelumnya.
Semakin kabita untuk menenggak
minuman penambah daya jelajah itu. Setelah pesan kopi, langsung saja mencabut
senjata, Fujifilm HSX25EXR kaliber 58mm. Dan terabadikanlah aiie Luguran itu, demikian
namanya disebut penduduk Manna dan sekitarnya. Dan memang bukan air jatuh 90
derajat, hanya berupa turunan air yang sangat tajam.
Air Terjun Luguran |
Saat meminum
kopi, saya sempatkan mengobrol. Tak lama kemudian ada serombongan anak muda
menggunakan mobil pick up mendatangi air terjun membawa drum-drum dan ember,
hendak mengambil air. Saya tanyakan pada pewarung mengapa dan darimana mereka,
jawabannya adalah karena mereka sedang hajatan sehingga sumur yang menyusut
menjadi kurang airnya. Mereka tinggal disekitar gereja, lanjut keterangan
pewarung. Kebetulan, saya tanyakan soal gereja, ternyata memang ada penduduk
asli setempat yang menganut Protestan sejak akhir 1965 terutama. Saya tahu
bahwa sedikit lagi didepan, di wilayah Tanjungsakti, Lahat, SumSel banyak juga
penduduk asli yang menganut agama selain Islam. Pewarung melanjutkan keterangan
bahwa jika di Tanjungsakti memang banyak penganut Katholik sejak dulu kala,
jaman Belanda.
Setelah kopi
tandas dan obrolan juga komplit dari keterangan mengenai diri saya, motor
Suzuki nex yang baru pertama mereka lihat dan saya dapatkan keterangan mengenai
aiie Manna, ikan yang bisa dipancing dlsb. Maka saya pun pamit, melanjutkan
perjalanan. Cukup jauh juga sisi jalan kosong tak ada rumah penduduk, kebun dan
hutan saja mengisi pemandangan. Bahkan ketika melintasi perbatasan Bengkulu dan
Sumatera Selatan tak ada gapura yang menandakan. Hanya sebuah patung burung
Garuda yang lebih diasosiasikan sebagai batas wilayah teritorial militer antar
KOREM.
Saat mata
menyapu pemandangan saya melihat dua orang pemancing sedang melemparkan kail
berumpan singkong rebus. Sejenak saya singgah, mereka memancing di sebuah
lubuk, tikungan sungai yang biasanya cukup dalam. Mereka duduk diatas sebuah
pondasi jembatan gantung yang sedang dibuat. Menurut keterangan pemancing ini,
mereka mengincar ikan Hampala atau Besemah. Sama seperti keterangan yang saya
dapat di warung kopi aiie Luguran tadi.
Tak
terhitung jumlahnya jembatan gantung yang dibuat masing-masing ini. Setiap
pemilik kebun atau rumah terpaksa membuat jembatan sendiri, jembatan pribadi
untuk menuju jalan raya sebagai sarana transportasi cepat. Mengingat
satu-satunya jembatan yang menyeberangi sungai Manna berjarak beberapa kilometer
hingga belasan kilometer dari kebun mereka padahal jalan raya ada didepan mata
diseberang sungai.
Ketiadaan
batas ini membuat saya mengira pemancing tadi masih berada di wilayah Bengkulu
dan ternyata saya salah duga. Mungkin karena dahulu wilayah Tanjungsakti sempat
masuk wilayah Bengkulu sehingga tak ada batas berupa gapura. Hanya saja akibat
jalan menuju Manna senantiasa terputus longsor akhirnya penduduk meminta untuk
kembali menjadi bagian dari Sumatera Selatan. Hingga kini TanjungSakti menjadi
kecamatan di kabupaten Lahat.
Jembatan Pulautimun, area berarung jeram Pagaralam |
Sebelumnya
persepsi saya perbatasan propinsi adalah di Pulautimun sebuah desa di
Tanjungsakti, dimana jalanan menyeberangi sungai Manna, sebuah batas alam.
Setelah senantiasa di sisi kanan jalan, kini sungai berada di sisi kiri. Tetap
mengikuti aliran aiie Manna hanya berpindah sisi saja.
Jalanan
terus saja mendaki tak henti. Melewati pedesaan Tanjungsakti yang berumah
panggung tinggi dari kayu. Sungguh asri nuansa disini. Dan toleransi kehidupan
beragama juga tinggi mengingat ada dua agama yang menjadi mayoritas disini. Sejak
dari aiie Luguran hingga Pulautimun tak ada rumah penduduk di sisi jalan namun
sejak jembatan besar tadi mulai terlihat perkampungan lagi. Sembari memacu
motor saya memperhatikan jika ada gereja tua untuk difoto. Tapi mungkin terlalu
cepat memacu, tak nampak sebuah gereja pun.
Setelah
melewati pertigaan yang nampaknya mengarah ke kecamatan pemekaran dari
Tanjungsakti, sisi jalan kembali kosong dari rumah. Tikungan mulai cetar
membahana kembali dan tak jauh tanda-tanda kota mulai nampak, sisi jalan
berpemandangan indah mulai dipenuhi anak-anak muda pada sore-sore yang dingin
itu. Motor-motor mereka dijejerkan rapih dan nampak bersenda gurau seperti
layaknya orang menjelang dewasa. Serasa usia saya baru 19 tahun saja melihat
suasana itu.
Tak saya
sangka, ternyata mereka juga sangat ramah. Menawari saya untuk singgah
bergabung dengan mereka. “Sini bang, minum dulu” sembari mengangkat botol minuman
ringan. Saya jawab dengan “terima kasih, takut kemalaman”. Jam sudah menunjukan
pukul 16 lewat banyak dan saya tidak pasti berapa kilometer lagi harus
ditempuh. Batas kota saya mahfum sudah dekat tapi tujuan akhir etape ini adalah
tugu Rimau dengan jalan berliku mendaki hingga 1900 meter diatas permukaan laut
atau naik 1000 meter lebih dari ketinggian rata-rata kota Pagarlam di 850m dpl.
Jalan menuju tugu Rimau juga tak saya ketahui apakah sudah beraspal atau belum.
Jika belum kemungkinan bisa 2 jam melaluinya dengan nexie yang terpaksa
dilambatkan karena bantingan suspensi sungguh kurang nyaman.
tugu rimau kira-kira terletak di ujung warna hijau kebun teh ditengah gunung Dempo |
Setelah
batas kota jalanan kembali menurun lurus panjang-panjang. Tak terlihat jelas
papan petunjuk jalan sehingga sedikit terlewat sebuah pertigaan besar mengarah
ke Gunung Gare, kompleks perkantoran pemkot yang dibangun sedikit diluar kota,
diatas gunung. Dan saya balik arah untuk memasuki persimpangan yang mendaki tadi.
Menurut Googlemap jalan terdekat ke tugu Rimau melalui Villa Gunung Gare dan
artinya tidak perlu memasuki pusat kota terlebih dahulu jika dari arah Manna.
Sesampai di
depan Villa dan perkantoran pemkot saya cek koordinat dengan blackberry OS 7,
GPSTools nama aplikasinya. Ternyata ketinggian kompleks perkantoran ini sekitar
1000 m dpl. Pandai juga orang Pagaralam mengirit listrik, praktis kantor-kantor
disitu tak perlu AC. Karena saya tahu keramahan dari sapaan anak-anak muda tadi,
saya beranikan untuk bertanya pada gerombolan pemuda yang lagi nyore disitu. Saya tanyakan mengenai
arah dan kondisi jalan menuju tugu Rimau.
Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi, sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak terlalu curam.
Jam sudah menunjukan pukul 17 lewat banyak, jika tak memungkinkan saya pilih mencari penginapan dulu dan baru esok pagi ke tugu Rimau. Tapi penjelasan sembari menunjukan lokasi yang jelas terlihat dari Gunung Gare membuat saya yakin dlm 30 menit bisa mencapai lokasi, sekitar 12 kilometer saja jaraknya. Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak nya hanya 4,5 km. Segera saya lajukan kembali si nexie, mengikuti alur jalan berliku yang dimelarkan hingga hampir 3x lipat jarak lurus agar pendakian tak terlalu curam.
Sempat
berhenti juga mengambil gambar indahnya pemandangan. Tiada kata selain,
Subhanallah indahnya ciptaanMu yang maha Agung. Meski kabut tipis menghalangi
pengambilan gambar oleh kamera prosumer saya, mata ini sungguh dimanjakan.
Padahal pemandangan ijo royo-royo
begini bukan hal aneh, bahkan sebagai penduduk pedesaan di kaki Gunung Rajabasa,
tiap hari saya lihat disekitar rumah juga hijau raya. Apalagi bagi orang kota
dataran rendah, pasti senang sekali melihat alam seperti ini. Mirip di Puncak,
Jabar beberapa puluh tahun lampau.
Pagaralam saat mulai menyalakan lampu kota dilihat dari tugu Rimau |
Akhirnya tugu Rimau dicapai jam 17.51, karena letaknya yang lebih di Barat, hari masih cukup terang disini. Selesailah etape ini. Tinggal menunggu malam dan mencoba mengambil gambar Pagaralam dari ketinggian diwaktu gelap. Saya tahu bahwa nanti bulan akan bersinar tampak membulat karena hari itu sudah mendekati pertengahan kalender bulan.
Klo dari merpas selepas jembatan itu belok kanan ada perkebunan kopi ...
BalasHapusYg di atas itu...
Nma desanya Ap yaaaa sodara aq ada dsituuu
Klo dari merpas selepas jembatan itu belok kanan ada perkebunan kopi ...
BalasHapusYg di atas itu...
Nma desanya Ap yaaaa sodara aq ada dsituuu