Menembus Jalan Pintas Pulau Beringin - Ranau

Sekitar dua bulan kemudian, akhir Februari 2016 saya kembali kesini dengan tujuan utama menembus hingga Ranau. Kali ini saya gunakan si ABG Tua Suzuki Thunder 125 keluaran 2004. Jika Nexie yang matik tak bisa, ABG Tua pasti bisa. Meski sebetulnya ABG Tua lebih cocok di aspal karena tenaganya baru keluar di RPM tinggi, saya paksakan dengan setengah kopling pasti mampu selama ban tidak mentok di bebatuan.

Tapi di perjalanan kedua ini saya niatkan untuk langsung pulang ke Kalianda dari PLS di Kaur. Setelah beberapa hari tidak hujan, bersiap untuk jalan. Ternyata salah satu pegawai saya di PLS memaksa untuk ikut sampai Bandarlampung guna menemui keluarganya. Akhirnya saya iya-kan, juga untuk berjaga-jaga jika di jalan tembus PulauBeringin-Ranau terjadi masalah. Maklum aja ini motor tua.

Baru sampai Bintuhan sudah terasa putaran roda kurang enak dan berbunyi. Setelah di cek ternyata klaher roda pecah. Mungkin karena saat ini membawa pembonceng sehingga beban bertambah. Mampir di bengkel sedikit keluar dari Bintuhan untuk ganti klaher sembari makan siang, masih jam 10.30 sebetulnya. Dan karena klaher yang pas musti dibeli di pusat kota waktu menjadi molor. Sekitar jam 12 siang baru bisa melanjutkan perjalanan. Dan ketika melaju terasa rem belakang tak menggigit kemungkinan si bengkel kurang rapi memasangnya karena rem yang cakram ini hasil modifikasi. Dan baru melihat bengkel agak besar di MuaraSahung. Benerin rem lagi disitu. Ternyata si montir pernah tinggal di Kalianda dan cukup cekatan.

Setelah selesai rem, kembali melanjutkan perjalanan dan berhadapan dengan Tebing Merah. Di wilayah Lampung bagian Barat dan Bengkulu bagian Selatan, semua bagian jalan yang curam disebut dengan "tebing" karena memang melalui sebuah tebing. Ada Tebing Sedayu, Tebing Mayit, Tebing Miwang dlsb. Dan ternyata ABG Tua sedikit kesusahan melalui tanjakan curam, musti setengah kopling atau gas pol. Untuk gas pol tak mungkin karena permukaan jalan yang 2 bulan lalu masih rata kini berlubang mengalur akibat diguyur air hujan. Lebih dari separuh tinggi ban lubang alurnya. Akhirnya tangan saya tak kuat lagi menahan kopling separuh. Terpaksa pembonceng turun dan berjalan kaki. Saya katakan bahwa tak jauh, cuma 2 km. Tapi 2 km di jalan mendaki curam naik sekitar 300 meter dari 400m ke 700m dpl 

Dengan gas tinggi, beberapa kali saya terjebak terkurung alur jalan. Dan Jatuh di bagian jalan yang curam sangat merpotkan. Ketika motor kembali diberdirikan maka ia merosot ke bawah tak bisa ditahan dengan rem. Hanya memutar stang hingga arah motor melintang di jalan baru bisa. Giliran menaikinya lagi juga sulit tanpa ada yang memegangi. Terpaksa saya menunggu boncenger yang tertinggal jauh untuk bantuan. Meski ada beberapa motor arah turun lewat, mereka juga tak bisa berhenti di kemiringan jalan yang ekstrim. Akhirnya sampai juga di puncak jalan. Selanjutnya jalan masih mendaki tapi landai.

Kali ini saya sudah tahu dimana tempat tinggal Gus Adhim. Rupanya ketiadaan sinyal membuat komunikasi dengan ybs memang sulit. Harus via telepon ke rekan beliau yang berkebun di daerah yang ada sinyal. Ternyata rumah rekan ini jauhnya 20 km lebih dari Puncak Tenggalingan. Setelah singgah di rumah rekan dan diperjelas lagi letak rumah dan pesantren Gus Adhim saya melanjutkan perjalanan. Menjelang Maghrib tibalah di Puncak Tenggalingan.

Sungguh luar biasa pemandangan disini. Nikmat Allah sungguh bisa dirasakan. Udara yang dingin menambah tenteram di hati. Hanya sayangnya saat malam, nyamuk sangat banyak, sesuatu yang rada aneh karena pada ketinggian ini nyamuk meraja lela. Setelah Maghriban berjamaah kita mengkaji ajaran Islam sebentar dan saya diminta memberikan sedikit prakata perkenalan. Dengan menyitir sebuah hadis tentang menjaga silaturahmi, saya jelaskan bahwa tujuan utama adalah jalan-jalan melihat daerah lain sekaligus memperkenalkan daerah pegunungan SumbagSel yang tak kalah indah dengan Jawa. Jika Allah menciptakan Bumi Pasundan sembari tersenyum, maka saat menciptakan Bumi SumbagSel mestilah sembari tersenyum lebar. Setelah perkenalan resmi dengan semua jemaah Masjid dan Pesantren (tepatnya calon pesantren) tiba waktu Isya. Setelah berjamaah lagi, kami lanjutkan dengan cerita-cerita ngalor ngidul. Gus juga seorang hobbyist motor dan kamera serta diving, sama dengan saya, bedanya saya juga suka utak atik mobil2an dinamo alias Tamiya alias mini4WD dan Gus tidak.

Begitulah disebut masyarakat sekitar tempat calon pesantren teman yang saya kenal lewat jejaring sosial. Alkisah dahulu tempat ini adalah pos pemantau bagi seorang pembesar setempat untuk melihat keseluruhan wilayah persawahan Muara Sindang Danau. Pemandangan menakjubkan saat mentari mulai menyinari wilayah dibawah yang terapit bukit dan gunung. Beberapa desa di bawah juga nampak jelas, begitu juga rumah-rumah di sekitar Danau Rakihan, permukaan danau jelas tak terlihat karena jauh dibawah daratan sekitarnya.

Setelah Isya, baru teringat saya belom cek ponsel dari tadi siang. Ternyata ada sms dari istri di rumah yang mengatakan bahwa ibu saya masuk rumah sakit dengan kondisi mengkuatirkan. Kebingungan untuk membalas/menelepon tidak ada sinyal maka hanya berdoa yang bisa saya lakukan. Untuk lanjut jalan malam hari itu badan sudah tak kuat, boncenger yang ikut adalah boncenger sejati karena tidak bisa mengendarai motor berkopling. Saya putuskan untuk pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan langsung ke Kalianda.

Malam itu setelah makan malam istimewa, kami ngobrol ngalor ngidul dengan empunya rumah. Didasari banyak hobby yang sama maka pembicaraan sambung menyambung berkaitan. Tak terasa telah lewat tengah malam dan karena kantuk kami pun sepakat utk tidur. Masjid adalah pilihan karena di bagian lain baru bangunan berdinding pelupuh/bambu geprek sementara angin dingin pegunungan cukup kuat saat itu. Dan salah satu alasan Puncak Tenggalingan tidak dihuni adalah angin yang senantiasa kuat disitu serta air yang sulit didapat. Tapi ternyata air bisa dipecahkan setelah Gus menemukan sumber air tak jauh.

Setelah Subuh saya mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Tapi empunya rumah sedikit menahan agar jangan terburu-buru dan saya tidak ceritakan bahwa ibu di RS. Akhirnya pagi itu setelah sarapan dan diajak berkeliling sejenak, saya pamitan dan berjanji akan kembali lagi dalam waktu dekat. Dan saya sudah diatas jok motor lagi menuruni sepenggal jalan setapak yang sangat curam menuju jalan raya.

Dari Puncak Tenggalingan saya berangkat sekitar jam 8 pagi lebih. Tak jauh sampailah saya di mini market Pulau Beringin yang pada perjalanan pertama saya tiba sudah gelap. Ternyata Pulau Beringin lebih seperti kota kecil ketimbang desa besar. Rumah panggung khas pedalaman Sumatera dibangun rapat berjejer dan bertumpuk ke belakang. Satu hal yang saya amati dalam perjalanan-perjalanan di Sumbagsel, rumah panggung beberapa suku disini mirip-mirip. Tapi ada beberapa hal yang membedakan, orang Semendo-Besemah cenderung lebih rapat jarak antar rumahnya, sekitar 2-3 meter saja, orang Lampung-Komering jauh lebih renggang bisa mencapai 20 meter lebih jarak antar rumahnya. Itu sebabnya Pulau Beringin yang dihuni orang Semendo benar-benar nampak seperti kota antik, rumah panggung tinggi yang bagian bawahnya dirubah menjadi tempat kegiatan usaha nampak seperti ruko-ruko di kota-kota zaman dulu kala ketika bangunan beton belum dikenal luas.
Pulau Beringin

Dan saya lebih jauh mencari info tentang jalan tembus ke Ranau disini. Saya benar-benar ingin mencoba trek ini meski sebetulnya diburu waktu karena ibu di RS. Menurut info hanya sekitar 25 km jalan yang masih berbatu dan tanah. Dan karenanya saya beranikan mencoba trek itu karena cuaca cerah. Jam 10 pagi saya melanjutkan perjalanan berbekal 2 potong roti dan 2 air minum dalam kemasan untuk kami berdua. Belakangan disadari bahwa bekal itu minim sekali. Perhitungan saya jalan ini secara keseluruhan menurun ke arah Ranau jadi mudah meski jalan rusak bahkan off road.

Sekitar 5 kilometer pertama jalan masih berdasar batu-batu besar yang agak rata - foto dibawah. Setelah desa pertama sesudah Pulau Beringin, desa Pagar Agung jalanan semakin buruk, batu-batu lebih besar sehingga sulit dilalui tanpa memilih jalur. Dan seperti sebelumnya, setelah desa maka jalanan melalui bukit. Disini baru terasa beratnya, jalan berbatu yang mendaki curam. Di beberapa titik yang terhalang batu lumayan besar, ABG tua terpaksa didorong oleh boncenger yang sudah turun dari awal tanjakan.

Terus demikian setiap melintas bukit setelah desa. Kalau tidak salah hitung ada 7 atau 8 bukit yang harus didaki dan dituruni sepanjang jalur offroad yang 25 km ini. Dan setelah desa ketiga jalan benar-benar putus untuk mobil, hanya motor atau ATV yang bisa melintasi, jalur sempit di kiri jurang dan kanan tebing terjal. Kemungkinan dulunya ini jalan yang lebar tapi karena longsor menjadi kecil, karena jalan ini menyusuri sungai sehingga longsor terjadi berulang dan memanjang berakibat sejauh 1 km lebih jalan yang sempit.

Bukit ketujuh sangat luar biasa terjalnya dan jalan pun sempit hanya bisa dilalui 1 motor. Tepat di tengah tanjakan, terdengar suara motor dari arah berlawanan, ketika terlihat, pengendaranya yang masih anak-anak berteriak "awas!". Sebenarnya aturan tak tertulis di jalur umum semi offroad adalah mendahulukan kendaraan yang menanjak, berlaku untuk motor atau mobil jip angkutan gunung. Namun karena anak tadi sudah teriak awas, saya sigap menjatuhkan diri (dan motor) ke kiri yang saya lihat rerimbunan semak. Ups! jika saja maju atau mundur 2-3 meter maka rerimbunan cuma kamuflase dan jurang meski tidak dalam, cuma 6-7 meter, dan juga tidak tegak lurus tetap akan berakibat luka-luka.

Saat lewat si anak berteriak "maap pak, rem blong". "Edan" gumam saya, anak SD yang kalo dilihat badannya paling kelas 4 SD sudah mengendarai motor di jalur gila ini tanpa rem. Tak lama 2 anak gadis yang lebih besar lewat sambil juga meminta maaf atas tiadanya rem sehingga membuat motor mereka di posisi menurun tadi tak bisa mengalah. Bener-bener edan, tanpa rem bonceng bertiga pula. Dan karena mereka berseragam sekolah saya terka mereka baru pulang sekolah mengingat pula memang sudah jam pulang sekolah sekitar jam 12.30. Bukan hanya anak sekolah yang bergelantungan di jembatan gantung yang rusak yang bertaruh nyawa setiap hari untuk pergi pulang belajar, anak-anak disini demikian pula dengan sepeda motornya. Nampaknya mereka dari pedukuhan kecil yang baru saja saya lewati karena tak ada sekolah dasar disitu.

Diatas bukit ketujuh ini jalanan nampak sudah pernah diaspal. Tapi saat menurun lagi, sisa aspal dan batu sudah musnah ditelan zaman. Tapi kemudian setelah bukit terakhir yang tidak terlalu sulit, aspal sudah membentang meski banyak rusak. Saya lihat jam, sudah hampir jam 13. Dan ini baru sekitar 25 km dari Pulau Beringin, masih ada 50 km lagi untuk sampai di Wisma Pusri Ranau. Perjalanan menjadi lama karena di tiap tanjakan curam boncenger harus turun dan saya terpaksa istirahat diatas bukit untuk menunggu boncenger. Di bukit terakhir meski tak seberapa parah, ia baru muncul 30 menit kemudian akibat kehabisan nafas  Jika tiap tanjakan sekitar 1 km maka dia sudah berjalan kaki mendaki sejauh 8 kilometer dengan helm dan jaket, meski sudah saya bilang helm dan jaketnya ikat saja di motor dia menolak.

Perut sudah berkokok karena lapar, bekal sudah habis bahkan air sudah dari bukit ketiga tandas. Jangankan warung makan, warung yang menjual air minum dalam kemasan juga tiada, akhirnya kami hanya isi ulang dengan air masak dari warga. Mau minta beli nasinya sungkan 

Aspalnya ternyata hanya sekitar 2 km, jalan mulai rusak parah lagi dan jantung berdegup kencang, jangan-jangan jalan yang katanya sudah baik dan diaspal sudah rusak semua... Bisa malam baru sampai di Banding Agung di tepi Ranau. Padahal niatnya saya memangkas jarak dan tentu saja waktu agar bisa sampai di Rumah Sakit Kalianda sore atau malam ini juga. Ternyata rusaknya tak jauh tapi kelanjutannya bukan aspal, hanya batu-batu besar yang telah disusun rata seperti di awal tadi. Baru setelah melalui 2 desa yang berdekatan jalan kembali aspal dan saya sudah melihat ada motor matik dipakai warga setempat. Yakin bahwa sejak titik itu jalan hingga Banding Agung sudah mudah untuk dilalui.

Akhirnya sekitar beberapa menit sebelum jam 15 kami tiba di Banding Agung. Ini adalah kota kecil dan tentu saja banyak warung makan karena ini juga kota wisata meski pariwisata bisa dibilang baru menggeliat disini. Makan! ya itu adalah tujuan utama saat ini. Setelah memilih dari 3-4 warung, kami singgah di warung yang saya lihat penjaganya gadis manis. Tak perduli rasa makanan, yang penting bisa beristirahat dan isi perut yang sangat keroncongan serta memandang wajah yang tak membosankan atau menyebalkan.

Saat kami makan, langit yang sudah mendung akhirnya menjatuhkan bebannya, hujan lebat. Waduh, bisa molor lagi nih perjalanan. Tapi ponsel disini sudah bisa digunakan. Saya telepon ke rumah dan ternyata kondisi ibu sudah membaik. Lega juga. Tapi efeknya badan saya jadi terasa lemah, capeknya melintas bukit-bukit tadi seperti baru dirasa saat ini. Setelah hujan reda, boncenger yang masih kerabat dari istri berkeras harus lanjut karena dia kuatir kondisi membaik itu justru sebagai pertanda buruk.

Dengan semangat yang tak lagi menyala, saya lanjutkan perjalanan. Gas pol dari Banding Agung hingga Wisma Pusri di jalanan yang sepi. Naik dan masuk Jalan Raya Muaradua-Liwa, masih gas pol, meliuk-liuk di tikungan dan menghindari lubang jalanan. Ketika sampai di Sukau, sebelum Liwa, kembali hujan yang segera menjadi sangat lebat. Karena sejak Banding Agung memang kami sudah memakai jas hujan, kami terus saja meski kecepatan jauh dikurangi. Menjelang Liwa sempat stop sebentar memperbaiki jas dan celana hujan. Akhirnya Liwa pun terlewati.

Rencana awalnya saya masih mau melanjutkan ber offroad ria menuju Suoh dari Liwa, tapi sikon tak mengijinkan selain juga hujan sangat lebat di Liwa. Maka terus saja saya mengarahkan motor ke Bukit Kemuning. Hari mulai gelap sebelum sampai di Sekincau, motor juga tak bisa melaju cepat di kondisi jalan basah karena hujan. Kaca helm juga sudah berembun, kelelahan sudah sangat terasa. Akhirnya saya putuskan untuk masuk penginapan di Sekincau.

Hotel Sumber Asih, begitulah nama penginapan sederhana bertarif 150ribu ini. Meski sederhana ternyata ada air hangat di kamar mandi. Sebuah kemewahan yang tiada tara. Setelah kehujanan mandi air hangat. Wah banget. Sekincau dengan udara pegunungan sangatlah dingin sehingga di kamar tidur yang kecil sangat dan tanpa jendela kecuali lobang angin tidaklah terasa sumpek. Dan setelah mandi saya ke krumah makan hotel yang menyediakan berbagai makanan. Saya pilih sup sapi. Dan tidur pun sangat nyenyak malam itu.

Setelah tidur yang berkualitas, Subuh dingin saya terbangun dan karena wudhu pun ada air hangat, tak ragu saya Sholat kemudian membereskan pakaian. Saya tak membongkar barang bawaan disitu, hanya membeli celana pendek murahan utk tidur karena pakaian lembab semua. Sekejap saya telah siap. Dan ketika kami turun kebawah, sarapan sudah disiapkan hotel. Setelah makan saya membayar semua bon. Ternyata tarif kamar yang 150 rb diberikan potongan 50 ribu mungkin karena saya masuk sudah jam 9 malam dan subuh begini berangkat lagi.

Jam 5.45 saya berangkat. Singgah di Bandarjaya untuk sarapan siang jam 9.45 kemudian lanjut jalan jam 10 akhirnya sampai di RS Kalianda jam 14.

Selesai lah sudah perjalanan ini. 

Komentar

  1. Libur lebaran2019 saya coba tembus sudah masuk 50km dr jalinbar eeeh tdk bisa. Saya pakai beat berdua sama bini dr bengkulu tujuan muaradua. Akhirnya mbalik lagi mutar krui-liwa -ranau. Tapi dengar2 sekarang sudah ada perbaikan, katanya sih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menembus Calon Jalan Bintuhan - Muaradua

Suzukinex Solorun 1100 Km bagian keempat - habis

Menembus Jalan Baru Muaradua- Bintuhan Bag 2