Menembus Calon Jalan Bintuhan - Muaradua

Bagian Pertama


Jalan tembus Muaradua - Bintuhan sedang dibuat beberapa tahun belakangan ini. Sebenarnya memang hanya beberapa kilometer saja yang belum tersambung, yaitu antara MuaraSahung di kab Kaur, Bengkulu dan UjanMas di kab OKU Selatan, Sumatera Selatan. Dan itu yang sedang dibuat oleh kedua pemkab agar kegiatan ekonomi antar kedua daerah yang berbatasan dapat terjalin. Tapi pembangunan jalan ini seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah propinsi, karena sudah beberapa tahun tak jua rampung.

Sekitar 2 tahun lalu saya mendengar kabar bahwa jalan ini sudah bisa dilalui bahkan oleh mobil jika kondisi kering yang membuat saya ingin mencoba melintasinya, apalagi terhitung dekat dari tempat usaha saya di Merpas, Kaur. Pada suatu kesempatan saat di lokasi usaha dan tak hujan beberapa hari meski di bulan Desember akhir. Saya tekadkan mencapai minimal kecamatan Pulau Beringin di OKU Sel. Minimal saya memeriksa keberadaan jalan tembus terdekat yang sudah ada di google map menuju danau Ranau dari lokasi Taman Rekreasi yang saya kelola, mengingat ada kaitan sebagai sesama spot pariwisata.

Dengan Suzuki Nex saya berangkat sekitar jam 10 pagi, 29 Desember 2014. Hanya dengan rompi tipis saya memulai perjalanan menuju Bintuhan yang sekitar 30 km dari titik keberangkatan. Mengingat trip ini saya perhitungkan hanyalah jarak pendek dan pada tengah hari panas. Di Bintuhan saya makan siang yang kepagian. Agak lama saya disini sembari menunggu Dzuhur. Dan ketika memasuki saat Shalat dan warung mulai dipadati pembeli saya bergegas ke Mesjid persis di seberang warung ini. Selesai Shalat saya melanjutkan perjalanan ke Muara Sahung sekitar 35 km dari Bintuhan.

Berbelok kanan dari Jalinbar sekitar 8 km sejak meninggalkan kota Bintuhan. Ada plang marka yang menunjukan arah ke Muaradua. Saya susuri jalan yang ternyata sangat baik aspalnya sepanjang 28 km sampai di MuaraSahaung, sebuah kecamatan di Kaur. Tak terasa Nexie telah menempuh jarak 73 km sejak dari Pantai Laguna Samudra hingga Muara Sahung. Dan kembali saya singgah di sebuah warung yang juga memajang pelbagai batu akik untuk sekedar meminum kopi.

MuaraSahung memang sentra batu akik terutama jenis Red Bengkulu atau Cempaka Merah. Meski saya tak begitu suka dengan akik tapi dirasa perlu untuk melihat sehingga bisa menceritakan banyak hal sepanjang perjalanan-perjalanan saya. Hal ini saya lakukan sejak coba-coba menjadi penulis blog. Sayangnya pamor batu akik sedang meredup saat ini padahal saat saya singgah beberapa tahun lalu masih marak dan banyak warung-warung di MuaraSahung menjajakan batu akik, entah saat ini. Sembari mencicipi kopi setempat saya ingin banyak tanya mengenai batu akik.

peta google yang saya buat sendiri garis2 jalannya
Utamanya saya singgah di warung karena sepanjang jalan saya melintasi perkebunan kopi dan ingin mencoba kopi setempat. Dan rasa robusta disini termasuk baik, sama dengan yang ditanam di banyak tempat di SumSel dan Lampung karena memang masih satu wilayah hanya saja terbatasi oleh jalan aspal yang memutar. Kopi robusta ternyata memang domain orang-orang suku Semendo/Pasemah, di Lampung sendiri, awalnya kopi ditanam oleh orang Semendo meski lebih dikenal sebagai Kopi Lampung. MuaraSahung juga dihuni oleh orang Semendo. Dan di warung saya mengobrol dengan pemiliknya seorang kakek yang sudah cukup tua tapi masih tangkas sebagaimana umumnya masyarakat pegunungan terpencil. Alih alih menjelaskan soal batu akik, Ia menceritakan bahwa masyarakat Semendo lebih relijius ketimbang Pasemah. Dan nampaknya memang mereka tak begitu suka soal akik yang sering mengarah ke klenik dan musyrik. Sekedar menjual batu yang dicari banyak orang itu. Yang saya herankan mengapa hampir selalu membandingkan dengan Pasemah yang sebetulnya masih terbilang satu suku dengan mereka, dari berbagai segi mereka mirip bahkan sama sebangun; bahasa, rumah adat dan tempat asal pun bersebelahan masih di dataran tinggi Besemah. Dan di Kaur sendiri mereka menempati bagian Selatan sementara orang Pasemah menempati wilayah Utara dan di Bintuhan hingga paling Selatan adalah percampuran antara Semendo/Pasemah dengan Lampung.

Tanpa perlu ikut bingung masalah antropologi, kita lanjutkan perjalanan. Selesai minum kopi saya kembali start mesin Nexie. Lanjut dari MuaraSahung mengarah ke Timur menuju Ujan Mas, yang menurut bapak tua warung tadi sekitar 4-6 jam berjalan kaki artinya pakai motor paling setengah jam atau sekitar 20-30 km. Tapi banyak spot menarik sepanjang jalan sehingga saya banyak berhenti mengambil gambar.

Berbeda dengan sisi Timur Bintuhan yang masih kawasan TNBBS, di Timur Sahung ini sudah bukan wilayah Taman Nasional meski masih bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Itu sebabnya tak ada masalah dengan pihak Kehutanan untuk membangun jalan disini. Dan masyarakat Sahung bahkan Bintuhan sejak dahulu memang sudah berhubungan dengan masyarakat Ujan Mas sebagai daerah terpencil di Sumatera Selatan dengan berjalan kaki. Dan kini motor bahkan mobil sudah bisa menghubungkan kedua daerah yang hanya terpisah jarak lurus sekitar 16 kilometer. Dan setelah dibuatkan jalan menjadi sekitar 25 km.

Tapi ternyata jarak yang dekat itu harus melalui bukit terjal sehingga jalan yang dibuat juga sangat terjal dibandingkan dengan jalan-jalan yang dibuat sejak jaman kuda menjadi alat transportasi. Selain karena medan yang memang berat untuk sebuah jalan yang singkat dan murah, akhirnya dibuatlah jalan yang cenderung mengambil singkat mengurangi liukan jalan yang mengurangi kemiringan. Jalan seperti ini banyak ditemui sebagai jalan-jalan baru memintasi pegunungan, perhitungannya adalah kemampuan kendaraan bermotor masa kini yang bertenaga besar.

Dan akhirnya nampak rekahan tanah merah di bukit di depan jalan yang baru saja diaspal kasar. Saya kira itu adalah longsoran akibat pembuatan jalan. Ternyata itu justru jalan yang baru digusur. Tapi karena kering Nexie bisa dengan mudah menaklukan tanjakan itu. Tak terbayang jika air satu botol aqua saja dituang di jalan itu pasti semua ban diatas jalan tanah merah nan curam itu akan tergelincir.

nampak jalan curam mendaki seperti longsoran tanah merah

Sesampai di ujung jalan aspal yang sebuah jembatan, membentang jalan tanah merah yang mendaki. Semakin dijalani semakin curam saja. Sebenarnya jalan mendaki curam ini tak terlalu panjang, sekitar 1,5 km saja tapi jangan dianggap remeh jika baru saja ditimpa hujan. Tergelincir di jalur ini maka jurang menganga atau tebing yang menanti.

Nexie mendaki tidak kekurangan tenaga meski hanya bisa beringsut perlahan. Pada sebuah tikungan saya coba abadikan nexie dengan menunjukan kemiringan jalanan itu.

Akhirnya tiba diatas di jalan yang mulai datar, yang di foto atas nampak sebagai robekan hutan yang berwarna lebih muda. Dan saya coba susuri terus jalan itu hingga desa pertama (I) di kec Ujan Mas. Ternyata 4-5 kilometer saja yang masih berupa tanah merah, selanjutnya telah diberi pondasi batu dan dilapisi kerikil halus, nampaknya jalan yang akan dibuat merupakan jalan beton.

Pemandangan diatas sungguh mempesona andai tepat menjelang mentari terbenam saat langit cerah


Berlanjut di bagian kedua

Komentar

  1. MasyaAllah masih sangat gadis blom terjamah... Kapan sy sekeluarga menjajal jalanan syurga dunia ini. Indah rasanya.. Terime kasih dah berbagi puan. Aku jeme asli kaur muare tetap. Bersyukur.. Alhamdulillah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. disempatkan dang... Lebaran nanti boleh dicoba tuh. tapi sampai saat ini tak dilanjutkan lagi pembuatan jalannya bahkan yang longsor dibiarkan saja sudah setahun lebih

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suzukinex Solorun 1100 Km bagian keempat - habis

Menembus Jalan Baru Muaradua- Bintuhan Bag 2